Brilio.net - Masih terasa betul kepergian sosok Ki Seno Nugroho, dalang kondang yang mendirikan kelompok karawitan bernama Wargo Laras. Bersama dengan anggota Wargo Laras, almarhum memperkenalkan dan melestarikan kesenian wayang kulit kepada seluruh penikmatnya.
Meninggalnya dalang Ki Seno Nugroho yang begitu mendadak, tentu membuat penggemar wayang terkejut. Begitu juga dengan para sinden yang sudah lama ikut pementasannya.
Agnesia Nandasari, salah satu sinden andalan Wargo Laras juga turut bersedih atas kepergian Ki Seno Nugroho. Buat penonton setia pentas wayang Ki Seno Nugroho, tentu saja tidak asing dengan nama sinden yang satu ini.
Wanita yang akrab dipanggil Agnes ini sejak belia sudah berkiprah di dunia tarik suara. Background keluarga yang juga senang bernyanyi, membuat Agnes terbiasa ikut latihan di orkestra bersama ibu dan tantenya sejak kecil.
Petualangannya sebagai sinden maupun penyanyi cilik di pentas wayang sudah 20 tahun lamanya. Pada saat itu tak banyak anak muda yang tertarik dengan kesenian wayang. Namun, Agnes cilik yang saat itu sudah terbiasa menyanyi, justru sudah tampil bersama dalang Mbah Wondo dari Bantul.
Agnesia Nandasari juga dikenal dengan julukannya 'Sinden Gedruk'. Sinden yang selalu mencuri perhatian lewat aksi panggung yang heboh, serta jogetannya yang bisa menghidupkan suasana panggung.
Sambil mengenang masa kecil dan kehidupannya sebagai sinden, Agnes menceritakan kisahnya kepada brilio.net dalam wawancara khusus, Selasa (8/12).
foto: Instagram/@nes_agness
Awal cerita Mbak Agnes bisa ikut dengan Ki Seno jadi sinden itu seperti apa?
Kalau ikut Pak Seno kan saya dari 2002, kelas 2 SD umur 7 tahun saya. Dulu kan saya nyanyi-nyanyi dulu di orkes, tapi juga (sebelumnya) ikut dalang Mbah Wondo di Bantul dari kelas 1 SD. Saya nyanyi dari umur 6 tahun, ya sampai sekarang ini. Tapi kalau ikut Pak Seno-nya udah 18 tahun.
Awal pertama sama Pak Seno itu nyanyinya 'Mendem Wedokan'. Dulu kan jarang banget anak kecil nyanyi, terus lagu-lagunya itu juga lagu orang dewasa gitu lho. Makanya Pak Seno itu sempet kaget, nyanyi pertama itu cuma nyumbang lagu (di hajatan), belum ikut Pak Seno. 'Meh nyanyi opo nduk?' gitu, 'Mendem Wedokan,' terus Pak Seno, 'Hah? Mendem Wedokan? Mosok cah cilik nyanyi Mendem Wedokan,'. Ya cuma ketawa aja, kan belum tahu banget dulu.
Ya sudah duet sama Pak Seno itu. Ya itu pertama kali ikut (nyanyi bareng) Pak Seno. Terus saya dicari sampai ketemu nomor telepon ibu saya, 'Melu aku ya,' ya sudah semenjak itu ikut Pak Seno terus.
Menjadi sinden itu keinginan sendiri atau ada dorongan dari orang tua Mbak Agnes?
Ya ada dorongan. Dulu kan ibu saya ikut orkes, ibu saya dulu penyanyi dangdut. Terus suka latihan sama grupnya. 'Bu aku ikut.' gitu, 'Yo emoh nek ikut, kudu melu nyanyi,' begitu katanya.
Selain itu aku juga seneng sama baju-bajunya tanteku. Kan tanteku penyanyi juga. Kakungku dalang, terus Uti ku sinden. Aku seneng baju Tanteku kok apik-apik. Terus tanteku bilang 'Yo makane nanyi, sesok didandake sing koyok ngono,' ya itu awal mulanya.
Katanya tuh dari kecil aku seneng nyanyi-nyanyi lagu orang dewasa. Pas masih kecil itu nyanyinya 'Ojo Sembrono' dari Pak Manthous itu. Jadi mungkin memang udah ada bakat, jadi ya seneng-seneng aja. Maksudnya bisa tampil dengan pede gitu di depan penonton.
Sudah pernah pentas ke mana saja selama jadi sinden Ki Seno? Ada tidak pengalaman yang tak terlupakan?
Jogja, luar kota, udah pernah. Kalau saya paling jauh (ikut pentas) di Kalimantan.
Pengalaman yang gak terlupakan, ketinggalan waktu pementasan. Waktu itu kan wayangan di Wonosari, aku masih SD kelas 6. Lha kan dulu habis goro-goro (pertengahan pementasan) aku turun.
Di rumah orang itu kan numpang tidur. Nunggu sampai selesai, pulangnya sama rombongan. Ibuku sama penyanyi satunya tidur dan pesan supaya dibanguin kalau udah selesai. Tapi, aku malah ketiduran juga. Jam 7 pagi baru bangun.
Ya sudah, akhirnya pulang bareng truk gamelan itu. Tapi sampai mana itu disuruh jemput sama Pak Seno.
foto: Instagram/@nes_agness
Bagaimana kriteria untuk bisa jadi pesinden di Wargo Laras?
