Brilio.net - Wacana soal sekolah khusus untuk anak-anak korban kekerasan belakangan ini ramai dibicarakan. Program ini pertama kali dilontarkan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti dan didukung penuh oleh Wakil Presiden. Tujuannya, memberikan tempat aman bagi anak-anak yang mengalami trauma akibat kekerasan, baik fisik maupun psikologis.

Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka menyambut baik dan mendukung ide dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti yang ingin membangun sekolah khusus untuk anak-anak yang menjadi korban kekerasan.

Gibran menilai ide tersebut penting untuk direalisasikan agar anak-anak yang mengalami kekerasan, termasuk kekerasan seksual mendapatkan atensi khusus.

"Jangan sampai mereka malah dikeluarkan dari sekolah. Kalau bisa kita beri atensi khusus, kalau bisa dibangunkan sekolah khusus untuk mereka. Ini idenya Pak Menteri ya, bukan ide saya. Dan ini saya kira ide yang sangat baik," kata Wapres saat memberi arahan dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Evaluasi Pendidikan Dasar dan Menengah di Jakarta, Senin (11/11) lalu.

sekolah khusus anak korban kekerasan  2024 brilio.net

foto: YouTube/Wakil Presiden Republik Indonesia

Namun, di balik rencana ini ada beberapa hal yang perlu dipikirkan dengan matang. Rencana ini bisa dibilang memberikan tempat khusus bagi penyintas. Tapi, jangan sampai niat baik ini malah membuat mereka merasa "dikotakkan" atau bahkan diasingkan dari lingkungan.

Wapres pun optimis ide ini akan mendapat dukungan penuh dari Presiden Prabowo Subianto.

"Saya kira nanti kalau dilaporkan ke Pak Presiden Prabowo, beliau pasti akan menyambut baik juga. Jadi sekolah khusus untuk para-para korban-korban kekerasan, ini saya kira sangat baik sekali," kata Wapres.

Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), angka kekerasan di tahun 2024 terhadap anak masih terus naik dan menunjukkan tren yang cukup memprihatinkan.

sekolah khusus anak korban kekerasan  2024 brilio.net

foto:Tangkapan Layar KemenPPPA

Grafik di atas menunjukkan bahwa kelompok umur 6-12 tahun memiliki persentase korban sebesar 20,6 persen, menjadikannya salah satu kelompok terbesar dalam distribusi korban berdasarkan usia.

Angka ini menempatkan kelompok umur 6-12 tahun di posisi ketiga setelah kelompok umur 13-17 tahun (35,8 persen) dan 25-44 tahun (20,8 persen). Proporsi yang signifikan ini mengindikasikan bahwa anak-anak usia sekolah dasar juga rentan menjadi korban, hampir setara dengan kelompok usia dewasa muda.

Angka ini menunjukkan juga, remaja dan dewasa muda lebih rentan menjadi korban dibandingkan kelompok usia lainnya.

Menurut Siti Zoura Humaira, anggota organisasi Persatuan Orang Tua Peduli Pendidikan (Saranglidi), ada aspek lain yang perlu diperhatikan dari rencana ini.

"Anak-anak yang pernah mengalami kekerasan perlu ruang aman, tapi mereka juga punya hak untuk tidak dilabeli sebagai korban," ujar Zoura kepada Brilio.net.

Menurutnya, kalau program ini tidak dirancang dengan bijak, malah bisa jadi bumerang.

"Mereka punya hak untuk tidak dilabeli sebagai "korban kekerasan". Kalau tidak hati-hati, mereka malah bisa merasa terasing atau malu karena sekolah di tempat yang dipandang berbeda," tambah Zoura kepada Brilio.net.

Anak-anak seharusnya bisa tumbuh tanpa beban identitas negatif. Kalau mereka terus diingatkan bahwa mereka korban kekerasan dalam bentuk lingkungan belajar yang eksklusif, ada kekhawatiran anak-anak ini malah jadi terpenjara dalam label tersebut. Padahal, tujuan utama program ini adalah untuk membantu mereka bangkit, bukan membuat mereka tenggelam dalam trauma masa lalu.

Maka, kehadiran sekolah khusus ini dianggap sebagai solusi. Di sini, anak-anak bisa merasa aman, bebas dari tekanan dan intimidasi.

"Sekolah khusus ini harus benar-benar bisa membuat mereka merasa diterima dan tetap punya martabat, tanpa merasa bahwa identitas mereka sebagai korban membatasi mereka, tegas Zoura pada Brilio.net.