Brilio.net - Di tengah diskusi mengenai masa depan pendidikan di Indonesia, wacana untuk kembali menerapkan Ujian Nasional (UN) mulai mencuat. Salah satu pengamat kebijakan pendidikan yang mendukung gagasan ini adalah Prof. Cecep Darmawan, seorang Guru Besar dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Namun, Prof. Cecep menyarankan agar UN tidak lagi dijadikan sebagai syarat kelulusan siswa. Menurutnya, UN sebaiknya berfungsi sebagai alat evaluasi kualitas pendidikan nasional, bukan sebagai tolok ukur keberhasilan individu siswa.
Sebagai pengamat pendidikan, Prof. Cecep punya alasan mengapa ia tak mau UN dijadikan sebagai syarat kelulusan. Ia menyatakan bahwa UN dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mengukur mutu pendidikan di berbagai wilayah di Indonesia.
UN sebaiknya tidak dikaitkan dengan kelulusan siswa. UN dapat berperan sebagai evaluasi ketercapaian kinerja pendidikan di tingkat nasional, ungkapnya dikutip brilio.net dari Antaranews, Rabu (6/10).
foto: X/@2026futuredr
Menurutnya, jika UN hanya dijadikan alat evaluasi, sekolah, daerah, atau pemerintah dapat memperoleh gambaran lebih jelas tentang kualitas pendidikan yang ada. Dengan hasil UN, pemerintah dapat menilai aspek mana saja yang perlu ditingkatkan, baik dari segi kurikulum, fasilitas pendidikan, kualitas tenaga pendidik, hingga metode pembelajaran. Dengan demikian, fokus UN bisa bergeser dari sekadar "ujian kelulusan" menjadi "penilaian nasional" yang mencerminkan kualitas pendidikan di Indonesia secara keseluruhan.
Selain itu, Prof. Cecep juga menyoroti pentingnya melibatkan seluruh mata pelajaran dalam UN, bukan hanya mata pelajaran tertentu. Menurutnya, jika hanya beberapa mata pelajaran yang diuji, ada risiko terjadinya persepsi yang salah di kalangan siswa maupun masyarakat.
Mata pelajaran yang tidak masuk dalam UN mungkin dianggap kurang penting, padahal semua mata pelajaran memiliki perannya masing-masing dalam membentuk kompetensi siswa. Dengan menerapkan UN pada semua mata pelajaran, kualitas pendidikan dapat diukur secara lebih menyeluruh dan menghindari kesenjangan dalam pembelajaran.
Lebih jauh lagi, Prof. Cecep menyarankan agar UN diadakan dua kali dalam setahun, yaitu pada semester ganjil dan genap. Ia berpendapat bahwa dengan sistem evaluasi dua kali dalam setahun, pemerintah dapat memetakan daerah atau sekolah yang masih membutuhkan peningkatan kualitas agar lebih mendekati standar nasional. Dengan pemetaan ini, berbagai faktor yang mempengaruhi ketercapaian pendidikan, seperti sarana prasarana, kurikulum, atau metode pengajaran, dapat diidentifikasi secara lebih jelas.
Salah satu saran yang diajukan Prof. Cecep adalah penerapan UN secara daring atau online. Di era digital ini, menurutnya, sudah saatnya sistem pendidikan di Indonesia beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
Pendidikan saat ini harus terbiasa dengan digitalisasi, sebagai bagian dari disrupsi pendidikan pasca-COVID-19, tambahnya.
Pelaksanaan UN secara online akan memberikan beberapa keuntungan, seperti memudahkan distribusi soal, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi risiko kebocoran soal.
Selain itu, digitalisasi dalam pelaksanaan ujian dapat menyiapkan siswa menghadapi dunia kerja yang kini semakin mengutamakan literasi digital. Namun, Prof. Cecep juga menegaskan bahwa untuk menerapkan sistem ini, pemerintah perlu memastikan kesiapan infrastruktur di seluruh wilayah. Sarana dan prasarana penunjang UN online, seperti jaringan internet yang stabil dan akses perangkat komputer, harus menjadi perhatian utama agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan lancar.
foto: X/@PeduliYatimBrsm
Sebelum menerapkan UN kembali, Prof. Cecep menyarankan pemerintah melakukan kajian komprehensif untuk menimbang kekurangan dan kelebihan UN yang pernah diterapkan. Pelajaran dari penerapan UN sebelumnya dapat membantu pemerintah memperbaiki aspek yang belum optimal. Fokus kajian ini, menurut Prof. Cecep, seharusnya mencakup kesiapan pemerintah dalam menyediakan fasilitas, dukungan bagi siswa di daerah terpencil, serta perbaikan mekanisme evaluasi yang akan dilakukan setelah UN dilaksanakan.
Prof. Cecep menegaskan bahwa UN yang baru ini sebaiknya tidak mempengaruhi nilai rapor, hasil ujian, atau kelulusan siswa. Sebaliknya, UN hanya berfungsi sebagai alat ukur mutu pendidikan nasional.
Jadi, tujuan UN adalah untuk mengevaluasi hasil ketercapaian pembelajaran secara nasional. Hasil ini nantinya dapat dijadikan dasar perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia, ujarnya.
Di tengah dorongan untuk mengembalikan UN, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) sedang menyerap aspirasi dari berbagai pihak.
Menteri Abdul Mu'ti menyebutkan bahwa pihaknya akan melakukan kajian menyeluruh mengenai kebijakan terkait Kurikulum Merdeka Belajar, Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan jalur zonasi, serta kebijakan mengenai peniadaan UN. Pemerintah tampaknya terbuka terhadap masukan dari masyarakat, termasuk pandangan para pengamat seperti Prof. Cecep.
Dukungan juga datang dari Komisi X DPR RI. Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menyatakan pihaknya bersedia mengkaji lebih lanjut rencana penerapan kembali UN. Menurutnya, kajian yang mendalam diperlukan agar kebijakan ini tidak menjadi momok yang menakutkan bagi siswa, baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA. Hetifah berpendapat bahwa penerapan UN harus mempertimbangkan kesejahteraan mental siswa, serta tidak membebani mereka secara emosional.
Recommended By Editor
- Kuasai matematika selevel SMA, anak-anak ‘kampung’ ini juara lomba coding Internasional di Korea
- Mengenal sosok Peter Carey, sejarawan yang karyanya diduga diplagiat dosen UGM
- Permintaan Peter Carey pada tim dosen UGM usai heboh kasus dugaan plagiat buku sejarah miliknya
- Heboh tim dosen UGM diduga plagiat buku milik sejarawan top Peter Carey, begini respons sang penulis
- Buku cetakannya disebut berisi dugaan plagiat, begini tanggapan dari penerbit