Brilio.net - Program magang mahasiswa jadi andalan kerja sama kampus dan industri selama ini. Namun sejatinya, program magang ini harusnya tak menjadi satu-satunya bentuk kolaborasi antara industri dan perguruan tinggi. Pasalnya, harus ada inovasi dalam kolaborasi agar tak hanya menghasilkan pengalaman bagi mahasiswa, tetapi juga memberikan benefit pada industri kerja.

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), Satryo Soemantri Brodjonegoro menyoroti kerja sama antara perguruan tinggi vokasi dan dunia industri yang selama ini dinilai masih terlalu bertumpu pada program magang mahasiswa. Menurutnya, ketergantungan berlebihan pada program magang mencerminkan lemahnya inovasi dalam kemitraan.

"Magang mahasiswa memang penting, tapi bukan satu-satunya jalan. Kolaborasi harus lebih strategis dan relevan, apalagi kalau bicara soal peningkatan kualitas produk UMKM," ujar Satryo dalam acara "Urun Rembug Ekspor Nasional: UMKM 'Bisa' Ekspor" yang digelar Kementerian Perdagangan seperti dikutip brilio.net Jumat (13/12).

Ia menekankan bahwa perguruan tinggi perlu keluar dari zona nyaman dengan menawarkan program-program baru, seperti pelatihan industri, teaching factory, hingga riset bersama yang berdampak langsung pada kualitas produk UMKM. Di sisi lain, industri juga diminta melihat kerja sama ini sebagai investasi strategis, bukan sekadar beban.

Ketika magang dianggap beban  dikti.kemendikbud.go.id

foto: dikti.kemendikbud.go.id

Satryo mengakui, masih ada anggapan bahwa mahasiswa magang menjadi beban bagi dunia usaha. Kurangnya kesiapan industri untuk menerima pemagang sering kali menjadi penyebab minimnya dampak positif dari program ini. Padahal, idealnya magang memberikan manfaat mutual.

"Mahasiswa mendapatkan pengalaman, sedangkan industri bisa memanfaatkan energi dan ide segar anak muda untuk meningkatkan produktivitas dan inovasi produk," jelasnya.

Namun, Satryo juga mengingatkan bahwa program magang seharusnya bukan satu-satunya bentuk kemitraan. Selama ini, kontribusi lainnya seperti riset, pendampingan UMKM, atau pengembangan kurikulum masih sangat minim.

Menanggapi tantangan diversifikasi ini, Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga, Nafik Hadi Ryandono, mengusulkan program inkubasi mahasiswa sejak semester awal untuk mencetak calon pengusaha ekspor. Dalam skema ini, mahasiswa diarahkan menjadi pelaku usaha yang mampu menembus pasar internasional begitu lulus.

"Setiap perguruan tinggi bisa memiliki teaching factory sesuai spesialisasinya. Mahasiswa dilibatkan dalam proses pengembangan prototipe, uji pasar, hingga komersialisasi produk," ungkap Nafik dalam forum yang sama.

Ketika magang dianggap beban  dikti.kemendikbud.go.id

foto:dikti.kemendikbud.go.id

Kerja sama pendidikan vokasi dan industri sebenarnya memiliki potensi besar untuk mendorong UMKM naik kelas. Melalui teaching factory, pelatihan, dan riset bersama, produk UMKM diharapkan bisa bersaing di pasar global. Namun, Satryo mengingatkan bahwa keberhasilan program ini membutuhkan kemitraan yang inovatif, bukan sekadar formalitas.

"Pendidikan vokasi tidak hanya menghasilkan lulusan yang siap kerja, tetapi juga harus siap membangun UMKM. Kalau hanya magang, yang diuntungkan lebih banyak kampusnya daripada industrinya," ujarnya.

Dengan tantangan global yang terus berkembang, Satryo berharap perguruan tinggi mampu menghadirkan program-program baru yang tidak hanya relevan, tetapi juga mampu menjawab kebutuhan pasar. Di sisi lain, industri diharapkan lebih terbuka untuk menjalin kemitraan strategis yang saling menguntungkan.