Brilio.net - Masalah stunting di Indonesia memang nggak ada habisnya. Meski, sudah ada program kayak makan siang gratis buat anak sekolah, angka stunting masih tinggi. Belum selesai masalah ini yang lainnya muncul lagi. Kayak misalnya impor dokter dari luar negeri. Tenaga medis agaknya memang sedang diuji.

Kepada Brilio.net, Dekan Fakultas Kedokteran UNISA Yogyakarta mengungkapkan program makan siang gratis ini memang menjadi salah satu faktor pendukung menekan angka stunting.

"Program makan gratis satu dari upaya menekan stunting. Stunting kita itu masih tinggi jadi target pemerintah itu 14,1 persen kalau tidak salah. Ternyata tidak terpenuhi. Nah, ke depan ternyata itu diexpand sampai 2029 kalau tidak salah," jelas dr. Joko Murdiyanto, Sp. An, MPH., FISQua kepada Brilio.net.

Ketika tenaga medis diuji  2024 brilio.net

foto: istimewa

Tapi kalau angka stunting masih tinggi, berarti ada yang salah. Stunting bukan cuma soal makanan, tapi juga kualitas makanan, pola hidup sehat, dan akses kesehatan.

Stunting nggak cuma bikin anak jadi lebih pendek. Ini berpengaruh ke otak, kemampuan belajar, dan bisa ningkatin risiko penyakit kronis. Dalam jangka panjang, ini bakal pengaruh ke kualitas generasi selanjutnya juga.

"Baik aspek kesehatannya, kepandaiannya, tumbuh kembangannya, sehingga upaya-upaya bagaimana menekan stunting itu harus dilakukan banyak pihak," tambah dr. Joko Murdiyanto kepada Brilio.net.

Program makan siang gratis bukan pertama di dunia

Dosen Prodi Gizi, FKM, Universitas Ahmad Dahlan, Muhammad Ridwan Ansari mengatakan, sebenarnya, program makan siang gratis atau biasa disebut school lunch program (SLP) buat anak sekolah ini sebenarnya udah banyak diterapin di banyak negara, termasuk Jepang sejak 1889. Jepang bahkan bikin program ini wajib di SD dan SMP sejak 1957 dan terbukti punya dampak positif banget buat kesehatan dan gizi anak.

Menurut Ridwan, studi di Jepang dan Bogor nunjukin kalau program makan siang ini bisa bantu anak-anak makan lebih sehat dan juga turunin masalah kesehatan kayak anemia.

Jadi, biar program ini berhasil, ada beberapa hal yang harus diperhatikan banget. Pertama, masalah pengadaan makanan dan distribusi harus jelas, supaya nggak ada masalah korupsi atau makanan nggak aman, apalagi buat anak yang punya alergi atau harus makan halal. Kedua, makanan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan gizi anak, jangan sampai malah bikin anak jadi obesitas, masalah lain yang nggak kalah serius dari stunting.

Melihat pengalaman program bantuan sosial di Indonesia, banyak yang khawatir kalau program makan siang ini malah jadi beban baru buat negara atau jadi celah korupsi. Misalnya, di Jepang, satu anak SD dianggarkan sekitar 39 USD per bulan, jadi kalau diterapin di Indonesia, biayanya pasti besar.

Makanya, banyak yang berpendapat kalau program ini bukan solusi utama buat atasi stunting di Indonesia. Program lain yang fokus ke 1.000 hari pertama kehidupan malah bisa lebih efektif. Pemerintah juga perlu mendorong riset-riset yang bisa cari solusi masalah kesehatan dengan melibatkan pelaksana di lapangan. Program suplementasi tablet tambah darah buat ibu hamil dan remaja contohnya, udah lama ada tapi selalu ketemu masalah klasik kayak kurangnya stok atau nggak ada yang ngonsumsi sesuai dosis.

Wacana pemerintah Indonesia impor dokter dari India

Sekarang, pemerintah lagi mikir buat impor dokter. Memang sih, kurangnya dokter di daerah terpencil jadi alasan kuat. Tapi, apakah itu bakal selesaiin masalah stunting?

Wacana ini muncul saat Presiden RI Prabowo Subianto menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Rio de Janeiro, Brasil, Senin (18/11) lalu. Sama Perdana Menteri India, Narendra Modi, Prabowo berharap India bisa mengirimkan profesor dan dokter spesialis mereka untuk mengajar di perguruan tinggi di Indonesia.

"Kami berharap dapat meningkatkan kerja sama dengan India, khususnya melalui pengiriman profesor dan dokter spesialis untuk mengajar di perguruan tinggi kami," ujar Presiden Prabowo, seperti yang dikutip dari rilis Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden.

Pertemuan itu juga membahas berbagai peluang kerja sama di bidang kesehatan, pendidikan, dan perdagangan, serta memperkuat hubungan bilateral antara Indonesia dan India. Kekurangan dokter bukan satu-satunya masalah. Kalau dokter dari luar datang, mereka bisa kesulitan ngatasin masalah mendalam kayak kebiasaan hidup yang nggak sehat dan kurangnya pengetahuan soal gizi.

Nah, wacana impor dokter ini malah nunjukin paradoks. Di satu sisi, pemerintah kesulitan dapetin dokter lokal. Di sisi lain, malah nunjukkin kalau sistem pendidikan medis di Indonesia dan distribusi dokter masih jauh dari ideal.