Brilio.net - Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam puncak peringatan Hari Guru Nasional 2024 di Jakarta Timur lalu hingga saat ini masih menjadi perhatian besar. Presiden menyebutkan pemerintah telah menyiapkan anggaran sebesar Rp81,6 triliun untuk kesejahteraan guru pada 2025, mencakup guru ASN, PPPK, dan non-ASN. Meski mendapat sambutan positif, detail kebijakan ini justru memunculkan pertanyaan di tengah masyarakat.

Bahkan, wacana pemerintah ini mendapatkan banyak respons dari masyarakat, terutama dari kalangan guru. Pasalnya, wacana kenaikan tunjangan dan skema aturan yang belum final ini membuat rencana ini jadi simpang siur. Tak sedikit yang salah mengartikan wacana tersebut. Pertanyaan juga muncul apakah praktisnya tunjangan naik Rp 500 ribu, atau Rp 2 juta? Pasalnya, selama ini, guru sertifikasi pun sudah menerima tunjangan Rp 1,5 juta. Nah, nominal Rp 2 juta ini apakah total yang akan didapatkan, atau tambahan yang bakal diberikan?

Menyadari hal ini, pihak Istana melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, menjelaskan bahwa guru non-ASN bersertifikat sebelum 2024 akan menerima tambahan tunjangan sebesar Rp500 ribu, sehingga totalnya menjadi Rp2 juta per bulan pada 2025. Sementara itu, guru ASN bersertifikat akan mendapatkan tunjangan tambahan setara satu kali gaji pokok.

Menariknya, guru non-ASN yang baru bersertifikasi pada 2024 akan langsung mendapatkan tunjangan Rp2 juta tanpa melalui skema bertahap. Total anggaran tambahan sebesar Rp16,7 triliun ini ditargetkan untuk menjangkau 600 ribu guru tambahan, sehingga total penerima manfaat mencapai 1,9 juta orang dari total 2,9 juta guru di seluruh Indonesia.

Simpang siur wacana kenaikan gaji guru © Instagram

foto: Instagram/@hasan_nasbi

Banyak guru menyambut baik kenaikan tunjangan ini, tetapi beberapa pihak mempertanyakan apakah tambahan Rp500 ribu cukup untuk menjawab tantangan hidup, terutama di daerah dengan biaya hidup tinggi. “Kalau hanya Rp500 ribu, buat guru di perkotaan mungkin tidak terlalu terasa dampaknya. Kami berharap ada kebijakan yang lebih merata,” ujar seorang guru di Jakarta yang enggan disebutkan namanya.

Selain itu, kesenjangan kesejahteraan antara guru ASN, PPPK, dan non-ASN juga menjadi sorotan. Guru non-ASN, terutama yang berada di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), kerap menghadapi hambatan seperti keterlambatan pencairan tunjangan dan akses pelatihan yang terbatas.

Informasi yang disampaikan pemerintah dinilai masih perlu diperjelas. Misalnya, bagaimana mekanisme pencairan tunjangan ini, terutama untuk guru yang baru bersertifikat? Bagaimana jaminan keberlanjutan anggaran dalam menghadapi tekanan ekonomi global? Hasan Nasbi sendiri mengimbau masyarakat untuk berhati-hati dalam menanggapi informasi yang belum terverifikasi. “Informasi yang belum tentu benar bisa menimbulkan kebingungan dan memengaruhi opini publik secara negatif,” ujarnya, seperti dikutip dari brilio.net.

Peningkatan kesejahteraan guru tentu merupakan langkah positif, tetapi implementasinya tidak akan lepas dari tantangan. Sebagai contoh, proses sertifikasi guru di tahun 2024 diharapkan tidak menimbulkan masalah administratif yang justru menghambat pencairan tunjangan.

Selain itu, pemerintah harus memperhatikan kecemburuan sosial antar kategori guru. Guru non-ASN, yang sering kali memiliki beban kerja yang sama dengan ASN, berharap mendapatkan kesetaraan kesejahteraan tanpa diskriminasi.

Kenaikan gaji guru di era Presiden Prabowo adalah kabar baik, tetapi eksekusi kebijakan ini harus lebih transparan dan inklusif. Pemerintah perlu memastikan semua guru, tanpa terkecuali, merasakan dampak positif dari kebijakan ini. Dengan total anggaran yang besar, harapannya kesejahteraan guru bisa meningkat secara signifikan dan berkelanjutan.