Mesti punya karakter tersendiri. Punya sesuatu yang jadi ciri khas. Pak Seno mesti selalu menggali karakter masing-masing pesinden. Kalau di Pak Seno kan sindennya saling melengkapi.
Seperti apa cara Ki Seno melatih para anggota di Wargo Laras?
Pertama kali ikut itu digojlok gitu lho mbak. Pak Seno selalu seperti itu, Pak Seno inginnya itu lebih gitu lho. Maksudnya nggak cuma nyinden tok, duduk, terus diam saja, pokoknya cara lama itu nggak. Pak Seno maunya punya karakter sendiri, apa yang kamu punya ini dikeluarkan.
foto: Instagram/@nes_agness
Kalau Mbak Agnes sendiri lebih dikenal sebagai sosok pesinden seperti apa sih?
Kalau kebanyakan netizen itu nyebut saya 'Sinden Gedruk'. Mungkin saya paling bisa joget di Pak Seno, terus kalau nggak, 'Sinden Kembang Rawe'. Nah itu saya mesti.
Padahal, saya juga biasa aja, kan saya biasanya jadi leader kalau maju bareng itu. Kalau joget gimana biar bareng, kayak gitu kan biasanya saya yang jadi leader.
Seperti apa sosok Ki Seno di mata Mbak? Adakah nasihat dari Ki Seno yang hingga kini selalu Mbak ingat?
Kalau buat saya Pak Seno udah kayak bapak saya sendiri. Tau saya dari kecil, sampai saya mau punya anak dua. Pak Seno kan tahu banget.
Beliau orang yang baiklah, dia menganggap semua orang sama meskipun dia pemimpin di Wargo Laras. Pokoknya terbaik Pak Seno. Beliau suka gojek, bikin ulah usil juga.
Kalau nasihat, Pak Seno selalu bilang "kamu ini umur 30 tahun ki, kalau masih nyanyi di atas panggung mesti 'dibandemi' penonton." kayak gitu. Makanya, Pak Seno selalu mendorong saya untuk jadi sinden. "Coba kamu kayak Bu Pras (jadi sinden), itu kan sampai tua to" kayak gitu.
Soalnya kalau menjadi sinden semakin tua umurnya semakin tambah mapan mbak. Koleksi gendhing-gendhingnya, suaranya, semakin bagus malahan gitu lho. Jadi Pak Seno selalu nasihati saya, "Nggak apa-apa kamu sekarang masih nyanyi, tapi kalau udah 30 kamu udah nggak laku lagi. Pasti cuman di rumah." Ya itu yang membuat saya terus mau belajar jadi sinden.
Tantangan menjadi seorang pesinden seperti apa sih Mbak Agnes?
Kalau sinden kan beda ya sama penyanyi biasa. Dia kan harus banyak hafalin gendhing juga.
Kalau sinden dulu kan cuma duduk, nah kalau sekarang kan harus berdiri. Maksudnya, kalau cuma duduk aja cuma hafalin gendhing-gendhing, walaupun itu juga susah. Sekarang kebanyakan (sinden) berdiri, jadi pas waktu posisi nembang itu berdiri. Nah itu harus siap penampilan, harus bisa berinteraksi, jadi banyak banget sih tuntutan.
Gimana nih cara Mbak Agnes membagi waktu antara pekerjaan dan urusan rumah tangga?
Saya ninggal (kerja) Abiyu itu (umur) tiga bulan. Kalau masih kecil kan masih kebanyakan tidur mbak.
Malah susahnya itu sekarang ini, kalau sekarang udah tau kalau ditinggal. Kadang suka nangis, jadi suka kasihan. Kalau habis wayangan ini pulang jam 4, nanti tidur bentar. Tapi nanti kalau Abiyu bangun, saya ya bangun gitu aja. Saya nggak pernah bawa Abiyu ke tempat kerja.
Makanya pas udah punya anak ini kalau Pak Seno ke luar kota saya jarang ikut. Mungkin ikut kalau cuma ke Semarang, ke Magelang. Jadi yang deket aja, nggak harus yang berapa jam gitu lho.
Kalau saya tinggal gitu, kadang suka kangen kali ya. Jadi kalau udah kerja terus-terusan, harus ada waktu libur buat main bareng gitu. Kalau udah dua hari yaudah libur, nanti pentas lagi.
foto: Instagram/@nes_agness
Bagaimana dengan kesibukan pementasan wayang selama pandemi ini?
Saya kan nyanyi juga di acara pernikahan, nggak cuma nyinden. Kayak gitu jadwalnya terganggu. Ada jadwal tapi habis itu tiba-tiba dibatalin gara-gara nggak ada izin.
Di Pak Seno ini lumayan, soalnya kemarin masih ada wayang Climen itu. Pertunjukkan wayang tapi daring gitu.
Recommended By Editor
- Cerita menyentuh dibalik kesuksesan Soimah, sempat tak punya cita-cita
- 9 Sinden Indonesia ini tak cuma bersuara merdu, tapi jelita memesona
- Ikuti perkembangan zaman, Keraton Yogyakarta kemas wayang digital
- Rizki Rahma, dalang cantik Jogja yang punya banyak prestasi
- Di museum ini kamu bisa pelajari wayang se-Nusantara & wayang 7 negara
- Cerita dalang cilik, tak pakai upah mendalang untuk kesenangan pribadi