Brilio.net - Ada banyak sekali pasar di Yogyakarta yang terbagi sesuai wilayah, produk yang dijual, hingga waktu saat buka. Menurut data dari bappeda.jogjaprov.go.id, ada empat jenis pasar yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah daerah. Di antaranya pasar tradisional, pasar kabupaten, pasar desa, dan toko modern. Dari jenis tersebut, pasar rakyat atau pasar tradisional menjadi ruang jual beli paling banyak di Yogyakarta dengan jumlah mencapai 344 pasar.
Jika berbicara soal pasar, tentu yang terbayang adalah landscape atau pemandangan penjual yang menjajakan dagangan atau hasil buminya secara lesehan. Berbeda dengan toko modern, pasar lebih identik dengan barang-barang lokal dan tradisional. Selain barang, tentu ada juga kegiatan jual beli jasa yang semakin meramaikan.
Namun tak hanya aktivitas jual beli, pasar sebenarnya juga bisa menjadi tempat untuk piknik dan belajar, lho. Pasar Wiguna menjadi salah satu pasar yang digelar dengan konsep pop dan menghibur (entertain). Pasar yang diadakan 2 kali dalam sebulan ini justru lebih banyak didatangi oleh anak muda dan keluarga yang hendak piknik.
Sekilas, Pasar Wiguna banyak dikenal sebagai tempat untuk berlibur bagi sejumlah orang. Bukan tanpa sebab, pasar ini terletak di sebelah mall yang berada di wilayah kota Yogyakarta. Lebih tepatnya, ada di taman halaman Pendopo Agung Royal Ambarukmo. Digelar di taman yang penuh rumput hijau dan pepohonan rimbun memberikan kesan asri pada pasar ini.
Memang sejak adanya Pasar Wiguna, taman Pendopo Ambarukmo ini terasa lebih hidup dalam tiga tahun terakhir. Bukan tanpa sebab, agenda Pasar Wiguna sendiri digelar selama 2 minggu sekali. Karena digelar secara rutin, taman Ambarukmo jadi tampak selalu ramai dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
foto: brilio.net/annatiqo
Nah, pada Minggu (17/12) lalu, tim brilio.net menyempatkan berkunjung ke pasar yang buka pada pukul 8.00 WIB pagi. Saat memasuki halaman depan, ambience (suasana) pasar ini justru terasa nyaman karena tempatnya luas. Bahkan sekilas seperti gelaran acara piknik dengan diramaikan dengan lagu-lagu pop.
Setiap sudut Pasar Wiguna diisi dengan sekumpulan anak muda dan keluarga yang sedang berbincang atau sekadar menikmati makanan. Ada banyak sekali tenant atau stand menjajakan dagangannya di pasar yang hanya buka pada hari Minggu ini. Sebagian besar merupakan makanan atau minuman yang disajikan untuk sarapan pagi.
Sejumlah pengunjung pasar juga tampak asyik berswa foto. Tim brilio.net lantas menyapa salah satu di antaranya. Desi dan Selin tampak begitu asyik berfoto dan berbincang hangat tepat di area tengah taman Pasar Wiguna. Ketika disapa, kedua perempuan berdomisili Yogyakarta ini mengaku merasakan suasana yang berbeda saat mendatangi Pasar Wiguna. Karena digelar di taman, maka Pasar Wiguna lebih memberikan kesan damai dan nyaman.
"Senang, ya. Lebih ke damai, gitu, karena kan di Yogya kalau aku pribadi jarang nemuin yang kayak gini, taman kayak gini, ya. Kalau bazar kan sering, tapi kan suasananya tuh nggak kayak gini. Ini lebih ngerasa asri karena kayak di taman gitu," ujar Desi.
foto: brilio.net/annatiqo
Bagi mereka, Pasar Wiguna juga sudah menjadi tempat untuk berlibur di tengah kota. Selain itu, kedua perempuan ini mengaku sudah memiliki tujuan tersendiri saat menghadiri gelaran Wiguna. Sembari piknik, Desi juga menyerahkan sampah anorganik miliknya yang hendak didaur ulang ke salah satu stand di Pasar Wiguna. Di sisi lain, dia turut tertarik dan melihat-lihat produk pakaian yang dibuat secara ecoprint dengan pewarna alami dari tumbuhan. Nah, berbeda halnya dengan Selin yang justru tertarik dengan produk pemanfaatan bunga kering.
