Brilio.net - Budaya mengonsumsi vape di Tanah Air kini bisa dibilang berkembang pesat. Dari kemunculannya sekira awal 2013 sampai sekarang, sebagian anak-anak muda di kota-kota besar Indonesia mulai ketagihan mengonsumsi rokok elektrik kekinian itu.
Tak jarang, anak-anak muda yang kini menjadi vaper dulunya juga perokok kretek. Bisa dibilang saat ini sebagian dari mereka mulai meninggalkan yang analog dan berinovasi ke digital. Dari yang kuno kini berpindah haluan ke yang modern.
Menariknya fenomena ini juga terjadi pada anak-anak band Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Mereka-mereka yang mengaku awalnya adalah perokok berat kini sudah mantap berpindah mengonsumsi vape karena beragam alasan.
Seperti Tony Saputro contohnya. Drummer senior Jogja yang kini menjadi drummer Endank Soekamti itu mengamini jika saat ini memang banyak pergeseran budaya di sana. Dari yang dulunya merokok, kini beralih vaping. Tony pun mengaku menjadi vaper karena alasan kesehatan dan keluarga.
"Aku berpindah mengonsumsi vape karena alasan kesehatan anakku, terutama juga soal baunya. Ada riset kan, sebenernya nikotin itu nggak berbahaya, tapi yang berbahaya itu tar dan zat beracun lainnya yang ada di dalam rokok. Ketika itu (seusai anak lahir), aku males aja kalau pas pulang mau pegang anak kadang harus bersih-bersih dulu, mandi segala macem. Selain itu merokok di rumah juga baunya nyengat banget bisa masuk ke dalam kamar. Kalau vaping kan paling nggak cuci tangan juga udah beres dan baunya lebih bersahabat," kata Tony ketika ditemui brilio.net di kediamannya, Selasa (28/3).
Alasan lain Tony menjadi vaper adalah soal rasa dalam vape yang tak bisa ditemukan dalam rokok kretek pada umumnya. Meski pun dia tak memungkiri jika menjadi vaper juga bukan jaminan irit finansial ketimbang perokok.
"Sebenarnya aku bukan seorang perokok yang berat sejak dulu. Sebungkus aja bisa untuk 3-4 hari. Sebenernya alasan yang pertama (mengonsumsi vape) itu karena flavor, taste. Karena semacam seger karena ada rasa buah segala macam. Terus jelas karena asapnya banyak. Tapi nggak bikin aku lebih irit juga sih kalau buat aku, karena ternyata ya pas awal-awal tekor juga," ujarnya sambil terkekeh.
Alasan serupa juga disampaikan oleh Satria Hendrawan yang biasa dikenal dengan Yoyo, drummer Shaggydog. Yoyo mengaku berpindah menjadi vaper karena alasan keluarga dan tentunya masalah kesehatan, meski dulunya Yoyo juga seorang perokok berat.
"Niatku memang sebenernya berhenti merokok, karena ada alasan dari istriku sendiri. Di rumah kan ada anak dan aku nggak pernah bisa mengontrol kebiasaanku merokok. Karena kalau udah tengah malam kan nggak mungkin aku merokok di luar, dan aku biasanya dulu tetap merokok di ruang tamu dan itu jadi sangat bau," ujar Yoyo ketika ditemui brilio.net di sebuah vape store Jogja, Selasa (28/3).
Menurut Yoyo, keputusannya memilih vape juga karena kandungan yang ada di dalamnya. Dia menganggap vape lebih masuk akal dikonsumsi ketimbang rokok jika berbicara soal kesehatan.
"Ternyata setelah baca-baca dan aku sempet dapet riset dari Oxford, vape itu memang less. Dia nggak murni bersih juga sebenernya, tapi less daripada tembakau. Okelah ini berarti jadi pilihanku," ujarnya.
Yoyo juga sepakat jika kini sudah banyak anak band yang berpindah haluan ke vape, khususnya di Jogja. Yoyo mencontohkan yang paling dekat justru ada di lingkungan bandnya sendiri. Di Shaggydog mayoritas kini mengonsumsi vape. Dari personel hingga beberapa manajemennya sudah keranjingan vape, meski ada juga sebagian yang masih merokok tapi lebih banyak intensitas vaping.
"Awalnya aku juga lihat dari bandku sendiri. Pertama teknisiku vaping, terus road managerku. Ternyata setelah aku mencoba, hampir semuanya akhirnya ikutan vaping juga," kata Yoyo sambil tertawa.
--
Mereka yang istikamah merokok kretek
Namun, dari beberapa anak band Jogja yang kini mulai vaping, masih ada beberapa musisi perokok yang tak tertarik pindah ke vape karena alasan cuma sekadar tren semata. Dua di antaranya adalah Farid Stevy (FSTVLST) dan Agus 'Patub' Riyono (Letto).
