Brilio.net - Gunung Everest merupakan salah satu gunung paling populer di dunia. Masuk dalam jajaran Seven Summits, yakni sebutan bagi tujuh puncak gunung tertinggi di dunia, menjadikan puncak Everest menjadi impian bagi para pendaki gunung di berbagai belahan dunia.

Berada di ketinggian 29.029 kaki (8.848 meter) di atas permukaan laut, Everest menjadi gunung tertinggi di dunia. Sebagai gunung tertinggi, mendaki Everest hingga puncak tentu bukan perkara mudah. Medan yang berat dan cuaca dingin yang menusuk menjadi tantangan tersendiri bagi pendaki. Tak sedikit pula pendaki yang harus menjadi korban keganasan Gunung Everest.

Dilansir dari BBC pada Selasa (16/7), jumlah kematian yang tercatat di Gunung Everest sudah ada sekitar 280-300 jiwa. Penyebab kematian para pendaki ini pun beragam, mulai dari terjatuh di jurang, kekurangan oksigen, hingga hancur oleh longsoran salju. Hal tersebut membuat Gunung Everest juga terkenal sebagai tempat pemakaman yang tragis.

Meski dikenal sebagai salah satu gunung dengan medan tersulit di dunia, namun hal tersebut tak menghalangi niat para pendaki untuk mencapai puncak Everest. Dari ribuan pendaki yang berhasil mencapai puncak, nama Clara Sumarwati menjadi satu di antaranya.

Clara tercatat sebagai orang pertama dari Indonesia dan perempuan Asia Tenggara pertama yang berhasil mencapai puncak gunung yang berada di lempeng Benua Asia tersebut.

Clara Sumarwati  2019 brilio.net

foto: Clara Sumarwati - brilio.net/Syamsu Dhuha



-

Pendakian yang sempat gagal karena badai

Meskipun sudah belasan tahun berlalu, namun Clara Sumarwati masih ingat betul bagaimana perjuangan beratnya hingga bisa sampai puncak Everest. Pendakian Clara di tahun 1996 itu bukanlah yang pertama. Perempuan berusia 53 tahun ini pernah menjajal pendakian ke Everest pertama kali pada tahun 1994. Namun pendakian tersebut gagal.

Pendakian ke Gunung Everest pertama pada 1994 dilakukan Clara Sumarwati bersama Persatuan Pendaki Gunung Angkatan Darat (PPGAD) yang sebagian anggotanya dari Kopassus. Di usia 30 tahun saat itu, Clara menjadi satu-satunya pendaki perempuan dalam rombongan. Bisa bergabung dalam rombongan pendakian ke Gunung Everest bukanlah perkara mudah bagi Clara. Ia lebih dulu mengikuti seleksi bersama dua rekannya yang sama-sama berasal dari Universitas Atmajaya Jakarta di tahun 1993.

"Saya dulu rencananya bertiga sama anak Atmajaya. Namun yang lolos seleksi cuma saya saja. Itu tahun 1994. Lalu 1993 saya ke Kopassus mau ngajak Bapak Agum Gumelar waktu itu komandannya," kata Clara saat ditemui brilio.net di kediamannya pada Senin (24/6) lalu.

Bisa bergabung dalam tim pendakian Gunung Everest, Clara pun melakoni berbagai persiapan untuk melatih fisiknya. Tak tanggung-tanggung, perempuan berambut panjang itu harus melalui latihan berat selama satu tahun penuh. Latihan yang dilakoni Clara pun tak main-main. Ia rutin menjalani renang selama 3-4 jam setiap hari, lari 10-15 putaran di kawasan Senayan, fitness selama lima jam, jumaring, rapling dan naik-turun gunung selama satu bulan sekali.

"(Latihannya) berlangsung selama satu tahun. Latihan terus, istirahatnya di hari Minggu. Kadang-kadang juga ikut senam di tempat fitness, sekalian buat hiburan," kenang Clara sembari tertawa.

Setelah persiapan selama satu tahun dirasa cukup, Clara dan tim akhirnya memulai pendakian mereka ke Gunung Everest melalui jalur selatan di bulan September 1994. Pendakian Clara dan tim dilakukan bersama pendaki-pendaki Inggris yang juga dikepalai oleh salah satu dari mereka. Namun sayang, pendakian tersebut harus terhenti di camp 3 lantaran badai hebat yang menerjang Everest.

Meski badai menerjang dan sempat membuat salah satu rekannya terkena gejala frostbite (jaringan tubuh membeku akibat suhu dingin), namun Clara sempat berusaha melanjutkan pendakian menuju camp 4. Namun sayang, badai hebat yang tak bisa ditoleransi lagi membuat Clara tak bisa memaksakan pendakian tersebut demi keselamatan.