"Kalau aku lebih ke liat-liat (stand) pemanfaatan bunga. Dijadikan kayak batas buku, gantungan kunci, kayak gitu. Herbarium. Ya, Herbarium di pojokan," terangnya.
Menggabungkan dua latar belakang yang berbeda.
Sebagian besar tenant atau penjual di Pasar Wiguna memang tampak memiliki kesamaan, yakni produk-produk lokal dan ramah lingkungan. Setelah ditelisik lebih lanjut, Pasar Wiguna memang memiliki konsep eco-culture market yang mengusung tiga nilai, wellness (kesehatan), local culture (budaya lokal), dan less waste (minim sampah). Nilai inilah yang kemudian masih dijadikan patokan kuat oleh Risa Vibia dan Gilang Ramadan selaku otak di balik gelaran Pasar Wiguna.
"Ide awal itu sebenarnya itu aku sudah punya misi bikin pasar, dari kecil kayaknya, deh. Pengen bikin pasar. Kalau dulu kebayangnyaya pasar tradisional. Nggak kebayang kalau akan jadi event yang menurut aku besar, ya, ini. Terus kemudian aku pernah riset juga dengan pasar dan hubungannya dengan sustainability (keberlanjutan) di Yogya," kata Risa saat ditemui di sebuah kafe pada Rabu (13/12).
foto: brilio.net/annatiqo
Sejak berdirinya Pasar Wiguna pada April 2021 silam, Risa dan Gilang lantas menggunakan tiga nilai tadi sebagai konsep, desain, dan eksekusi Pasar Wiguna. Lebih tepatnya, Risa sebagai konseptor yang juga membawa nilai dari segi ekologi dan budaya. Sedangkan Gilang atau pria yang akrab dipanggil Gram bertugas mengaktivasi desain market (pasar) dari segi kreatif.
Kedua orang tersebut memang memiliki latar belakang kuat dari masing-masing bidang yang ditekuninya. Risa mengaku bahwa ketertarikannya di bidang lingkungan memiliki hubungan dengan sang ibu yang berprofesi sebagai guru biologi. Saat masih kecil, perempuan berkacamata ini dikenalkan dengan berbagai jenis tanaman. Hal tersebut kemudian membuatnya mempelajari lebih dalam tentang tanaman, khususnya tanaman lokal.
Selain ilmu dari sang ibu, Risa kemudian sempat belajar tentang ekofeminisme di bangku kuliah. Setelah lulus, dia sempat bekerja di perusahaan bidang sustainability and environment (keberlanjutan dan lingkungan). Dari situ, Risa lebih banyak mengeksplor diri lebih dalam mengenai isu lingkungan dan hal yang disuka. Termasuk hubungan isu lingkungan dengan persoalan sandang, pangan, dan papan.
"Jadi ternyata pekerjaan-pekerjaan yang aku ambil juga relate nya ke sustainability (keberlanjutan), gitu. Tapi ya tetap connecting the dots (menghubungkan titik-titik), namanya hidup, ya. Pasti kan kita ketemu yang segala macam rupa tiba-tiba. Oh ternyata kok ke sini, ke sini, ke sini terus, gitu. Maksudnya memang rootnya (akarnya) dari situ. Terus dari situ juga muncul valuenya wellness, local, less waste terbentuk. Yang itu kaitannya memang akhirnya, kesehatan manusia tuh nggak bisa terlepas dari keselarasan alam yang ada di sekitarnya, gitu. Jadi itu pemahaman yang juga ibu kasih ke aku," ujar Risa lebih lanjut.
