Brilio.net - Pendidikan tinggi di Indonesia tengah menjadi sorotan publik pasca sejumlah momen pemberian gelar doktor pada selebriti hingga pejabat publik. Tak cuma gelar doktor, sebelumnya juga sempat jadi perbincangan tatkala seorang artis gagap ditanya perihal judul skripsinya. Padahal, artis tersebut baru saja menerima gelar sarjana dan mengikuti seremonial yang sakral bagi mahasiswa yang betulan belajar. Tak lama setelahnya, pemberian gelar doktor honoris causa bagi seorang selebriti papan atas di Indonesia juga menuai tanda tanya publik.

Tak sedikit yang menguliti soal keabsahan pemberian gelar tersebut dan legalitas dari universitas yang menganugerahinya. Tanda tanya publik tentu tak bisa disalahkan, lantaran sejatinya, pendidikan tinggi adalah kulminasi dari rangkaian proses pembelajaran panjang yang membutuhkan waktu tak sedikit. Gelar akademik adalah sebuah instrumen sakral yang bisa membawa seorang pembelajar menuju karier dan dedikasi cemerlang.

Namun kini, gelar akademik tersebut seolah menjadi tempelan saja, alih-alih simbol bahwa seseorang pernah belajar atau meneliti. Tokoh publik Okky Madasari melalui kanal YouTube-nya juga menyentil keras pemberian gelar akademik yang seolah hanya tempelan saja. Padahal, seharusnya untuk mencapai jenjang tersebut, apalagi level doktoral, seseorang tentu harus melakukan riset yang dapat dipertanggung jawabkan, baik dari sisi integritas maupun kualitas.

Kalau zaman dulu, gelar akademik yang tinggi biasanya disematkan pada mereka yang memang berkarier di dunia akademik. Kini, hampir semua orang, bahkan yang tidak berkecimpung di dunia akademik maupun edukasi berlomba-lomba mengambil gelar tinggi. Seolah-olah gelar tersebut adalah syarat wajib untuk menunjukkan kualitas orang tersebut.

"Hanya di Indonesia orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan dunia akademik tidak ingin berkarier di dunia akademik merasa bahwa gelar doktor itu harus dimiliki,” ungkap Okky Madasari seperti dikutip brilio.net pada Jumat (18/10).

Ia menambahkan, seseorang mungkin merasa berkualitas jika mendapat gelar akademik yang tinggi tersebut. "Jadi sudah menjadi hal wajar di Indonesia seorang pejabat, bupati gelarnya harus ada S3-nya sebagaimana orang Islam ada haji dan hajjahnya. Jadi gelar S3 menjadi sebuah tempelan status sosial dan sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari akar feodalisme di Indonesia. Seseorang merasa memiliki kualitas, merasa layak mendapat penghormatan jika mendapat gelar,” tutur ia.

banyak gelar pendidikan abal-abal © freepik.com

foto: freepik.com

“Jadi sudah menjadi hal wajar di Indonesia seorang pejabat, bupati gelarnya harus ada S3-nya sebagaimana orang Islam ada haji dan hajjahnya. Jadi gelar S3 menjadi sebuah tempelan status sosial dan sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari akar feodalisme di Indonesia. Seseorang merasa memiliki kualitas, merasa layak mendapat penghormatan jika mendapat gelar,” tegas Okky.

Ungkapan Okky ini tentu senada dengan pernyataan fenomenal dari seorang figur publik dan pembelajar filsafat, Rocky Gerung yang sudah sering dikutip di berbagai postingan. Ungkapan Rocky itu berbunyi “Ijazah adalah tanda orang pernah sekolah, bukan tanda orang pernah berpikir”. Pernyataan ini saat ini mungkin bakal diyakini dan diamini oleh banyak orang. Mengingat, banyaknya dugaan ‘jual-beli’ gelar di masa sekarang.

Sebuah riset milik peneliti asal Republik Ceko, Vit Machacek dan Martin Srholec menambah catatan merah dalam dunia pendidikan di Indonesia. Berdasarkan riset bertajuk Predatory Publishing in Scopus: Evidence on Cross-Country Differences, Indonesia menduduki ranking dua dari sedikitnya 20 negara dengan ketidakjujuran akademik. Artinya, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat ketidakjujuran akademik yang cukup tinggi yakni 16,73%, setingkah di bawah Kazakhstan dan setingkat di atas Iraq.

banyak gelar pendidikan abal-abal © youtube.com

foto: freepik.com

Tak hanya soal gelar, ketidakjujuran akademik ini juga terlihat dari banyaknya kasus kuliah abal-abal di Indonesia. Banyak praktik wisuda palsu yang tercatat dalam sejarah pendidikan tinggi di Indonesia. Beberapa di antaranya bahkan viral dan menjadi perhatian banyak orang. Praktik seperti ini masih marak terjadi, padahal jika melihat dari kacamata undang-undang, persoalan ijazah palsu atau gelar akademik palsu ini bisa masuk ranah pidana.

Dalam Pasal 272 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 KUHP mengatur larangan penggunaan ijazah dan gelar akademik palsu. Hal ini juga diperkuat dengan ayat 2 yang berbunyi bahwa pemalsuan sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, atau vokasi merupakan tindakan yang dapat dikenai pidana. Pelanggaran ini diancam dengan hukuman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda maksimal kategori VI, yang dalam hukum denda Indonesia jumlahnya mencapai Rp1 miliar.

Jika terus dibiarkan, ketidakjujuran akademik tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada reputasi institusi pendidikan dan kualitas pendidikan di Indonesia secara keseluruhan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan, serta menciptakan budaya yang tidak menghargai integritas dan kejujuran.

Perlu adanya kalibrasi dari dalam institusi pendidikan untuk memastikan tidak ada praktik ‘jual-beli’ gelar. Perlu sikap kritis dan independen dari civitas akademika masing-masing universitas biar pendidikan tak jadi komoditas. Bila dalam dunia pendidikan saja terjadi ketidakjujuran, bagaimana nasib intelektual bangsa di masa depan?

Ketidakjujuran akademik adalah masalah serius yang harus dihadapi Indonesia. Penting bagi semua pihak untuk bersama-sama mencari solusi agar dunia pendidikan dapat kembali ke jalur yang benar. Membangun budaya kejujuran dalam akademik tidak hanya akan memperbaiki kualitas pendidikan, tetapi juga menciptakan sumber daya manusia yang lebih kompeten dan berkualitas untuk masa depan bangsa. Sudah saatnya untuk memerangi ketidakjujuran akademik demi masa depan yang lebih baik. Jika gelar pendidikan bisa dibeli, bagaimana jadinya nasib bangsa ini?