Brilio.net - Nasib miris harus dialami oleh 3 siswa SD di Pandeglang, Banten. 3 Siswa SD kakak beradik ini punya latar belakang ekonomi yang kurang mampu. Hal ini membuat ketiganya terpaksa dipulangkan oleh sekolah karena tidak dapat membayar tunggakan SPP sebesar Rp42 juta.
Faeza (11), Farraz (10), dan Fathan (7) menangis sesenggukan setelah dipulangkan paksa oleh bos yayasan sekolah. Keputusan untuk mengeluarkan mereka diambil saat pelajaran masih berlangsung, sehingga menimbulkan rasa kecewa dan duka yang mendalam.
foto: X/@Mdy_Asmara1701
Padahal ketiganya tak melakukan kesalahan apapun. Namun mereka dipaksa meninggalkan sekolahnya hanya karena keadaan ekonomi keluarga yang sangat memprihatinkan.
Sekolah yang seharusnya menjadi contoh dalam menerapkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan justru tidak memberikan kesempatan kepada mereka, meskipun prestasi akademis mereka telah diakui dengan berbagai sertifikat penghargaan.
Faeza, yang kini berada di kelas 6 SD, menyampaikan kebingungan dan ketakutannya.
"Kepala yayasan memarahi saya di depan teman-teman dan meminta saya untuk tidak melanjutkan belajar di sini karena tunggakan SPP yang sudah terlalu menumpuk," kata Faeza dengan kepala tertunduk pada Sabtu (26/10) lalu.
Tertekan sekaligus merasa malu semakin menghimpitnya, di tengah ketidakpastian masa depan yang membayangi. Sementara itu, ibunda Faeza, Defi Fitriani, tak dapat menahan air mata saat menceritakan nasib anak-anaknya.
Diketahui, tiga kakak beradik tersebut adalah siswa berprestasi. Terbukti dari banyaknya sertifikat penghargaan yang telah mereka raih. Namun sekarang, pendidikan mereka terancam terhenti hanya karena kami tidak mampu membayar biaya sekolah," suaranya bergetar penuh emosi.
foto: X/@Mdy_Asmara1701
Defi juga menjelaskan bahwa selain masalah SPP, keluarga mereka sedang menghadapi kesulitan lain, termasuk menunggak kontrakan selama tiga bulan.
Defi dalam kesempatannya juga menjelaskan terkait tunggakan pembiayaan sekolah sebanyak Rp42 juta.
Ia menguraikan, tunggakan tersebut tidak hanya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Namun juga terkait uang pembangunan, seragam, hingga buku-buku pelajaran.
Biaya SPP per bulan, anak pertama sebanyak Rp350 ribu, anak kedua sebanyak Rp300 ribu, dan anak terakhir Rp250 ribu.
Sementara ayah Faeza, Muhammad Fahat, hanya bekerja sebagai buruh harian lepas. Fahat mengungkapkan keprihatinan mendalam tentang kondisi pendidikan di Kabupaten Pandeglang.
"Anak-anak saya tidak bisa bersekolah hanya karena kami miskin. Biaya SPP sebesar Rp42 juta jelas di luar kemampuan kami. Bagaimana kami bisa membayar, sementara untuk kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit?" ungkapnya.
Kejadian ini memancing berbagai pertanyaan mengenai kebijakan sekolah. Sebagai lembaga yang seharusnya bertugas mencerdaskan bangsa, tindakan memulangkan siswa akibat masalah ekonomi sangat tidak pantas.
Terlebih lagi, sekolah tersebut telah menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah, yang seharusnya digunakan untuk mendukung siswa kurang mampu.
Kasus ini diharapkan jadi perhatian serius dari Menteri Pendidikan dan Presiden Prabowo Subianto, yang memiliki program unggulan untuk memajukan pendidikan di Indonesia.
Mereka diharapkan dapat melakukan perbaikan dalam sistem agar insiden serupa tidak terulang, terutama di sekolah-sekolah swasta yang seringkali mengambil langkah drastis dengan mengeluarkan siswa karena alasan ekonomi.
Recommended By Editor
- Guru besar Unair sesalkan pembekuan BEM karena bikin baliho satire, begini kronologinya
- Presiden Prabowo prioritaskan pendidikan, anggaran 2025 tertinggi dalam sejarah
- Kualitas pendidikan bagus meski tak pakai UN, intip sistem ujian di 7 negara maju ini
- Presiden Prabowo tekankan pembelajaran STEM, kenali pengertian, manfaat dan metode belajarnya
- Diganti nama 6 kali sampai dihapus, begini sejarah Ujian Nasional yang akan diadakan lagi
- 11 Negara dengan gaji guru tertinggi di dunia, Indonesia urutan berapa?
- Intip penerapan sistem zonasi di 5 negara ini, benarkah bisa jadi solusi pemerataan pendidikan?