Brilio.net - Penyesalan. Mungkin satu kata ini kini ada dalam benak terdalam Angga Septiawan alias Waluyo (27) dan Wahyudi alias Yudi (25). Dua orang ini ditetapkan sebagai tersangka kematian tiga mahasiswa UII dalam kegiatan Mapala bertajuk The Great Camping (TGC) ke-37 yang berlangsung pada 13-20 Januari 2017 di Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Waluyo dan Yudi ditangkap di posko Mapala UII Senin (30/1). Tidak ada perlawanan saat keduanya diringkus dan dibawa ke Polres Karanganyar. Polisi juga melakukan penggeledahan di kamar kos tersangka. Dari sana, polisi menyita tiga unit ponsel, dua pasang sepatu gunung, dua tas, seragam diksar, serta tongkat rotan dan tali-temali untuk pendakian.
Salah satu tersangka Yudi, pelaku kekerasan berujung kematian Diksar Mapala UII saat diperika kesehatannya (foto: Instagram/@polreskaranganyar)
Tersangka kedua, Waluyo. (foto: Instagram/@polreskaranganyar.
Kedua tersangka ini adalah aktor meninggalnya adik-adik mereka, Muhammad Fadhli, Teknik Elektro (2015), Syaits Asyam, Teknik Industri (2015), dan Ilham Nurfadmi Listia Adi mahasiswa Hukum Internasional (2015). Kedua tersangka ini sama sekali tak berpikir, bahwa nyawa yang mereka hilangkan adalah orang-orang dengan otak brilian, yang kelak, mungkin menjadi salah satu pemimpin bangsa ini.
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), M. Nasir sangat menyayangkan tewasnya anak bangsa berprestasi karena kekerasan senior.
Seperti sosok Asyam. Diceritakan Paman Asyam Nizar Rihwani di rumah almarhum Caturharjo, Sleman, Yogyakarta, almarhum dikenal sebagai sosok nggak neko-neko. "He is a good boy. Saya nggak nyangka ketika mendengar kabarnya. Saya melihat adanya karakteristik yang sama antara Asyam dengan Habibie. Dia sangat mencintai keilmuannya. Dia membuang waktu untuk game, membuang waktu untuk bermain bersama dg temannya. Dia lebih fokus di kamar. Dari situ saya melihat dan berpikir ada ideologi dalam diri Asyam," terang Nizar.
Sepupu dari Asyam bernama Dito pun menceritakan kesan yang melekat pada diri Asyam. "Kak Asyam itu orangnya jahil. Suka ngisengin aku. Tapi kalau dimintain tolong ia mau bantu, apalagi waktu UN SD kemarin. Kak Asyam bantuin belajar kisi-kisi UN," cerita Dito yang kini duduk di bangku SMP kelas dua.
Sri Handayani bersama Menristekdikti Muhammad Nasir memperlihatkan medali prestasi mendiang Asyam. (foto: brilio.net/Vindiasari Putri)
Asyam sendiri merupakan anak yang berprestasi atas penelitian di bidang kimia. Dalam setahun, ia mampu meraih tiga penghargaan sekaligus. Pada tahun 2014, Asyam memenangkan perlombaan pada Indonesian Science Project Olympiad (ISPO). Kemudian mendapatkan medali emas pada International Science Project Olympiad (ISPRO) di Jakarta.
Kemudian mewakili Indonesia dalam ajang INESPO di Den Haag, Belanda. Pada ajang INESPO, Asyam bersama temannya mendapat juara pertama. Berkat prestasinya, Asyam sempat diundang oleh Presiden Jokowi pada perayaan ulang tahun RI pada 17 Agustus 2016 kemarin.
Lain Asyam, lain pula cerita Ilham, mahasiswa asal Lombok Timur. Di mata temannya, almarhum adalah sosok yang kuat. Widi, teman seangkatan di Jurusan Hukum Internasional UII menyebutkan, "Orangnya kuat, tegar, berkomitmen tinggi dan nggak gampang ngeluh." Widi mengaku tidak percaya dengan kabar kematian sahabatnya hingga ia mendatangi rumah sakit dan melihat langsung jenazah Ilham.
Widi sendiri pernah sekali naik gunung bersama Ilham. "Nggak gampang ngeluh si orangnya. Orangnya kuat. Jiwa pemimpinnya ada gitu. Setahu saya dia orangnya kuat nggak gampang lelah. Pokoknya komitmenlah apa yang dia suka pasti dia jalani," kenang Widi. Sementara itu sang ayah pun mengakui bahwa anak bungsunya memang memiliki hobi naik gunung.
Ayah Ilham, Syafii menyampaikan, anaknya memang sangat hobi mendaki. Karena hobinya ini, dia memutuskan masuk Mapala. "Akhirnya dia masuk di Mapala dalam rangka mungkin supaya lebih banyak temannya, tapi ternyata bukan mencari teman tapi mencari penyakit," jelas Syafii. Selama di kampung halaman, Ilham dikenal sebagai orang yang baik, senang bergaul, dan senang belajar agama.
