Brilio.net - Tragedi kemanusiaan di Rakhine State, Myanmar membuat banyak negara merasa prihatin. Warga etnis Rohingya menjadi korban kekerasan militer Myanmar. Kekerasan terhadap warga sipil terus terjadi hingga sekarang.
Puluhan ribu warga etnis Rohingya terpaksa mengungsi ke negara terdekat karena tekanan dari militer Myanmar. Kondisi mereka sungguh memprihatinkan. Bahkan pengungsi yang mencari perlindungan di Bangladesh juga mengalami ketidakpastian. Mereka rencanaya akan direlokasi ke pulau dekat teluk Benggala.
Eksodus besar-besaran ini dilihat oleh PBB sebagai ethic cleansing atau genosida. Kecaman dari berbagai pihak terus didengung-dengungkan. Organisasi Amnesty Internasional melihat bahwa reaksi pejabat Myanmar atas serangan 9 Oktober 2016 ke polisi perbatasan terlalu dibesar-besarkan. Myanmar yang sudah puluhan tahun tidak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya secara kolektif berusaha untuk memukul mundur warga etnis Rohingya.
Konflik Rohingya memang memiliki akar sejarah yang panjang. Konflik sudah berlangsung cukup lama. Dilansir dari Antara, Rohingya adalah kelompok etnis muslim yang menetap di wilayah Arakan sejak abad ke-16. Arakan adalah wilayah yang sekarang menjadi daerah dari Rakhine, di Myanmar barat. Daerah ini perbatasan langsung dengan Bangladesh.
Pada 1948, Myanmar merdeka dari penjajahan Inggris Raya. Kemerdekaan itu tidak membawa dampak baik bagi warga Rohingya. Mereka tetap saja disisihkan. Buntutnya pada tahun 1978 terjadi intimidasi melalui operasi Raja Naga terhadap etnis Rohingya untuk keluar dari wilayah Arakan (kini Rakhine). Pada saat itu sekitar 200 ribu orang mengungsi ke Bangkaldesh.
Dalam sensus pertamanya tahun 1982, etnis Rohingya tidak diakui sebagai bagian dari ras warga negara Myanmar. Sensus tahun 2014 juga tetap tidak mengikutsertakan etnis Rohingya.
Istilah Rohingya sendiri berasal dari kata Rohai atau Roshangee yang berarti penduduk muslim Rohang atau Roshang (sebutan untuk daerah tersebut sebelum dinamai Arakan). Tahun 1942 terjadi pembantaian atas Muslim Rohingya yang menewaskan sekitar 100 ribu jiwa dan ribuan desa hancur.
Jacques Leider dalam bukunya berjudul "Rohingya: The Name, the Movement and the Quest for Identity" yang terbit tahun 2013 menjelaskan bahwa sejak tahun 1950 an, warga di daerah Rakhine Utara ini mengklaim sebagai kelompok etnis yang memiliki budaya tersendiri dan berbeda dari yang lain. Mereka menamakan dirinya sebagai "Rohingya". Sayangnya, klaim ini tidak diakui oleh pemerintahan Myanmar.
Pemerintah Myanmar justru menganggapnya sebagai sebuah ancaman. Identitas Rohingya dikhawatirkan bisa melahirkan klaim etnis tersendiri dan bisa didefinisikan sebagai gerakan politis yang bertujuan untuk membentuk sebuah daerah otonom. Klaim ini memang belum valid terutama terkait dengan identitas etnis Rohingya.
Sayangnya, kata Jacques banyak media di luar Myanmar dan organisasi sosial dunia menampilkan kekerasan terhadap Rohingya sebagai kejahatan kemanusiaan dan tidak sebagai usaha Etnis Rohingya untuk memperoleh identitas nasional. Padahal hal ini bisa menyulitkan proses penegakan keadilan bagi etnis Rohingya terutama karena mereka tidak diakui identitasnya oleh pemerintah Myanmar.
Indonesia sendiri terus berkomitmen untuk membantu permasalahan Rohingya ini. Dikutip dari AntaraPresiden Jokowi sudah menugaskan Menlu Retno LP Marsudi untuk bertemu dengan Konselor Negara Republik Persatuan Myanmar Aung San Suu Kyi. Aksi nyata juga sudah dilakukan oleh warga negara Indonesia. Yayasan ACT sudah menyelengarakan program untuk menyalurkan donasi. Wali Kota Bandung Ridwan Kamil juga sudah mengumpulkan penggalangan dana melalui jajaran dan warga Bandung.
Sejak tahun 2013, ribuan warga Rohingya melarikan diri ke negara-negara Indonesia, Malaysia, dan Thailand melalui jalur laut. Pria, wanita, dan anak-anak terkatung-katung di dalam kapal tanpa kejelasan apakah daratan yang mereka tuju bersedia menerima mereka. Salah satu pengungsian warga Rohingya di Indonesia dibangun oleh Yayasan ACT berlokasi di Blang Adoe, Aceh Utara.
Apa yang dilakukan pemerintah Myanmar pun terus menuai kecaman. Human Rights Working Group (HRWG) mengecam keras tindakan kekerasan massal baik yang dilakukan pihak militer pemerintah Myanmar terhadap komunitas minoritas etnis Rohingya di Myanmar.
Komunitas internasional harus lebih serius dan tegas terhadap Pemerintah Myanmar. Menghentikan kejahatan dan tindakan teror adalah hal yang absah atau legitimate bagi setiap negara, akan tetapi kewajiban melindungi penduduk sipil dalam situasi konflik juga merupakan Kewajiban Negara, ujar Muhammad Hafiz, Direktur Eksekutif HRWG sebagaimana dikutip dari hrwg.org.
Publik dunia juga mengecam Aung San Suu Kyi, peraih Nobel Perdamaian yang tak banyak bersuara soal tragedi Rohingya. Sehingga muncul petisi untuk cabut Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi.
"Demi perdamaian dan persaudaraan sudah selayaknya perhargaan yang diterimanya harus dikembalikan atau dicabut oleh Komite Nobel, kami meminta Ketua Komite Nobel untuk mencabut Nobel Perdamaian yang diberikan untuk Suu Kyi," tulis Emerson Yuntho, salah satu pemrakarsa petisi sebagaimana dikutip dari change.org.
Apapun polemik tentang Rohingya yang terjadi kini, banyak pihak berharap konflik bisa dihentikan dan korban warga sipil tidak terjadi lagi.
Recommended By Editor
- Banyak tertangkap, kenapa koruptor nggak jera rampok uang rakyat
- Kenapa cowok semakin berani tampil feminin di media sosial?
- Memanas, ini perbandingan kekuatan militer Korut dan Korsel
- Ini jumlah kerupuk yang dibutuhkan kalau mau dibarter dengan Sukhoi
- Kenapa orang-orang terkaya dunia malah memilih hidup sederhana?