Mahkamah Agung (MA) baru saja menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh delapan terpidana dalam kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita dan Muhammad Rizky (Eky) di Cirebon. Keputusan ini diambil berdasarkan penilaian hakim yang menyatakan bahwa tidak ada kekhilafan dalam putusan sebelumnya. Selain itu, bukti baru atau novum yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana dianggap tidak memenuhi syarat sesuai dengan Pasal 263 KUHAP.

Putusan ini menegaskan bahwa setiap permohonan PK harus didasarkan pada fakta dan bukti yang kuat. Meski kuasa hukum terpidana sudah menghadirkan sejumlah bukti, seperti hasil ekstraksi percakapan dan pencabutan kesaksian saksi kunci, MA tetap berpendapat bahwa bukti tersebut tidak layak disebut novum.

Dalam artikel ini, dibahas lebih dalam mengenai alasan penolakan PK oleh Mahkamah Agung, kronologi pengajuan PK, serta tanggapan dari berbagai pihak terkait keputusan ini. Permohonan PK yang diajukan oleh delapan terpidana kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon dibagi menjadi dua perkara.

Perkara pertama diajukan oleh dua terpidana, sementara perkara kedua diajukan oleh lima terpidana lainnya. Satu permohonan lagi diajukan oleh Saka Tatal, seorang terpidana anak yang kini telah bebas murni, dengan tujuan untuk membersihkan namanya dari kasus tersebut.

Juru Bicara Mahkamah Agung, Yanto, mengungkapkan bahwa musyawarah dan pembacaan putusan dilakukan pada hari Senin (16/12), dengan hasil yang menolak permohonan PK para terpidana. Alasan utama penolakan PK adalah tidak adanya kekhilafan dalam putusan hakim pada tingkat sebelumnya, baik judex factie maupun judex juris. MA juga menilai bahwa novum yang diajukan oleh para terpidana tidak memenuhi syarat sebagai bukti baru.

"Pertimbangan Majelis Hakim dalam menolak permohonan PK tersebut, antara lain, tidak terdapat kekhilafan judex facti dan judex juris, dalam mengadili para terpidana dan bukti baru atau novum yang diajukan terpidana, bukan merupakan bukti baru, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 263 ayat 2 KUHAP, " tegasnya.

Kuasa hukum para terpidana mengajukan beberapa bukti baru dalam upaya PK, termasuk hasil ekstraksi percakapan ponsel dan pengakuan saksi kunci yang mencabut kesaksiannya. Namun, majelis hakim menilai bahwa bukti-bukti tersebut tidak memenuhi kriteria novum yang harus bersifat baru dan signifikan untuk memengaruhi putusan.

Kuasa hukum terpidana menyatakan kekecewaan atas putusan MA yang mereka anggap sebagai tragedi hukum. Mereka berpendapat bahwa bukti yang diajukan sudah cukup kuat untuk dipertimbangkan ulang. Sementara itu, pihak keluarga terpidana merasa sangat sedih atas keputusan ini, yang dianggap menutup harapan mereka untuk memperoleh keadilan. Namun, kuasa hukum menegaskan akan terus mencari opsi hukum lain.

Penolakan PK oleh Mahkamah Agung ini mempertegas bahwa proses hukum yang dijalankan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan putusan ini, para terpidana tetap harus menjalani hukuman sesuai dengan vonis sebelumnya, termasuk penjara seumur hidup. Ini juga memberikan pesan bahwa pengajuan PK harus didukung oleh bukti baru yang kuat dan dapat membuktikan adanya kekeliruan dalam putusan sebelumnya.

MA menolak PK karena tidak ada kekhilafan dalam putusan hakim sebelumnya dan novum yang diajukan tidak memenuhi syarat. Novum sendiri adalah bukti baru yang belum diketahui sebelumnya dan dapat memengaruhi putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Dalam kasus ini, delapan terpidana, termasuk satu terpidana anak bernama Saka Tatal, mengajukan PK. Setelah PK ditolak, opsi hukum lainnya adalah pengajuan grasi, amnesti, atau bahkan PK kedua jika ditemukan bukti baru yang sah.