Brilio.net - Pendidikan tinggi selalu dianggap sebagai kunci untuk membuka pintu kesuksesan di dunia kerja. Namun, realitanya tingkat pendidikan seolah dikesampingkan dalam menentukan nominal pendapatan. Hal ini lantas memunculkan pertanyaan, apakah mengambil level pendidikan yang lebih tinggi dapat menjamin kesejahteraan di masa depan? Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mempublikasikan hasil survei terbaru yang menunjukkan relevansi tingkat pendidikan dengan rerata jumlah pendapatan.
Hasilnya cukup mengejutkan, lantaran rerata gaji yang diterima tiap level lulusan, dari SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi tak lebih banyak dari UMR sejumlah wilayah di Indonesia. Dari data tersebut, disebutkan rerata gaji lulusan SD yakni Rp 1,9 juta, SMP Rp 2,1 juta, SMA/SMK Rp 2,8 juta dan rerata gaji lulusan universitas yang berada di kisaran Rp 4,6 juta.
Hal ini memicu diskusi lebih dalam tentang apa yang sebenarnya menentukan besarnya penghasilan, jika pendidikan tinggi tidak lagi memberikan keunggulan kompetitif yang signifikan. Ada sejumlah faktor yang dapat menjelaskan mengapa gaji lulusan universitas tetap stagnan di bawah Rp5 juta. Salah satunya adalah fakta di mana industri saat ini semakin fokus pada keterampilan praktis daripada sekadar pencapaian akademis.
Permasalahannya adalah sistem dan kurikulum pendidikan di Indonesia kebanyakan berfokus hanya pada hardskill, sehingga lulusan perguruan tinggi tak dibekali dengan keterampilan praktis dan karakter yang memadai. Problema kecakapan sumber daya manusia (SDM) ini dipaparkan oleh Wikan Sakarinto, Ph.D dalam seminar Green Economy-Green Job: Tantangan Dan Solusi Untuk Indonesia yang diikuti brilio.net pada Jumat (4/10) lalu. Dalam paparannya, Wikan menegaskan pentingnya kompetensi lulusan perguruan tinggi saat ini. Tak hanya dalam bidang akademik, tetapi mencakup kemampuan praktik.
“Kompetensinya tidak hanya perguruan tinggi dan SMK kita berfokus pada hard skills. Pendidikan Indonesia mostly lebih hanya pada hardskill, itupun tidak kontekstual. Jadi hafalan-hafalan tanpa konteks,” ungkapnya dalam seminar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada yang diikuti brilio.net pada Jumat (4/10).
Jika menilik pada praktik belajar-mengajar saat ini, kebanyakan memang masih berorientasi pada guru dan mata pelajaran. Sementara, proses pengajaran yang seperti ini cenderung tidak mendorong siswa untuk berinovasi.
“Anak-anak kita dari TK sampai perguruan tinggi itu mostly hanya didorong untuk menghafal. Tapi tidak didorong untuk berinovasi. Sehingga, indeks inovasi kita ya rendah sekali,” lanjut Direktur Akademi Inovasi Indonesia tersebut.
Foto: brilio.net/istimewa
Sistem pendidikan yang tidak menitik beratkan pada pengembangan softskill ini lalu jadi permasalahan mendasar dalam industri kerja. Pasalnya, perusahaan, terutama di sektor teknologi dan kreatif, cenderung mencari individu yang memiliki portofolio nyata dan keterampilan spesifik, daripada sekadar mengandalkan transkrip nilai atau gelar akademis.
Akibat ketidakcocokan antara kemampuan para lulusan dengan kebutuhan industri tersebut, ketimpangan tingkat pendidikan dan jumlah pendapatan muncul. Gaji yang diterima oleh setiap pekerja dengan berbagai level pendidikan kemudian tidak jauh berbeda. Dengan kenyataan demikian, tentunya mengamini fenomena di mana gelar pendidikan tak menjamin kesejahteraan.
“Perusahaan relanya menggaji kita segini, lalu bagaimana kita bisa mencapai welfare (kesejahteran)? Mana mungkin bisa sejahtera dengan (gaji) seperti ini,” tutur Wikan.
Realita ini tentu dipandang miris oleh masyarakat. Namun, jika dilihat dari segi perusahaan, pendidikan yang tidak mengedepankan softskill ini berpotensi memperlambat produktivitas kerja yang darurat bagi perusahaan.
“Tapi, in another side, dunia kerja juga selalu komplain bahwa lulusan perguruan tinggi kita, SMK kita, SMA kita ya nggak cocok. Link and match-nya itu cuma link aja, tapi nggak match, lulusannya tidak sesuai,” ungkapnya.
Foto: brilio.net/istimewa
Meski begitu, bukan berarti pendidikan formal tidak penting. Pendidikan formal tetap menjadi fondasi yang memberikan akses kepada berbagai peluang karier, meskipun tidak selalu menjamin gaji yang besar di awal.
Namun, dalam proses pembelajarannya, penguatan soft skill perlu dielaborasi sejak dini. Keterampilan praktis, pengalaman kerja, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan industri menjadi kunci untuk meningkatkan daya saing dan, pada akhirnya, pendapatan. Kombinasi antara pendidikan dan keterampilan praktis merupakan hal yang esensial di era modern. Dunia kerja tidak lagi sekadar menghargai teori, tetapi juga menuntut aplikasi nyata di lapangan.
Recommended By Editor
- Curhat mentor perusahaan heran lihat anak SMK administrasi perkantoran tak bisa berhitung, bikin miris
- 10 Panduan penting untuk kehidupan dari ulasan buku The 48 Laws of Power oleh Robert Greene
- Ulasan buku Matinya Kepakaran oleh Tom Nichols, turunnya penghargaan atas keahlian
- 50 Contoh kalimat deklaratif dalam teks prosedur, lengkap dengan ulasannya
- Kenapa membaca buku cetak lebih berkesan dibanding e-book? Ternyata begini alasannya
- Ulasan buku Elon Musk oleh Walter Isaacson, kata pengarangnya Elon Musk sosok yang 'gila'