foto: brilio.net/annatiqo
Berbeda halnya dengan Gram yang memiliki latar belakang desain kreatif. Dosen di salah satu universitas swasta di Purwokerto ini gemar membuat program dengan mengumpulkan para pelaku artisan. Artisan menjadi istilah yang mulai populer untuk menyebut pengrajin atau pekerja yang menghasilkan dan membuat barang-barang secara mandiri dengan tangan secara langsung (produk lokal skala kecil). Sejak awal 2019, dia mulai aktif mengumpulkan para artisan untuk berdiskusi atau sekadar melakukan tour demi memperkenalkan produk dari budaya lokal, khususnya di Yogyakarta.
Dari kegiatan itu juga, Gram bertemu dengan Risa yang juga mengumpulkan nama atau produk khas artisan tersebut. Mereka lantas berkolaborasi membuat sebuah wadah atau ruang demi memperkenalkan para artisan ini secara lebih luas ke masyarakat. Di tahap itu juga, mereka bertemu dengan Managing Director Ambarukmo, Haris Susanto yang kemudian menawarkan ruang atau tempat di Ambarukmo.
"Mas Haris dari Ambarukmo kebetulan memang sudah sering beberapa kali beliau ikut juga acara untuk program-program yang tadi 19 program (artisan) itu tadi. Nah, terus akhirnya kita sempat diskusi tentang 'gimana kalau coba mengaktivasi ruang ini, taman ini?' Terus di situ, awalnya kita coba develop (membangun) kurang lebih sebulan lah," terang Gram ketika ditemui secara terpisah dengan Risa di Pasar Wiguna, Minggu (17/12).
foto: brilio.net/annatiqo
Di beberapa bulan pertama, Pasar Wiguna memang hanya menampung para artisan sebagai kerabat karya (istilah untuk pedagang atau pihak yang menjual produk). Namun kini, Pasar Wiguna juga menampung UMKM lokal yang bisa membawa tiga nilai atau konsep tadi, yakni wellness, local culture, dan less waste. Kegiatan ini lantas mulai banyak dikenal ketika Risa dan Gram mulai menggandeng kerabat karya dari luar daerah, seperti Jawa Tengah, Bandung, dan Malang.
Mengubah kebiasaan masyarakat untuk meminimalisir sampah.
Less waste atau minim sampah menjadi salah satu value (nilai) yang dibawa oleh Risa dan Gram dalam menggelar Pasar Wiguna. Sebisa mungkin, sampah yang dihasilkan bisa diminimalisir jadi kecil, khususnya sampah plastik. Lantas, nilai ini kemudian diaktualisasikan ke seluruh komponen Pasar Wiguna, khususnya kerabat karya atau tenant yang meramaikan.
Tak tanggung-tanggung, Risa dan Gram menyeleksi dengan ketat para kerabat karya yang hendak bergabung bersama Pasar Wiguna. Dalam hal ini, Gram menjelaskan bahwa kurasi tersebut penting dilakukan demi menyeleksi para produk yang bisa berjalan sesuai dengan nilai Pasar Wiguna. Bahkan ada aturan-aturan tertentu yang harus ditaati demi melancarkan gelaran pasar yang minim sampah itu. Lantas lewat aturan tersebut, Gram juga berharap bahwa pesan atau nilai dari Pasar Wiguna bisa tersampaikan dengan baik.
“Mengkurasi dengan benar artisan yang ikut atau partisipator itu biasanya otomatis pesannya atau storytellingnya akan sampai ke audience (khalayak), gitu, tanpa kita harus susah-susah membangun narasi yang terlalu banyak. Justru keunikannya juga adalah masing-masing artisan ini punya cerita yang saya pikir kuat. Mereka paham dengan alasan kenapa akhirnya mereka memilih jalur less waste atau wellness gitu, ya,” kata Gram.
foto: brilio.net/annatiqo
Di sisi lain, pesan atau nilai yang keduanya bawa di Pasar Wiguna juga bukan semerta-merta hendak mengubah kebiasaan masyarakat saat ini. Hanya saja, mereka hendak mengajak masyarakat untuk kembali ke akar atau lebih tepatnya kebiasaan nenek moyang yang notabene cenderung berpijak pada bumi. Misalnya dengan menggunakan kemasan produk terbuat dari dedaunan, menjual makanan lokal ala Nusantara, atau menjual baju yang dibuat dengan proses lebih ramah lingkungan.
