Brilio.net - Menjadi seorang guru di Indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah. Selain bertanggung jawab mencerdaskan anak bangsa, mereka kerap menghadapi tantangan di luar kelas, mulai dari intimidasi, kekerasan verbal, hingga ancaman hukum akibat dinamika yang terjadi dalam proses belajar mengajar. Tidak jarang, tindakan disiplin yang dilakukan guru justru berujung pelaporan ke polisi. Dalam situasi seperti ini, banyak guru yang merasa bekerja dengan bayang-bayang ketakutan.
Namun, ada secercah harapan dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Menteri Abdul Mu’ti baru-baru ini menyatakan bahwa pihaknya tengah memperjuangkan mekanisme restorative justice dalam penanganan kasus kekerasan di dunia pendidikan, baik yang melibatkan guru maupun siswa.
Restorative justice adalah pendekatan penyelesaian konflik yang berfokus pada mediasi dan pemulihan hubungan antar pihak yang terlibat, alih-alih memberikan hukuman berat. Konsep ini dianggap lebih manusiawi dan berkeadilan, terutama dalam konteks pendidikan, di mana guru seharusnya mendapat perlindungan atas niat baiknya dalam mendidik.
foto: Instagram/@abe_mukti
“Terkait dengan perlindungan guru, Kemendikdasmen akan menandatangani nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama dengan kepolisian negara republik Indonesia. Dalam nota ini, disepakati agar masalah-masalah kekerasan dalam pendidikan diselesaikan secara damai dan kekeluargaan, atau restorative justice, sehingga guru tidak menjadi terpidana,” ujar Abdul Mu’ti dalam sambutan Hari Guru, seperti dikutip brilio.net, Senin (25/11).
Pernyataan ini menjadi angin segar bagi banyak guru yang merasa posisi mereka selama ini terancam. Dengan adanya kebijakan ini, guru diharapkan bisa bekerja tanpa rasa takut, khususnya ketika menjalankan tugas mendisiplinkan siswa.
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus guru dilaporkan ke pihak berwajib kian marak. Salah satu kasus yang sempat viral adalah guru Supriyani yang dilaporkan menganiaya siswanya, lalu berujung dipenjara.
foto: Instagram/@abe_mukti
Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan tidak ada lagi guru yang bekerja dengan rasa was-was. Mereka seharusnya bisa mendidik dengan tegas tanpa takut dilaporkan ke pihak berwajib. Di sisi lain, restorative justice juga memberikan ruang bagi siswa dan orang tua untuk menyampaikan keluhan tanpa harus berujung konflik hukum.
“Guru juga tidak seharusnya melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun,” tambah Abdul Mu’ti. Pernyataan ini menegaskan bahwa perlindungan hukum bukanlah dalih bagi guru untuk bertindak sewenang-wenang. Sebaliknya, perlindungan ini adalah bentuk penghargaan atas dedikasi mereka dalam mencerdaskan bangsa.
Restorative justice adalah langkah awal yang baik. Kini, tinggal bagaimana kebijakan ini diimplementasikan dengan tepat dan konsisten. Jangan sampai hanya menjadi wacana yang hilang di tengah jalan, karena guru Indonesia butuh kepastian untuk bekerja dengan tenang dan percaya diri.
Recommended By Editor
- Dari usulan hapus zonasi hingga percepatan renovasi, ini gebrakan Wapres Gibran dalam dunia pendidikan
- Tak mau cawe-cawe soal penangguhan doktor Bahlil Lahadalia, begini tanggapan Mendiktisaintek
- Tak bedakan gaji dosen negeri dan swasta, begini rencana anggaran Rp57 triliun Mendiktisaintek
- Bukan cuma bisa mendidik, Mendikdasmen minta guru perhatikan murid tekan kasus bunuh diri remaja
- Bukan cuma alasan kemandirian, ini alasan Menag wajibkan pesantren dan madrasah ada kegiatan Pramuka