Brilio.net - Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya - Pasal 31 Ayat (2) UUD 1945.
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar dari segala hukum di Indonesia, termasuk di dalamnya mencakup hak dan kewajiban warga negara. Amanat untuk menyelenggarakan pendidikan yang accessible dan merata menjadi kewajiban bagi Pemerintah Indonesia. Namun, apakah implementasi dari penyelenggaraan pendidikan dasar itu sudah mampu menjangkau seluruh masyarakat sesuai dengan amanat?
Secara keseluruhan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menggelontorkan anggaran besar-besaran agar seluruh warga negara bisa mengakses pendidikan yang layak. Anggaran yang diberikan digunakan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, termasuk gaji para pendidik. Tahun 2024 ini saja, Dana Pendidikan dianggarkan mencapai Rp 665 triliun. Aturan terkait anggaran pendidikan ini juga termaktub dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4 dimana anggaran yang harus dialokasikan untuk pendidikan minimal 20 persen dari APBN.
Sayangnya, anggaran segitu banyak ternyata masih dibagi-bagi alokasinya ke pos-pos tertentu, seperti kementerian di luar Kemendikbudristek. Bahkan, anggaran pendidikan ini juga sebagian lari ke Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
Kemendikbudristek mengelola anggaran sebesar Rp98,99 triliun atau sekitar 14,88 persen dari Anggaran Pendidikan. Untuk TKD, khususnya DAK Fisik untuk perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan DAK Non Fisik seperti untuk bantuan operasional satuan pendidikan, tunjangan guru, Kemendikbudristek ikut terlibat dalam penetapan kebijakannya, terang Suharti, Sekretaris Jenderal, Kemendikbudristek, seperti dikutip brilio.net dari rilis Kemdikbud, Senin (30/9).
foto: kemendikbud.go.id
Menguak soal implementasi dana pendidikan ini, brilio.net menjajaki beberapa sekolah. Pada praktiknya, sudah banyak sekolah negeri yang menggratiskan SPP bagi siswa dan siswinya. Hal ini sebagai upaya meningkatkan minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah milik pemerintah tersebut. Dari beberapa data pemerintah daerah, sejumlah provinsi seperti Jawa Timur hingga Kepulauan Riau juga menerapkan kebijakan SPP gratis bagi siswanya. Kebijakan ini tentu menjadi angin segar bagi akses pendidikan agar mampu dijangkau oleh seluruh masyarakat.
Dari beberapa orang tua siswa yang ditemui, tak sedikit yang mengungkapkan kegembiraannya karena tak perlu lagi membayar SPP tiap bulannya.
SPP sih alhamdulillah gratis, jadi nggak perlu mikir bayar tiap bulannya, ungkap Trisna, seorang wali murid dari siswa SD dan SMA melalui wawancara daring.
Namun, menurut ibu dua anak tersebut, SPP bukan satu-satunya biaya yang harus dibayarkan oleh orang tua dalam menyekolahkan anaknya. Ada biaya-biaya lain yang tentunya tidak ter-cover oleh beasiswa ataupun dana pendidikan. Sehingga, dalam hal ini orang tua harus merogoh kocek yang tak sedikit. Biaya lain-lain itu mencakup dana komite, ekstrakurikuler, biaya seragam, karyawisata dan lain sebagainya.
Di sekolah anak, SMA X (nama sekolah disamarkan), SPP-nya gratis tapi ada iuran dana komite juga per tahun. Kalau ditotal dengan semua biaya seperti biaya ekstrakurikuler, operasional belajar mengajar, sampai study tour dan lain-lain, mungkin setahunnya kurang lebih Rp 3,5 juta, ungkapnya.
foto: kemendikbud.go.id
Nominal ini kalau dilihat memang tak begitu besar, namun bisa jadi memberatkan untuk golongan masyarakat dengan ekonomi yang tidak memadai. Sekolah juga memiliki dana BOS, namun dana ini kadang sangat terbatas untuk keperluan operasional saja. Untuk itu, dalam implementasi anggaran pendidikan, harus ada kesinambungan antar stakeholder. Penyelenggaraan proses belajar di sekolah juga harus memperoleh dukungan penuh dari pemerintah.
Senada dengan Trisna, Dwi yang juga seorang wali murid kadang menyoroti uang seragam yang lumayan mahal. Menurutnya, kadang uang seragam ini dipatok cukup tinggi.
Kadang menurut saya, seragam itu lebih mahal kalau beli di sekolah dibanding misal beli sendiri di luar. Mungkin kalau ini tergantung jasa konveksinya kali ya, ungkapnya.
Selain itu, brilio.net juga bertemu dengan Putra, wali murid dari seorang siswa SD. Di sekolah sang anak, SPP juga sudah gratis untuk seluruh siswa. Namun, selain SPP tersebut, ada biaya komite Rp 1,5 juta yang harus ia bayarkan per tahun.
Kalau di SMP anak sih bayar dana komite Rp 1,5 juta. Tapi karena masih SD yang minim ekstrakurikuler dan kegiatan lain, kadang bertanya-tanya juga sih biayanya untuk proses belajar mengajar yang mana, tutur pria tersebut.
foto: brilio.net/istimewa
Persoalan biaya pendidikan ini memang semestinya jadi perhatian bersama dan juga harus diawasi oleh semua pihak. Mulai dari sekolah, orang tua, dinas pendidikan maupun kementerian. Dengan total anggaran yang besar, semestinya alokasi yang dikelola Kemenristekdikti lebih diproritaskan. Apalagi, dalam RAPB 2025, anggaran pendidikan akan naik Rp 57,6 triliun dari TA 2024, yang artinya anggarannya mencapai Rp 722,6 T.
Bu Menteri Keuangan menyampaikan bahwa Pemerintah memberikan ruang bagi pemerintah ke depan untuk melakukan reformulasi kebijakan dan pembiayaan, sehingga anggaran sebesar Rp722,6 Trilyun tersebut masih banyak yang belum dialokasikan ke K/L, ungkap Suharti seperti dikutip dari laman Kemendikbud.
Dalam pagu anggaran Kemendikbudristek mendapat alokasi sebesar Rp83,2 triliun atau sekitar 11,5 persen dari total Anggaran Pendidikan pada RAPBN TA 2025, atau 2,3 persen dari Belanja Negara. Nilai absolutnya turun sekitar Rp15,7 triliun dari pagu alokasi tahun 2024. Kami harus optimis alokasi tersebut akan ditingkatkan karena masih banyak kegiatan-kegiatan prioritas yang belum terbiayai sepenuhnya, bahkan yang sifatnya belanja wajib, pungkasnya.
Recommended By Editor
- Ulasan buku The Richest Man in Babylon oleh George S. Clason, jelajahi kebijaksanaan finansial kuno
- Kreatif tapi rapuh, kenali julukan 'Generasi Stroberi' yang identik dengan Gen Z
- Konflik ibu dan anak siapa yang harus mengalah? Benarkah jadi orang tua posisinya serba salah?
- Ulasan buku Same as Ever oleh Morgan Housel, gali kebijaksanaan dalam ketidakpastian
- 8 Cara mendidik anak di era media sosial, beri kebebasan tanpa melupakan batasan