Brilio.net - Gunung memiliki makna agung bagi masyarakat Bali. Tak terkecuali dengan Gunung Agung yang kini berstatus Awas. Masyarakat di sekitar gunung yang masuk radius 9 km harus mengungsi, menjauh dari gunung yang sedang bergejolak.
Status Awas tetap diberlakukan dan mengharuskan warga sekitar Gunung Agung, dan para pendaki, pengunjung, atau wisatawan agar tidak berada di zona perkiraan bahaya yaitu di area kawah Gunung Agung dalam radius 9 km.
Gunung Agung adalah gunung yang pernah meletus pada tahun 1963 dan menjadi bencana sangat dahsyat. Guna mememberi kekuatan pada warga sekitar gunung, Sabtu (30/9) ribuan umat lintas agama mengadakan doa bersama agar Bali tetap aman dari letusan Gunung Agung.
"Saya tunjukan kepada masyarakat di luar Bali. Intinya sebenarnya komponen seluruh masyarakat Bali bersatu padu untuk berdoa untuk menghadapi bencana alam Gunung Agung," ujar Pangdam IX Udayana Mayor Jenderal TNI Komaruddin Simanjuntak sebagai penyelengara dikutip dari Merdeka.
Bagi masyarakat Bali, Gunung Agung tidak bisa terpisahkan dari kehidupan mereka. Kehidupan spiritualitas dan material semuanya berorientasi pada kesakralan Gunung Agung. David D. Harnish dari Universitas Hawai melihat masyarakat Bali mengorientasikan dirinya dengan gunung tersebut. Dalam bukunya, "Bridges to the Ancestors: Music, Myth, And Cultural Politics at an Indonesian Festival" menyebutkan bahwa Gunung Agung adalah pusatnya dunia. Oleh karena itu, masyarakat Bali seperti kebanyakan masyarakat pulau lainnya menyesuaikan diri dengan gunung dan laut.
Hal ini berarti gunung sebagai tempat suci dan tinggi dan laut sebagai tempat yang rendah dan kotor. Sedangkan, ruang hidup manusia ada ditengahnya (madya). Hal ini tampak dari kebiasan tidur warga Bali. Mereka akan tidur menghadap Gunung Agung sesuai dengan kepercayaan ini.
Arah mata angin juga berbeda bagi warga Bali. Mereka menggunakan Gunung Agung dan laut sebagai titik poin referensi. Harnish dalam bukunya yang terbitan tahun 2006 menyebutkan bahwa di Bali Kaja, Kelod, Kangin, dan Kauh adalah empat mata angin yang dianut masyarakat Bali. Secara harafiah, keempat mata angin ini menunjuk arah utara, selatan, timur, dan barat.
Tapi keempat poin referensi ini akan dimaknai berbeda oleh warga di sana. Karena poin utara adalah Gunung Agung, orang yang ada di daerah Bali utara akan menyebut arah utara (kaja) di Gunung Agung dan arah selatan ke pantai utara. Sebaliknya, orang yang ada di daerah selatan akan menunjuk pantai selatan sebagai arah selatan (Kelod) dan Gunung Agung sebagai Utara.
Bagi warga Bali, mendaki Gunung Agung tidak boleh sembarangan. Hal ini juga berlaku bagi para wisatawan. Dalam buku panduan wisata yang ditulis oleh Lesley Reader "The Rough Guide to Bali and Lombok" mengatakan banyak persyaratan sebelum memulai mendaki Gunung Agung.
Buku terbitan tahun 2002 itu mengatakan bahwa ada waktu tertentu untuk mendaki karena banyak festival keagamaan yang diadakan masyarakat sekitar. Pendaki juga diharuskan untuk membawa persembahan ketika mendaki. Buku tersebut juga menyaratkan seorang pemandu lokal agar tidak menganggu ketentraman warga sekitar.
Bagi masyarakat Bali, Gunung Agung bukan sembarangan gunung. Gunung ini adalah pusat dari segala aktivitas warga bali. Mulai dari cara tidur sampai orientasi arah semuanya berpusat di gunung berketinggian 3,031 m. Spiritualitas dan tata cara hidup masyarakat yang melihat kondisi alam membuat Gunung Agung menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Bali.