Brilio.net - Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 kembali menuai perdebatan. Meski diklaim sebagai langkah untuk menjaga stabilitas ekonomi dan menyesuaikan dengan standar internasional, jelas kebijakan ini menjadi alarm bagi rakyat yang masih berjuang menghadapi dampak pandemi dan inflasi.
Kepada Brilio.net, Fathia Rizqi (30) mengungkapkan kekecewaannya. Sebagai pekerja yang bergerak di bidang digital creative, penerapan PPN terhadap sektor kreatif digital dapat memberikan dampak yang cukup merugikan. Apalagi, diketahui Fathia bekerja secara mandiri. Artinya, penghasilan bulanannya juga tak pasti.
Menurut Fathia, dana yang seharusnya digunakan untuk pengembangan usahaseperti pembelian alat baru atau teknologi yang lebih canggihjustru harus digunakan untuk memenuhi kewajiban pajak.
"Ya, kalau PPN naik kayak gini mending memaksimalkan alat yang ada dulu. Mau upgrade ala jadi mikir-mikir lagi. Pemasukannya mending dipriositaskan untuk bayar pajak," ungkap Fathia kepada Brilio.net.
Fathia terpaksa bertahan dengan peralatan yang terbatas dan kurang efisien, karena dana yang tersedia lebih banyak tersedot untuk biaya administrasi pajak dan biaya operasional lainnya, bukan untuk investasi yang mendukung pengembangan kualitas dan kreativitas mereka.
"Apalagi saya jualan juga di platform e-commerce, kalau dikenakan pajak segitu, saya mau jual berapa. Takut juga pembeli pada lari," tambah Fathia pada Brilio.net.
PPN naik: Pemerintah untung, masyarakat buntung?
Di tengah ekonomi yang makin sempit, pendapatan masyarakat tak kunjung meningkat. Dikutip Brilio.net dari laporan Journal of Social Science Research, Direktur Unit Kebijakan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), Carlos Kuriyama, menegaskan bahwa biaya hidup saat ini lebih tinggi dibanding masa sebelum pandemi Covid-19.
Dalam situasi seperti ini, masyarakat dihadapkan pada dua pilihan, meningkatkan pendapatan atau mengurangi pengeluaran.
Sebagai salah satu pajak tidak langsung, PPN diterapkan pada hampir semua barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat, termasuk kebutuhan pokok sehari-hari. Artinya, kenaikan PPN akan langsung berdampak pada harga barang di pasar dan berimbas pada daya beli masyarakat.
Kenaikan PPN ini bukanlah kebijakan yang tiba-tiba muncul. Rencana ini telah tercantum dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pemerintah menyebut kebijakan ini sebagai bagian dari upaya memperkuat perekonomian negara. Salah satu tujuan utamanya adalah menurunkan beban pembayaran utang negara dan meningkatkan penerimaan pajak yang lebih stabil.
Dikutip Brilio.net dari Antara, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan bahwa tarif PPN Indonesia saat ini, yaitu 11 persen. Angka ini diklaim tergolong rendah dibandingkan rata-rata global sebesar 15 persen. Namun, apakah kenaikan ini relevan jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat Indonesia yang jauh berbeda dari negara-negara maju?
foto: Pixabay.com
Data menunjukkan bahwa porsi utang negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih dalam batas aman. Namun, rakyat mempertanyakan, apakah solusi utang harus dibebankan langsung kepada mereka melalui kenaikan pajak konsumsi?
Kenaikan tarif PPN otomatis akan meningkatkan harga barang dan jasa. Bagi kelas atas, tambahan biaya ini bisa jadi hanya sekadar angka kecil. Namun, bagi masyarakat menengah ke bawah, dampaknya bisa menjadi pukulan telak.
Saat ini, rata-rata penghasilan masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa mayoritas penduduk berada dalam kategori menengah bawah dengan penghasilan yang pas-pasan. Ketika harga kebutuhan pokok naik akibat PPN, daya beli masyarakat akan semakin menurun, terutama bagi mereka yang mengandalkan pendapatan tetap.
Ekonom senior, Drajad Wibowo, menyoroti bahwa kenaikan harga barang akibat PPN akan membuat konsumen berpikir dua kali sebelum membeli. Hasilnya, roda ekonomi yang seharusnya diputar oleh konsumsi justru melambat. Para pengusaha kecil pun ikut terpukul, menghadapi biaya pajak yang lebih tinggi dan penurunan permintaan.
Posisi Indonesia jika dibandingan dengan negara tetangga
Pemerintah sering membandingkan tarif PPN Indonesia dengan negara maju atau negara tetangga seperti Filipina yang juga menetapkan tarif PPN sebesar 12 persen. Namun, perbandingan ini terkesan tidak adil jika tidak mempertimbangkan perbedaan pendapatan per kapita, tingkat kesejahteraan, dan sistem perlindungan sosial.
Ahmad Heri Firdaus dari Indef juga menyoroti bahwa kenaikan PPN akan menjadikan tarif pajak konsumsi Indonesia sebagai salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara, menyamai Filipina, namun jauh di atas Vietnam (10 persen) atau Malaysia (6 persen).
Sebagai contoh, negara-negara maju yang memiliki tarif PPN tinggi umumnya memberikan subsidi atau bantuan langsung tunai untuk kelompok rentan. Selain itu, sistem perpajakan mereka juga progresif, di mana kelompok kaya membayar pajak yang lebih besar. Di Indonesia, pajak konsumsi seperti PPN berlaku sama untuk semua orang, tanpa memandang tingkat pendapatan. Tentu saja, kebijakan ini memperburuk ketimpangan ekonomi.
Pertanyaan lanjutannya, apakah rakyat Indonesia sudah siap menerima beban baru ini?
Recommended By Editor
- Menkeu bilang PPN 11% terbilang rendah, 7 negara maju ini justru terapkan PPN di bawah Indonesia
- Banyak aduan iseng ke Layanan 'Lapor Mas Wapres', Istana bakal lakukan ini
- Menghadapi kenaikan PPN 12% tanpa stres, ini 8 tips ampuh untuk pekerja agar tetap sejahtera
- Hari keempat Lapor Mas Wapres ada 296 laporan diterima, masalah apa aja yang dilaporkan warga?
- Iuran BPJS bakal naik pada 2025, ini penyebab, dampak, dan ketentuannya
- Renovasi sekolah bakal dipercepat, libatkan kolaborasi Kementerian PU dan Kemendikdasmen