Brilio.net - Di Indonesia, hoax diproduksi dengan mengedit foto dan menambahkan tulisan tertentu. Untuk video, biasanya pemotongan atau penambahan adegan bisa juga membuat sebuah video menjadi hoax atau berisi ujaran kebencian. Sebut saja kelompok Saracen yang sempat menghebohkan publik beberapa waktu lalu. Kelompok ini membuat berita hoax dan ujaran kebencian dengan membuat meme atau foto editan.
"SRN melakukan ujaran kebencian dengan melakukan posting atas namanya sendiri maupun membagikan ulang posting dari anggota Saracen yang bermuatan penghinaan dan SARA menggunakan akun pribadi dan beberapa akun lain yang dipinjamkan oleh tersangka JAS," kata Kasubdit 1 Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Pol Irwan Anwar, dilansir dari Merdeka.
Tapi jangan keliru, teknologi makin canggih. Produksi kebohongan juga makin canggih. Di luar negeri, teknologi pembuatan berita hoax sudah sangat canggih. Dengan teknologi ini video pidato seseorang bisa dibuat tanpa harus merekam menggunakan kamera. Hanya tinggal membuat beberapa perintah pada mesin komputer maka foto, audio, dan video bisa dibuat dengan mudah.
Bagaimana teknologinya? Sebuah laman di theeconomist mengupas semua itu. Dalam artikel berjudul 'creation stories', theeconomist mengulas tentang teknologi di balik pembuatan sebuah media tanpa melibatkan narasumber.
Sebut saja video karya Mario Klingemann ini. Marlin membuat sebuah video berjudul Alternative Face v1.1 yang sepenuhnya buatan komputer. Marlin hanya perlu membuat komputer belajar tentang suara dan gaya dari Franoise Hardy. Marlin membuat sebuah sistem saraf buatan yang belajar dari 68 wajah Franoise yang diberikan oleh Marlin. Sistem terseebut juga belajar suara dari Franoise dari 7 klip music video yang diberikan.
Ternyata, audio lebih mudah untuk dipalsukan. Biasanya komputer hanya merangkai beberapa frasa dari sebuah rekaman untuk membuat satu rekaman baru. Teknologi ini sama dengan asisten pribadi Siri yang dimiliki oleh Apple. Tapi, teknologi ini masih dibatasi oleh banyaknya frasa yang menjadi pusat datanya.
Oleh karena itu, sebuah teknologi bernama "Generative Audio" bisa melewati limitasi ini. Perusahaan seperti Google dan pusat penelitian seperti Montreal Institute for Learning Algorithm (MILA) membuat sebuah sistem yang bisa memproduksi sebuah suara mirip dengan manusia. Teknologi ini hanya ada di perusahaan besar karena membutuhkan sumber daya yang besar melebihi komputer rumah biasa.
Membuat foto atau gambar ternyata lebih sulit daripada audio. Teknologi ini sama dengan yang digunakan oleh video yaitu Generative Adversarial Network (GAN). Pada intinya, teknologi ini terbagi menjadi dua bagian. Sistem pertama akan membuat gambar dari perintah yang ada. Misalnya perintah membuat gambar tentang burung. Lalu sistem yang kedua akan melihat bahwa foto itu asli atau tidak. Kedua sistem ini akan saling berkompetisi satu sama lain. Sehingga nanti hasilnya akan membuat sebuah gambar yang seperti aslinya.
Teknologi GAN sekarang hanya bisa memproduksi gambar burung seukuran perangko. Tapi di masa depan, teknologi ini bisa memproduksi gambar seseorang yang tidak pernah ada. Foto produksi mesin ini akan sulit dibedakan dengan sebuah foto asli dari kamera.
Tapi jangan khawatir, teknologi untuk memerangi ini juga sudah ada. Salah satunya adalah perusahaan chip komputer Nvidia. Perusahaan yang terkenal sebagai produsen chip grafis komputer ini menggunakan teknologi AI untuk menangkis sebuah berita Hoax. Penelitian yang dilakukan tahun 2014 ini mematahkan hoax bahwa pendaratan bulan oleh Buzz Aldrin itu rekayasa semata. Nvidia mensimulasikan pemantulan dan penyerapan cahaya dari bulan di foto tersebut. Hasilnya menyatakan bahwa pencahayaan memang benar di bulan dan bukan dari sebuah set film.
Selain itu, organisasi Amnesty International juga menggunakan teknologi yang sudah ada untuk memerangi hoax. Salah satunya adalah menggunakan google earth untuk menentukan kebenaran sebuah foto. Dilansir dari theeconomist, Amnesti International sering mendapat foto tentang pelanggaran HAM.
Untuk memeriksa kebenarannya, Amnesty menggunakan google earth untuk melihat lokasi tersebut. Dia juga menggunakan Wolfram Alpha, sebuah mesin pencari untuk mengecek ulang kondisi cuaca dan pencahayaan di lokasi pengambilan foto tersebut.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Negeri kita ini masih bertarung melawan hoax lewat media sosial. Hoax yang beredar kebanyakan hanya foto dan audio editan. Tapi di luar sana, sudah banyak teknologi yang tidak hanya memanipulasi tapi membuat hoax dari nol. Sehingga sulit dibayangkan bagaimana wajah masyarakat Indonesia di masa datang, ketika hoax video menyebar.
Recommended By Editor
- Kenapa media asing ragukan Jokowi menang mutlak di Pilpres 2019?
- Kenapa AS tak sebut pelaku penembakan Las Vegas sebagai teroris?
- Di balik nyali besar pembalap drag race liar, begini pengakuannya
- Menelisik Gunung Agung dan spiritualitas warga Bali
- Budaya Indonesia sering diklaim, apa sebenarnya yang dimaui Malaysia?