"Teman saya kencing di luar tangannya terkena frost, membeku gitu. Gejala frostbite gitu, akhirnya turun. Saya terakhir yang nerusin pendakian, tapi pendaki yang dari Kaji Sherpa (pendamping pendaki di Gunung Everest) pas mau ke camp 4 turun lagi, karena badainya hebat banget," ujar Clara.

Clara Sumarwati  2019 brilio.net

foto: Dokumentasi Clara selama di Everest (dokumen pribadi) - Repro brilio.net/Syamsu Dhuha



Pada pendakian pertama yang dilakoni pada 24 tahun silam tersebut, Clara dan rombongan membawa dana sebesar Rp 200 juta yang diberikan oleh Agum Gumelar. Saat itu, Agum Gumelar menjabat sebagai komandan Kopassus. Clara masih ingat betul bagaimana Agum Gumelar memberikan sebuah pesan kepadanya dan rombongan sebelum berangkat ke Gunung Everest. Agum Gumelar hanya berpesan untuk tidak terlalu memaksakan keadaan, karena bagaimanapun juga keselamatan adalah hal utama.

"Waktu mau berangkat, Pak Agum Gumelar pesan. 'Jangan memaksakan diri kalau cuaca nggak bagus, kalian harus turun. Lebih baik gagal daripada nggak bisa mengulangi kegagalan itu supaya berhasil'," ujar Clara meniru omongan Agum Gumelar.

-

Pendakian kedua menuju Everest

Badai hebat yang menerjang Gunung Everest pada pendakian pertama yang dilalui Clara tak membuatnya kapok untuk kembali ke sana. Dua tahun berselang, Clara kembali menjajal untuk menaklukkan sulitnya medan di Everest. Bukan hanya untuk mengalahkan Everest, Clara juga membawa misi untuk mengibarkan Sang Merah Putih di puncak tertinggi di dunia itu.

Tahun 1996, tepatnya bulan Juli-September, Clara bersama 12 rombongan dari PPGAD memulai ekspedisi pertamanya melalui jalur utara. Keberangkatan Clara kali ini didanai oleh Panitia 50 tahun Indonesia Merdeka dengan biaya sebesar Rp 478,5 juta. Pendakian Clara menuju puncak Everest memakan waktu selama satu minggu. Namun perjuangan Clara untuk menuju puncak tetap tidaklah mudah.

Clara Sumarwati  2019 brilio.net

foto: Clara di puncak Everest (dokumen pribadi) - Repro brilio.net/Syamsu Dhuha



Pasalnya, ia dan rombongan sempat bertahan di basecamp selama 2,5 bulan untuk menunggu cuaca membaik. Tak hanya tinggal diam selama masa tersebut, Clara rutin mengecek kondisi rute jika salju berhenti. Setelah dirasa cuaca mendukung, Clara langsung memulai pendakian ke puncak pada September.

Di antara rombongan yang turut serta, nama Gibang Basuki yang merupakan anggota Kopassus turut tergabung dalam tim pendakian. Namun sayang, Gibang Basuki tak sanggup melanjutkan perjalanan dan terhenti di camp 1 lantaran keluar darah dari hidungnya.

Didampingi lima orang Kaji Sherpa, Clara Sumarwati terus melanjutkan pendakian dan berhasil melewati berbagai rintangan tajam yang mewarnai setiap jalur pendakian. Pendakiannya dari jalur utara melewati tangga dengan kemiringan 90 derajat dan bahaya longsoran salju yang selalu mengancam pendaki menjadi medan paling berkesan bagi Clara.

"Kalau dari jalur utara yang susah itu menuju summit (puncak). Kita lewat tangga itu kan, itu proses aklimatisasinya (adaptasi) cepat, lewat tangga 90 derajat. Tapi alhamdulillah kita bisa melalui, agak-agak pusing dikit sih. Kayak naik roller coaster. Mau ke puncaknya itu susah, step 1, step 2 itu susah. Tapi bisa dilalui. Terus jalannya traversing, itu yang paling susah di samping bahaya longsoran salju, itu saja." ungkap Clara.

Satu pekan berjuang menaklukkan medan yang ada, Clara akhirnya mencapai puncak Everest pada 26 September 1996 pukul 11 siang waktu setempat. Tak banyak waktu yang dihabiskan Clara saat berada di puncak, udara dingin dan minimnya oksigen membuat Clara hanya bertahan sekitar 10 menit saja.

Singkatnya waktu tersebut pun dimanfaatkan Clara untuk mengibarkan Bendera Merah Putih di puncak tertinggi Everest. Meski sedikit mengalami kesusahan mengambil foto, namun momen Clara saat memegang bendera Indonesia tetap berhasil diabadikan.

Clara Sumarwati  2019 brilio.net

foto: Clara di puncak Everest (dokumen pribadi) - Repro brilio.net/Syamsu Dhuha


"Bisa berada di puncak dan mengibarkan bendera merah putih, rasanya bangga dan senang gitu. Rasanya kayak kita sudah berbuat sesuatu buat negara. Jadi satu-satunya orang yang berada di sana," ungkap Clara.

