Brilio.net - Banyak tokoh nasional yang selama hidupnya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan berusaha terus memberi kontribusi untuk kemajuan bangsa. Tokoh-tokoh itu tak terbilang jumlahnya, karena berada di hampir semua daerah. Setiap daerah mempunyai pahlawan-pahlawan yang mempunyai kontribusi besar untuk kemerdekaan Indonesia.

Nah, 4 tokoh ini juga tak diragukan lagi kontribusinya bagi bangsa ini. Mereka menentang penjajah Belanda, diasingkan, dan ada yang meninggal di daerah pengasingan.

Sayang, nama-nama tokoh ini sudah banyak dilupakan. Bahkan ada yang mempertanyakan ketokohan mereka. Salah satunya adalah Tan Malaka. Tokoh ini dianggap tokoh kiri namun kontribusinya terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia cukup besar dan Presiden Sukarno menganugerahkan gelar pahlawan nasionalkepadanya.

Berikut brilio.net rangkum dari berbagai sumber 4 Pahlawan Nasional yang sudah mulai dilupakan orang. Padahal kita tetap harus menghormati jasa-jasa dan pengorbanan mereka. Siapa saja mereka ya?


1. Kiai Haji Ahmad Rifai

v  2017 brilio.net


K.H. Ahmad Rifa'i adalah ulama kelahiran Kendal, Jawa Tengah pada 13 November 1785 (versi lain 1786). Ia berdakwah keliling daerah untuk menyebarkan agama Islam sekaligus membakar semangat anti Belanda.

Akibat dari isi dakwahnya, Ahmad Rifa'i diasingkan ke Ambon lalu dipindahkan ke Manado oleh pemerintahan kolonial. Ahmad Rifa'i meninggal dunia tahun 1870 pada usia 84 tahun saat diasingkan di Kampung Jawa Tondano, Manado dan kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kyai Mojo.

Atas perjuangannya itulah, Ahmad Rifa'i mendapat gelar Pahlawan Nasional melalui Kepres Nomor: 089/TK/2004.

2. Tan Malaka

v  2017 brilio.net

Tan Malaka adalah sosok yang misterius. Tokoh kelahiran Suliki, Sumatra Barat pada tanggal 02 Juni 1897 ini bernama asli Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka. Anak dari pasangan Rasad Caniago dan Sinah Sinabur ini merupakan tamatan Kweekschool Bukit Tinggi pada umur 16 tahun di tahun 1913, dan dilanjutkan ke Rijks Kweekschool di Haarlem, Belanda.

Ia mendirikan sekolah di Semarang dan kemudian di Bandung. Pernah diasingkan ke negeri Belanda karena aktivitas politiknya. Tan lalu pergi ke Moskwa dan bergerak sebagai agen komunis internasional (Komintern) untuk wilayah Asia Timur. Namun, ia berselisih paham karena tidak setuju dengan sikap Komintern yang menentang pan-Islamisme.

Perselisihan dengan Komintren membuatnya memutuskan mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927. Namun, tahun 1948, Tan Malaka dikenal sebagai penentang diplomasi dengan Belanda yang dilakukan dalam posisi merugikan Indonesia. Berkat perjuangannya untuk Indonesia, ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui ketetapan Presiden RI nO 53 tanggal 23 Maret 1963.

3. Surjopranoto

v  2017 brilio.net


Suryopranoto lahir di Yogyakarta pada tahun 1871. Ia pernah mengenyam pendidikan Sekolah Pertanian di Bogor. Sesudah itu, ia diangkat menjadi Kepala Dinas Pertanian Wonosobo. Pada tahun 1914 ia minta berhenti sebagai protes atas pemecatan seorang pegawai yang menjadi anggota Sarekat Islam. Sejak saat itu, ia menolak bekerja untuk Belanda dan lebih memperhatikan nasib kaum tani dan buruh di perkebunan tebu di Yogyakarta.

Untuk membantu mereka, pada tahun 1914 didirikannya organisasi Adhi Dharma yang bergerak di bidang koperasi, usaha pertukangan, dan sebagainya. Ia lalu masuk ke Sarikat Islam.

Pada masa pendudukan Jepang, Suryopranoto menolak bekerjasama dengan Pemerintah Jepang. Sesudah Indonesia merdeka ia menyumbangkan tenaga di bidang pendidikan. Ia meninggal dunia pada tanggal 15 Oktober 1959 di Cimahi, Jawa Barat dan dimakamkan di Kota Gede, Yogyakarta. Ia mendapat gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 310 Tahun 1959, tanggal 30 Nopember 1959.

4. Dr. Ernest Franois Eugne Douwes Dekker

v  2017 brilio.net


Dr. Ernest Franois Eugne Douwes Dekker, begitu nama panjangnya. Namun orang lebih mengenalnya sebagai Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi. Ia keturunan Belanda yang memihak Indonesia. Lahir pada tanggal 18 oktober 1879 di Kota Pasuruan yang kala itu masih dalam wilayah pemerintahan Hindia Belanda.

Saat menjadi wartawan di koran De Locomotief, ia banyak mengangkat kasus kelaparan di wilayah Indramayu. Tulisan-tulisannya sebagai jurnalis banyak mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial.

Pada tanggal 25 Desember 1912, Douwes Dekker bersama Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo mendirikan partai politik yang berhaluan nasionalis pertama yang bernama Indische Partij.

Setelah Indonesia merdeka, Douwes Dekker sempat menjadi menteri negara di kabinet Sjahrir III. Ia juga menjadi delegasi negosiasi dengan Belanda dan pengajar di Akademi Ilmu Politik.

Presiden Sukarno kemudian mengeluarkan Kepres No. 590 tahun 1961 yang menetapkan Douwes Dekker sebagai Pahlawan Nasional.