Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia baru saja merilis data yang menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 hanya mencapai 68 persen. Ketua KPU, M. Afifudin, mengungkapkan bahwa angka ini merupakan rata-rata nasional yang perlu dievaluasi lebih lanjut.

"Dalam catatan kami, partisipasi pemilih di seluruh Indonesia hanya 68 persen. Ini adalah angka yang cukup rendah," ungkap Afifudin dalam rapat bersama Komisi II DPR di Jakarta pada Rabu (4/12).

Afifudin menyadari bahwa persentase ini menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terkait pelaksanaan Pilkada Serentak 2018. Ia menekankan pentingnya untuk meninjau kembali kebijakan internal serta situasi eksternal yang mungkin mempengaruhi hasil tersebut.

"Kita juga harus mempertimbangkan apakah pelaksanaan pilkada dan Pemilu 2024 yang berlangsung bersamaan berpengaruh terhadap rendahnya partisipasi pemilih," tambahnya.

Dalam rapat tersebut, Komisi II DPR dan KPU RI juga telah menyepakati jadwal untuk pilkada ulang di daerah yang kotak kosong, yang akan dilaksanakan pada 27 Agustus 2025. Kesepakatan ini dicapai dalam rapat kerja yang melibatkan berbagai pihak seperti Bawaslu RI dan Kemendagri.

"Penyelenggaraan pemungutan suara pemilihan ulang gubernur, bupati, dan wali kota akan dilakukan pada hari Rabu, 27 Agustus 2025," jelas Wakil Ketua Komisi II DPR, Zulfikar Arse Sadikin.

Afifudin juga menyampaikan bahwa ada dua opsi simulasi untuk pencoblosan ulang, yaitu pada 27 Agustus dan 24 September 2025, dengan persiapan yang akan dimulai pada Februari 2025.

 

LSI Denny JA: Penyebab Golput Meningkat di Pilkada 2024

Partisipasi pemilih di Pilkada 2024 hanya 68 persen, apa penyebabnya?

foto: facebook.com/maharani-ardini

Menurut peneliti dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adjie Alfaraby, ada beberapa faktor yang menyebabkan meningkatnya angka golput di Pilkada 2024 di tujuh provinsi. Pertama, jarak antara Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 yang terlalu dekat membuat masyarakat merasa lelah dan kehilangan daya tarik untuk berpartisipasi.

"Kelelahan pemilu menjadi salah satu penyebab, karena perhatian dan energi masyarakat sudah terkuras untuk pilpres dan pileg," ungkap Adjie dalam rilis survei secara daring.

Kedua, kandidat yang bertarung dianggap kurang menarik, terutama di Jakarta dan Sumatera Utara. Adjie menambahkan bahwa kandidat favorit seperti Anies Baswedan dan Ahok terlambat dalam maju secara politik.

Ketiga, masyarakat semakin skeptis terhadap kemampuan kepala daerah dalam mengubah hidup mereka, merasa bahwa keputusan penting lebih ditentukan oleh pemerintah pusat.

"Banyak program pemerintah pusat yang lebih populis dan menyentuh masyarakat bawah," jelasnya.

Terakhir, apatisme politik meningkat akibat polarisasi politik, korupsi, dan gaya hidup mewah para pejabat negara.

Partisipasi pemilih rendah, pemerintah pertimbangkan revisi jarak Pilpres dan Pilkada

Partisipasi pemilih di Pilkada 2024 hanya 68 persen, apa penyebabnya?

foto: Liputan6.com/Herman Zakharia

Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, juga membuka peluang untuk merevisi sistem pemilu, termasuk penjadwalan ulang antara pilpres dan pilkada. Hal ini sebagai respons terhadap rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024.

"Revisi jarak antara pilpres dan pilkada masih mungkin dilakukan, karena banyak usulan yang masuk ke kami," kata Bima di Istana Kepresidenan.

Ia menilai kejenuhan masyarakat akibat jadwal pemilu yang terlalu berdekatan menjadi salah satu penyebab rendahnya partisipasi pemilih.

"Kita masih menunggu data lengkap dari KPU untuk melihat angka partisipasi di beberapa daerah," tutupnya.