Brilio.net - Vonis hakim soal kebiri kimia terhadap narapidana pemerkosaan di Mojokerto disoroti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komnas HAM bahkan menyebut hukuman tersebut menandakan adanya kemunduran tata kelola pemidanaan di Indonesia.

Sorotan ini disampaikan oleh salah satu komisioner Komnas HAM, M Choirul Anam saat berkunjung ke Mapolda Jatim. Menurut Anam, sapaan akrabnya, sejak awal sikap Komnas HAM sudah menolak Perpu yang mengatur masalah hukuman kebiri tersebut.

"Sejak awal sejak dibentuknya peraturan tersebut di Perpu itu kami menolak. Kenapa kami menolak karena kebiri itu melanggar hak asasi manusia. Minimal kenapa kami menolak karena kebiri itu melanggar hak asasi manusia minimal ada konvensi anti-penyiksaan yang di dalamnya ada melarang penghukuman yang sifatnya penyiksaan dan merendahkan martabat," katanya, seperti dilansir brilio.net dari merdeka.com, Senin (26/8).

Ia menambahkan, selama 10 tahun terakhir ini Indonesia sudah melakukan reformasi tata kelola pemidanaan di Indonesia termasuk juga hukuman. Sehingga dengan adanya hukuman kebiri ini dianggapnya sebagai hukuman yang kembali pada zaman dahulu.

"Penghukuman dengan kebiri ini sama juga mundur ke zaman baheula, zaman kerajaan dan dulu ada di kerajaan China ada di Kerajaan Nusantara juga ada dan di kerajaan di dunia memakai itu. Dan pada akhirnya penghukuman itu diganti dengan hukuman badan atau kurungan kok ini tiba-tiba balik lagi seperti zaman jahiliah," tandasnya.

Untuk itu, pihaknya pun mengecam keras hukuman yang dianggap telah merendahkan martabat manusia. Meski di sisi lain pihaknya juga tetap mengecam pelaku pemerkosaan. Namun bukan berarti harus menghukum pelaku yang dikategorikannya merendahkan martabat manusia dengan kehilangan martabat itu pula.

"Ini mundur, bahwa kami mengecam dengan keras siapapun pelaku pemerkosaan mau jumlahnya 1, mau jumlahnya dua korbannya, itu kami kecam keras karena itu memang kategori merendahkan martabat manusia. Tapi bukan berarti kejahatan yang merendahkan martabat itu kita kehilangan martabat kita dalam melakukan penghukuman," ungkapnya.

Untuk itu, sejak awal pula pihaknya telah mendesak pada pemerintah agar mencabut Perpu yang mengatur masalah hukuman pengebirian kimia pada pelaku pelecehan seksual.

Bagaimana dengan efek jera? Anam menyatakan, jika hukuman pengebirian tidak menjamin pelaku akan jera. Ia mencontohkan, jika zaman dahulu kenapa terus berubah dari hukuman fisik seperti itu menjadi hukuman penjara, karena dulu dianggap tidak menimbulkan efek jera.

"Dulu bahkan ada orang melakukan kejahatan dijemur, disayat-sayat, dikasih air garam. Apakah kejahatan juga turun, enggak. Malah kita harus belajar, malah kita harus belajar banyak di bagian negara lain dimana penegakan hukum lebih maju misalnya di Eropa. Orang di Eropa itu penjaranya juga berkurang, kenapa karena model pemidanaannya berubah dan kesadaran hukum juga berubah inikan persoalan kesadaran hukum bukan persoalan dimana tata kelola atau hukuman," urainya.

Ia pun menegaskan, jika sebagai pengganti hukuman kebiri, pada prinsipnya adalah yang bisa membuat jera pelaku dan terasa berkeadilan untuk korban. Dan hukuman seberat-beratnya bagi Komnas HAM adalah hukuman seumur hidup. Namun kalau ini dilakukan oleh residivis misalnya pemerkosaan dia bisa dihukum seumur hidup dan dipastikan hukuman seumur hidup itu bisa ditambah dengan hukuman sosial.

Komnas HAM hukuman kebiri  2019 Merdeka.com/Iqbal Nugroho

foto: Merdeka.com/Iqbal Nugroho

Untuk diketahui, narapidana pemerkosaan bernama Muhammad Aris yang sejak 2015 lalu terbukti telah mencabuli 9 anak gadis yang tersebar di Wilayah Mojokerto. Modusnya, sepulang kerja menjadi tukang las dia mencari mangsa, kemudian membujuk korbannya dengan iming-iming dan membawanya ke tempat sepi lalu melakukan perbuatan asusila pada korban.

Aksi pelaku sempat terekam kamera CCTV salah satu perumahan di Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto, Kamis (25/10) sekitar pukul 16.30 WIB. Hingga akhirnya pelaku berhasil diringkus polisi pada 26 Oktober 2018.

Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto menjatuhkan vonis bersalah pada Aris karena melanggar Pasal 76 D juncto Pasal 81 ayat (2) UU RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Vonis tersebut tertuang dalam Putusan PN Mojokerto nomor 69/Pid.sus/2019/PN.Mjk tanggal 2 Mei 2019.

Hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan pun dijatuhkan pada Aris. Sebagai hukuman tambahan, hakim memerintahkan pada jaksa agar melakukan kebiri kimia.

Dalam kasus ini, Aris sempat minta banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur karena tidak terima dengan putusan hakim. Namun, oleh hakim PT, putusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto justru dikuatkan.

Vonis tersebut tertuang dalam Putusan PT Surabaya nomor 695/PID.SUS/2019/PT SBY tanggal 18 Juli 2019. Putusan ini pun dianggap berkekuatan hukum tetap, lantaran Aris tak lagi mengajukan keberatan alias kasasi.