Brilio.net - Kasus perundungan atau bullying yang terjadi di lingkungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) akhirnya diakui secara terbuka oleh pihak Fakultas Kedokteran (FK) Undip dan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Kariadi Semarang. Dekan FK Undip, Yan Wisnu Prajoko, mengakui bahwa memang ada praktik perundungan di lingkungan pendidikan dokter spesialis tersebut.

Pengakuan ini disampaikan menyusul kasus kematian salah satu mahasiswi PPDS Anestesi, dokter Aulia Risma Lestari, yang menghebohkan publik sejak Agustus lalu. Yan Wisnu menyatakan bahwa perundungan terjadi dalam berbagai tingkatan dan bentuk di dalam sistem pendidikan dokter spesialis mereka.

“Kami menyadari sepenuhnya, kami menyampaikan, dan kami mengakui bahwa di dalam sistem pendidikan dokter spesialis, di internal kami terjadi praktik-praktik atau kasus perundungan dalam berbagai bentuk, derajat, dalam berbagai hal,” ujar Yan Wisnu dalam jumpa pers.

permohonan maaf Dekan FK Undip © 2024 brilio.net

foto: undip.ac.id

Menanggapi pengakuan ini, Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, memberikan apresiasi kepada pihak FK Undip dan manajemen RSUP Kariadi. Menurutnya, tindakan ini menunjukkan bahwa sudah ada niat dari pihak terkait untuk memperbaiki sistem.

Edy menilai bahwa dengan tidak menyangkal dan meminta maaf, FK Undip telah mengambil langkah positif yang seharusnya menjadi contoh bagi institusi pendidikan lainnya. Ia berharap, dengan adanya permintaan maaf ini, fokus utama selanjutnya adalah memperbaiki sistem agar perundungan serupa tidak terjadi lagi.

Edy juga menekankan pentingnya pendekatan pendidikan yang lebih manusiawi, terutama dalam pendidikan spesialis. Dia menginginkan agar proses pembelajaran mengutamakan prinsip andragogi, yaitu pendidikan untuk orang dewasa, yang menekankan kemitraan dan partisipasi aktif antara peserta didik dan pengajar.

"Pembelajaran harus berlangsung menyenangkan, peserta didik harus merasa aman dan nyaman dalam praktiknya," tambah Edy. Menurutnya, suasana belajar yang positif dapat memaksimalkan transfer ilmu dari konsulen atau senior kepada peserta didik.

Pengakuan dan permintaan maaf yang disampaikan oleh Dekan FK Undip ini juga dianggap sebagai langkah yang dapat memperkuat sistem pengawasan dan pembelajaran di lingkungan pendidikan dokter spesialis. Edy menyoroti pentingnya penerapan peraturan yang ada di berbagai institusi pendidikan dokter spesialis. Menurutnya, jika aturan-aturan tersebut diterapkan dengan baik, risiko terjadinya perundungan bisa diminimalisir.

Selain itu, rencana dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk menerbitkan peraturan menteri (Permendikbudristek) tentang pencegahan perundungan juga mendapat dukungan dari Edy. Ia menegaskan bahwa pendidikan kedokteran tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui rumah sakit, tetapi juga berada di bawah naungan Kemendikbudristek melalui fakultas kedokteran.

Langkah-langkah konkret untuk pencegahan perundungan ini, menurut Edy, perlu dilakukan secara sinergis antara kedua kementerian tersebut. Ia berharap dengan adanya dua kementerian yang terlibat langsung dalam pembenahan sistem pendidikan dokter spesialis, praktik perundungan dapat dicegah secara lebih efektif. Ini bukan hanya soal kebijakan internal, tetapi juga tentang bagaimana setiap institusi pendidikan kedokteran di Indonesia menjalankan peraturan dengan baik.

Edy juga mendesak pemerintah untuk segera membentuk konsil dan kolegium independen. Menurutnya, lembaga tersebut memiliki peran penting dalam menyusun standar pendidikan dan kompetensi tenaga medis.

"Kolegium terdiri dari para guru besar dan spesialis yang bertanggung jawab untuk menyusun standar pendidikan profesi dan kompetensi," jelasnya.