Sementara itu, korban asal Batam, Muhammad Fadhli merupakan anak yang memiliki minat di bidang fotografi. Hal tersebut dapat diketahui melalui akun Instagramnya. Fadhli kerap mengunggah foto hasil jepretannya.
Meninggal secara mengenaskan
Meninggalnya tiga mahasiswa penuh bakat dan kecerdasan intelektual itu, ironisnya, melalui cara-cara mengenaskan. Supardi, dokter yang menangani Fadhli ketika tiba di Puskesmas menemukan beberapa luka lecet di tubuh. Tak hanya itu, dokter juga menemukan salah satu bagian tubuh Fadhli yang sudah mulai kaku. Fadhli meninggal karena kedinginan (hipotermia). Setelah dilakukan visum, jenazah diterbangkan ke kampung asalnya, Batam.
Kondisi Syaits Asyam lebih memilukan. Tiba di RS Bethesda pada Sabtu (21/1) pukul 05.46 WIB dengan kondisi bicara sulit, sesak napas, sulit komunikasi, keluhan batuk sekitar empat hari. Penanganan yang diberikan pada Asyam berupa oksigen, infus, cek darah, dan foto thorax, dan disarankan mondok. Kemudian pukul pukul 07.29 Asyam masuk Instalansi Gawat Darurat dan ditangani oleh dr Iswanto. Kemudian Asyam rawat inap di Ruang VI pukul 08.00 WIB.
Hasil pemeriksaan foto rontgen ditemukan patah tulang berupa mutliple trauma. Kemudian terdapat luka di kedua kaki, tangan, pantat, dan punggung. Asyam pun sempat mengalami gagal napas 40 kali per menit.
Orangtua mendapat kabar anak semata wayangnya opname di RS Bethesda sekitar pukul 10.30 WIB dan baru tiba sekitar pukul 11.30 WIB tiba di rumah sakit. Orangtua Asyam kaget melihat kondisi anaknya. Tubuhnya dipenuhi luka dan sudah kesulitan napas.
Kondisi Asyam pun semakin memburuk. Sang dokter pun menyarankan orangtua untuk mencatat segala ucapan anaknya. Pasalnya kondisi Asyam dalam keadaan kritis. Sri Handayani, ibu dari Asyam pun mengikuti anjuran dokter. Berbekal memo dari rumah sakit, Sri Handayani memerhatikan segala sesuatu yang diucapkan anaknya.
Memo yang ditulis Asyam sebelum meninggal. (foto: Istimewa)
Terdapat tiga poin yang tertulis dalam memo yang ditulis Asyam sendiri. Poin pertama, Asyam menyebutkan sebuah nama berinisial Y yang diduga sebagai pelaku kekerasan. Poin kedua disebutkan ngangkut beban air terlalu banyak. Terakhir, kaki diinjak Y, yang kemudian diketahui adalah salah satu pelaku.
Asyam sempat mengutarakan kepada sang ibu bahwa dirinya ingin mengundurkan diri pada diksar karena merasa tidak kuat. Kendati demikian, pihak panitia tidak mengizinkan dan memisahkan Asyam dari rombongan. Hal tersebut pun diakui oleh pihak mapala saat konferensi pers di Kampus UII Cik Ditiro, Jumat (27/1).
"Jadi memang salah satu dari almarhum yang meminta untuk mengundurkan diri. Kami dari panitia menginginkan pergi 37 dan pulang 37 dan diusahakan mereka bersama-sama temannya dari awal hingga akhir," ungkap Wildan Nuzula, ketua panitia.
Kondisi semakin menurun, Asyam pun menghembuskan napas terakhir pada Sabtu (21/1) pukul 14.45 WIB di RS Bethesda. Kematian Asyam disebabkan pneumonia dan gagal napas. Melihat kondisi anaknya yang penuh luka, keluarga Asyam melalui sang ayah Abdulah Arbi mengajukan permintaan anaknya untuk di autopsi. Jenazah Asyam pun dikirim ke RS Sardjito selaku rumah sakit yang ditunjuk oleh pihak kepolisian.
Ditemui di ruang kerjanya, Kamis (26/1), Kepala Bagian Hukum dan Humas RS Sardjito Trisno Heru Nugroho memaparkan bahwa terdapat jenazah atas nama Syaits Asyam tiba di RS Sardjito pada Minggu dini hari (22/1) sekitar pukul 00.40 WIB dengan keadaan lebam-lebam kebiruan di seluruh tubuh. "Surat dari kepolisian mengenai permintaan visum diberikan dan dilakukan pukul 13.00 WIB," terang Heru.
Autopsi jenazah Asyam dilakukan sekitar tiga jam pada pukul 13.00 WIB. Adapun dokter yang menangani bernama dr Ida Bagus (IB) Putra Bidanda, spesialis forensik konsultan bersama lima tim. "Selama tiga jam melakukan autopsi untuk memastikan adakah organ dalam atau luka dalam atau gambaran memar-memar dalam. Kalau memar kan di luar jadi kita lakukan autopsi untuk mengetahui lukanya menjalar sampai mana. Tim melakukan autopsi luar dan dalam," papar Heru.