Farid menjamin fenomena vape yang kini ada di mana-mana itu adalah cuma tren. Dia tak tertarik mengikutinya karena selama ini memang dia orang yang sudah beradaptasi dengan hal-hal yang baru.
"Saya termasuk personal yang selalu telat dalam mengadopsi hal-hal yang baru. Yang selalu jadi ukuran saya adalah memastikan bahwa ini bukan tren. Kalau misalnya ada hal baru yang itu berumur panjang yang ini lolos dari tren dan ternyata berumur panjang, mungkin aku baru akan kepikiran untuk mencoba. Vape menurutku masih seperti itu," kata Farid saat ditemui brilio.net di Legend Coffee Jogja, Sabtu (25/3).
Menurut pengamatannya selama ini, semakin ke sini memang anak-anak muda zaman sekarang lebih banyak sisi penasarannya. Contoh dekatnya di Jogja, dulu pernah ada booming sepeda fixed gear dan tren pomade untuk rambut klimis. Farid mengaku juga tak pernah tertarik mengikuti arusnya.
"Aku dengan mudah melewati fase tren sepeda fixed gear, melewati tren pomade, dan beberapa yang aku lihat pernah sangat hype di Jogja. Bukan soal melulu prinsip, bukan aku nggak suka fixed gear atau pomade, tapi buktikan dulu ke aku kalau itu bukan tren dan aku memilih skip tidak mengikuti," paparnya.
BACA JUGA: Fenomena Vape dan Rokok Kretek, ketika gaya hidup 'melawan' budaya
Sedangkan menurut Patub, dirinya tak setuju jika fenomena vape sekarang dianggap sebagai budaya. Menurut gitaris Letto ini, budaya yang betul itu justru merokok kretek yang masih jelas ada sampai sekarang.
"Aku masih setia kretek karena dulu udah pernah coba (vape) dan aku nggak sreg sama sekali sama rasanya. Menurutku vape juga belum jadi budaya. Karena untuk mencapai sesuatu yang disebut budaya itu harus dilakukan banyak orang, harus bertahan lama, dan masif. Kalau hanya baru dilakukan satu dua orang misalnya pun mencapai satu komunitas itu namanya masih tren dan bisa pro-kontra, dan tentu bisa hilang lagi besok," kata pria yang bernama asli Agus Riyono ini ketika ditemui brilio.net di sebuah warung kopi daerah Prawirotaman, Jogja, Senin (27/3).
Alasan Patub memandang merokok kretek itu adalah budaya karena menurutnya itu sudah fakta yang sejak dulu ada di Indonesia. Patub memberi contoh yang paling dekat adalah lingkungan keluarganya.
"Misalnya mbahku di Wonosobo. Anak-anak SD dari kecil di sana sudah merokok, bahkan mbah buyutku aja juga tetap merokok dan itu nggak masalah. Karena itu memang budaya yang sudah nggak bisa diapa-apakan lagi. Lha wong budaya kok. Ya kita lihat saja nanti, vape akan bertahan sampai kapan di sini (Jogja hingga Indonesia). Tergantung konstelasi yang mendukungnya sebenernya, kepentingan bisnis yang mendukung ke depannya juga bagaimana," tutup gitaris Letto ini.
Sementara itu, pandangan dari segi kesehatan juga disampaikan oleh musisi Marzuki Mohammad, atau yang sampai kini dikenal dengan nama panggung Kill The DJ. Menurut dia masalah kesehatan yang ada di vape dan rokok kretek sangat susah untuk digeneralisasi.
Marzuki mencontohkan di Indonesia ini sudah sangat banyak orang yang terbukti 'berbakat' merokok dan hingga usia senja tak pernah ada problem pada kesehatan. Ada orang yang gampang terdampak karena apa yang dia konsumsi, dan tidak harus rokok. Bahkan ada orang yang tubuhnya secara bawaan lahir memang tidak bisa mengonsumsi nasi. Jadi menurutnya jika mau membahas dampak buruk dan paradoksnya vape atau rokok, itu komparasinya bisa sangat banyak.
"Misal, apakah pencemaran udara karena emisi kendaraan bermotor itu tidak berbahaya? Kok iklan mobil dan motor masih boleh, sementara iklan rokok diperketat? Yang dibutuhkan adalah regulasi yang tepat. Jadi menurut saya masalah kesehatan itu tidak bisa digeneralisasi," kata pentolan Jogja Hip Hop Foundation ini.
Marzuki juga mengaku pernah menjajal vape namun dia langsung tak suka. Dia mengatakan bahwa sampai sekarang dia tetaplah perokok kretek filter, meski kadang dia bisa mengontrolnya jika memang sedang tak ingin merokok.
"Vape bukan rokok, seperti uap basah saja, dan cita rasa kreteknya hilang. Memang (vape) diperbolehkan di ruang-ruang yang no smoking, tapi saya sudah terbiasa bepergian jauh dan bisa menahan untuk nggak ngrokok," tutup Marzuki.