Bukan hal yang mudah untuk menyeleksi kerabat karya atau produk yang hendak masuk ke Pasar Wiguna. Risa mengaku setiap minggunya, dia dan Gram harus menyeleksi 30 dari 80-100 kerabat karya untuk digelar di Pasar Wiguna. Jumlah ini pun tetap memerhatikan porsi artisan, UMKM, dan produk makanan dari berbagai daerah.
“Jadi kalau komposisinya 50-30-20. Misalnya pas di Yogya, ya, berarti 50% Yogya, gitu. Nah, 30% nya itu regional terdekat kayak misalkan ada Klaten, Magelang, gitu. Terus ada Solo, ada Semarang. Ya itu regional terdekat. Terus ada lagi 20% itu yang di luar Jateng, seperti Jawa Barat atau Jawa Timur,” pungkas Gram lebih lanjut.
Nah, seleksi kerabat karya ini juga dibarengi dengan himbauan di media sosial Pasar Wiguna sendiri. Risa dan Gram turut membagikan nilai-nilai tadi melalui Instagram @pasariwguna, wajah Pasar Wiguna. Selain untuk memberikan pemahaman lebih kepada para kerabat karya yang hendak bergabung, hal tersebut juga berguna agar calon pengunjung turut paham dengan nilai yang dibawa Pasar Wiguna.
foto: brilio.net/annatiqo
Di awal berdiri, Risa bercerita bahwa para pengunjung yang datang lebih mengenal Pasar Wiguna sebagai healthy market (pasar sehat) yang memiliki area bersih serta minim sampah plastik. Namun seiring waktu, semakin beragam pengunjung yang datang dengan tujuan berbeda, salah satunya untuk tujuan wisata. Lantas nilai untuk lebih peduli akan sampah ini kemudian diaktualisasikan melalui kondisi atau lingkungan Pasar Wiguna yang lebih bersih dan kepedulian pengunjung terhadap kemasan dari barang yang dibeli.
Dalam hal ini, ada beberapa tenant yang memilih menggunakan wadah yang bisa dipakai ulang, seperti besek. Nah, dengan mengembalikan wadah tersebut ke pedagang atau tenant setelah digunakan tentu akan meminimalisir adanya sampah. Namun jika pedagang memilih menggunakan wadah kertas, kemasannya bisa langsung dibuang di tempat sampah. Di Pasar Wiguna sendiri, tempat sampah yang disediakan juga diberi keterangan organik dan anorganik supaya pengunjung lebih sadar dengan sampah yang mereka hasilkan.
“Kebiasaan-kebiasaan itu sih yang akhirnya kita bangun. Dan kecil sih sebenernya kan. Langkah yang kecil banget, belum sampai milah sampah tuh. Cuma kita tahu lokasi yang ada di Wiguna di taman itu tuh nggak ada sampah di pojok-pojok gitu. Jadi di situ senangnya, sih, akhirnya,” ujar Risa.
foto: brilio.net/annatiqo
Ruang yang nyaman untuk semua orang.
Pasar Wiguna pertama kali digelar pada 4 April 2021 lalu. Di tengah pembatasan sosial karena Covid-19, Pasar Wiguna hadir dengan prosedur yang cukup ketat. Para pengunjung dan pedagang yang datang juga terbatas dan jaga jarak. Namun hal ini menjadi salah satu angin segar bagi para artisan atau pedagang untuk menstabilkan kembali perekonomian sejak pandemi.