Korban meninggal terakhir, Ilham Nurfadmi Listia Adi, yang dinyatakan tak bernyawa Senin (23/1) pukul 23.20 WIB pun tak jauh beda kondisinya. Mahasiswa asal Lombok Timur ini masuk di ICU RS Bethesda pada pukul 09.39 WIB. Kondisi Ilham pucat dengan luka di bagian dagu. Ilham mengeluh sakit perut dan mulas. Menurut penuturan salah satu temannya, Ilham sempat jatuh dan pingsan di kamar mandi.
Perawat IGD pun mengecek kondisi Ilham dan mendapati luka-luka kecil di tangan, kaki, dan kuku jempol kaki kanan yang hampir copot. Dokter pun memasangkan infus dan melakukan uji laborat seperti cek darah. Ilham pun diinapkan di Ruang VI pada pukul 13.30 WIB. Sebelumnya, Ilham sempat mondok di RS JIH beberapa hari sebelumnya.
Pada pukul 15.00 WIB, Ilham sempat mengalami berak darah karena adanya trauma abdomen (bagian perut). Ilham pun mendapat satu botol transfusi darah. Pada malam hari, Ilham dilarikan ke ICU pada pukul 19.30 WIB. Dokter mendiagnosa Ilham mengalami Hematosisia, anemia, dan Vulnus Laceratum dengan tensi 80/40 dan nadi 123. Kondisi semakin menurun, Ilham pun menghembuskan napas terakhirnya di RS Bethesda pukul 23.20 WIB.
Keluarga inginkan keadilan
Pihak keluarga membawa kasus anaknya ke ranah hukum. Pada Selasa (24/1) ayah dari Ilham, Syafii terbang ke Yogyakarta langsung mendatangi Polda Yogyakarta untuk melaporkan dugaan penganiayaan pada anaknya. Syafii pun menceritakan kepada awak media bahwa Ilham sempat menelepon dirinya ketika dirawat di RS Bethesda. Ketika menyambangi Rumah Duka Bethesda, Syafii membeberkan bahwa anaknya mengeluh sakit dan mengaku mendapat kekerasan saat mengikuti diksar Mapala UII.
Polres Karanganyar menggelar olah TKP kasus meninggalnya tiga mahasiswa UII. (foto: Instagram/@polreskaranganyar)
Syafii tidak terima dengan kematian anak bungsunya. Ia pun mengajukan autopsi untuk jenazah anaknya. Kemudian jenazah diantar ke RS Sardjito untuk dilakukan autopsi. Heru menceritakan korban yang kedua, bernama Ilham datang dari Bethesda dengan keadaan sudah dikafani pada Selasa (24/1). Dokter yang menangani adalah spesialis forensik konsultan Lipur Riyantiningtyas bersama lima tim.
Kedua hasil autopsi telah ada dan diserahkan kepada kepolisian Karanganyar. "Saya tidak bisa cerita lebih banyak. Terbukti memang ada unsur-unsur benturan benda keras, tapi apa wujudnya dan organ mana yang kena, saya belum bisa ngasih tahu. Ini rahasia," ungkap Humas RS Sardjito Trisno Heru Nugroho ketika ditanya mengenai hasil autopsi dua jenazah korban Mapala UII. Heru menambahkan bukti autopsi bisa menjadi bukti evidence based atau bukti kuat dalam pengadilan.
Olah TKP terus dilakukan di lokasi Diksar Mapala, Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah. (foto: Instagram/@polreskaranganyar)
"Jadi harus diproses. Harus dibuktikan lewat pengadilan dan hasil forensik dari kami ini sebagai bukti evidence based atas banyaknya cedera sampai kesimpulan penyebab kematian."
Bagi Heru kematian dari peserta diksar Mapala UII ini merupakan bencana akademis di dunia pendidikan, khususnya di Jogja. Heru hanya bisa menyebutkan bahwa kedua jenazah yang diautopsi sama-sama terbukti mengalami kekerasan.
"Saya tegaskan bukan karena sakit dari hasil visum. Tapi tidak bisa dipublikasikan, itu penyidik yang akan membuka lebar-lebar di persidangan," pungkasnya.
Baca tulisan sebelumnya:
Multilevel itu bernama kekerasan
Tulisan kedua dari empat tulisan yang disiapkan redaksi. Simak terus liputan khusus brilio.net terkait "kasus kekerasan dalam dunia pendidikan tinggi" (tewasnya tiga mahasiswa UII dalam kegiatan Diksar Mapala)
Recommended By Editor
- Misteri Sumur Upas, situs Majapahit yang punya banyak lorong rahasia
- Melihat kampung Majapahit di Trowulan, jelajahi permukiman abad ke-14
- Kisah 'Dukun Cilik' Ponari, mantan miliarder yang ingin jadi tentara
- Purbalingga, 'pabrik raksasa' produsen knalpot yang legendaris
- Melihat Desa Wig di Purbalingga, semua warganya ahli mengolah rambut