Pada dasarnya, pandemi juga membuat banyak agenda atau acara di public space (ruang terbuka) Yogyakarta jadi tiarap karena tidak beroperasi. Oleh sebab itu, Pasar Wiguna digelar sebagai salah satu upaya untuk kembali menghidupkan public space tersebut. Masyarakat yang jenuh di rumah mulai bisa refreshing atau sekadar terhibur dengan adanya Pasar Wiguna.
Hiburan ini datang karena Pasar Wiguna juga bukan hanya sekadar area bertemunya penjual dan pembeli. Namun, Pasar Wiguna turut memberikan ruang bermain untuk anak dan remaja melalui program-program yang diadakan dengan kerjasama komunitas tertentu. Ada juga talkshow dan pameran seni yang digelar untuk membuat pengunjung semakin betah berkegiatan di Pasar Wiguna.
foto: brilio.net/annatiqo
Saat ditanya lebih lanjut, Risa dan Gram rupanya terinspirasi dari pasar tradisional Yogyakarta sebelum menggelar Pasar Wiguna ini. Baik dari segi ruang, atribut, hingga jam bukanya juga menyesuaikan dengan pasar tradisional, yakni 5 jam dalam sehari. Bahkan hiburan yang ada di pasar tradisional juga kemudian dituang secara lebih kreatif ke Pasar Wiguna ini.
Jauh sebelum memulai ide membangun Pasar Wiguna, Risa bercerita bahwa dia memang memiliki hobi berkunjung ke pasar tradisional. Lalu hobi ini semakin digiatkan sejak adanya ide Pasar Wiguna tersebut. Hampir seluruh pasar tradisional yang ada di Yogyakarta sudah ia datangi.
Namun salah satu pasar yang sangat menjadi inspirasi adalah Pasar Kenteng di Nanggulan, Kulon Progo yang memiliki sisi entertain atau hiburan. Produk yang dijual juga cenderung unik dan jarang ditemui di pasar tradisional pada umumnya. Selain itu, ada pula Pasar Senen di Kota Yogyakarta yang memiliki desain visual yang menarik, seperti kelambu di setiap sisi. Dengan lebih kreatif, Risa dan Gram mengubah ide-ide tersebut untuk gelaran Pasar Wiguna yang sudah berjalan hampir 3 tahun ini.
“Kita pengennya pasarnya tuh nggak yang cuman secara ekonomi saja perputarannya, tapi juga entertaining (hiburan) gitu. Orang tuh kayak antusias untuk datang terus, dengan catatan ya ada workshop, ada talkshow, ada apapun yang mereka bisa ikut. Jadi ya, jadi kayak wahana sometimes, ya. Jadi wahana main gitu, lah, ya, minggu pagi gitu,” terang perempuan lulusan sastra linguistik ini.
Dengan program-program tersebut, para pengunjung bisa dengan leluasa berkegiatan di Pasar Wiguna. Selain berbelanja, masyarakat juga dapat belajar banyak. Tak hanya remaja, para keluarga juga dapat menikmati piknik di Pasar Wiguna. Risa dan Gram sendiri memang ingin Pasar Wiguna dimanfaatkan sebagai area berkumpul yang menyenangkan untuk masyarakat kota, khususnya Yogyakarta.
Recommended By Editor
- Kisah sukses anak pedagang pecel lele jadi juragan bakpia di Jogja
- Cerita bocah 11 tahun yang tulis 37 buku dalam bahasa Inggris, dapat royalti Rp 20 juta di usia belia
- Ditolak 4 kali masuk kampus sebab bipolar, Yovania mantan pasien RSJ dulu viral kini lulus dari UI
- Kisah hidup Dodok, dari anak jalanan, pengamen, hingga jadi komika di usia senja
- Bingung cari kerja, mahasiswa ini ubah kecintaannya pada kucing jadi untung jutaan rupiah
- Kisah Wiwid mengubah bekas pertambangan kapur menjadi wisata Zaman Batu