Keberhasilan Clara bisa mencapai puncak Everest pun mengundang respons positif dari berbagai kalangan. Clara bahkan pernah diundang oleh menteri olahraga Nepal saat itu untuk menerima penghargaan sebagai orang pertama dari Indonesia yang berhasil mendaki. Tak cuma itu, rekan-rekan sesama pendaki yang pernah meremehkan Clara pun bahkan ikut terkagum-kagum dengan perjuangan beratnya itu.

"Saya berhasil, mereka juga bingung saya bisa capai ketinggian 8 ribu. Ketika ditanya dari mana, saya jawab dari Indonesia. Terus terkenal saya di sana," kenang Clara.

Keberhasilan Clara juga disambut begitu meriah oleh pemerintah Indonesia. Atas keberhasilannya tersebut, Clara mendapat penghargaan Bintang Nararya dari pemerintah Indonesia. Pencapaian Clara Sumarwati tersebut menjadi hadiah terindah untuk ulang tahun Indonesia ke-50 tahun saat itu. Apalagi namanya menjadi masuk dalam daftar Summiter Everest yang bisa menaklukkan puncak saat musim badai.

"Coba cek aja di daftar summiter Everest di bulan September siapa saja, hanya Indonesia bisa tembus musim badai. Hadiah terindah untuk Indonesia di ulang tahun ke-50," tambah perempuan kelahiran 1996 tersebut.

-

Bersiap kembali ke Everest untuk ketiga kalinya

Jika kebanyakan para pecinta alam sudah memulai hobi naik gunung sejak SMA dan kuliah, Clara Sumarwati justru baru memulai hobinya saat berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir. Bukan tak ada kesempatan, saat masih menjadi mahasiswa Clara pernah mendapat tawaran untuk ikut bergabung dalam ekspedisi pendakian ke Gunung Alpen. Namun kesempatan tersebut tak diambil lantaran janjinya kepada orangtua untuk menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu.

Clara baru merasakan bagaimana serunya melakukan pendakian yang kemudian membuatnya ketagihan melakoni hobi tersebut. Gunung Rinjani yang berada di Lombok, Nusa Tenggara Barat menjadi gunung pertama yang didaki Clara pada tahun 1987. Usai mendaki Rinjani, Clara pun kerap melakukan pendakian ke beberapa gunung di Indonesia.

Tiga tahun kemudian, Clara mendapat kesempatan untuk mendaki Gunung Annapurna (7.525 mdpl di Pegunungan Himalaya). Clara Sumarwati banyak memperdalam pengetahuan tentang mountaineering (teknik mendaki gunung) dari resimen mahasiswa Jayakarta dan pecinta alam Eldeweiss di Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya Jakarta. Oksigen yang terbatas di Annapurna membuat Clara hanya mampu mencapai camp IV.

"Saya nggak berani nerusin (mendaki) karena oksigen terbatas. Dan saya masih pendaki baru, biasanya pendaki baru itu di ketinggian lima ribu, saya itu udah di tujuh ribu lima ratus. Ya itu prestasi bagi Indonesia pikir saya waktu itu. Karena kita pergi ke luar negeri bawa misi buat Indonesia," ucap Clara.

32 Tahun melakoni hobi naik turun gunung, Clara Sumarwati sudah menjajal medan pendakian di berbagai gunung terkenal di Indonesia bahkan dunia. Selain Everest dan Annapurna, Clara juga pernah mencapai puncak Aconcagua (6.962 mdpl) di Argentina perbatasan Chili bersama tim ekspedisi gabungan mahasiswa Jakarta. Di usianya yang kini sudah tak muda, Clara juga masih rutin melakoni hobi tersebut.

Bahkan Clara kini tengah mempersiapkan diri untuk kembali ke Everest bersama para pendaki-pendaki dari berbagai negara. Bukan hanya sekadar nostalgia dan menikmati keindahan alam di sana, Clara dan para pendaki yang berencana ke sana antara rentang tahun 2020-2021 memiliki tujuan untuk mengevakuasi mayat-mayat pendaki yang tertimbun salju.

"Keinginan saya ke Everest lagi, untuk mengevakuasi mayat-mayat yang ada di sana. Ya harapannya bisa dapat dukungan lagi dari pemerintah. Memakamkan jasadnya (pendaki) selayaknya manusia, nggak ditinggal di es," kata Clara.

Bersiap untuk kembali ke Everest, Clara pun kini melakukan persiapan yang tak berbeda jauh seperti 25 tahun silam. Dalam waktu dekat, Clara akan melakukan persiapan dengan mendaki Puncak Carstenz di Papua. Tak sekadar mendaki, ia juga akan membuka perpustakaan dan sekolah alam di empat tempat di derah Timika bersama timnya yang lain.

Selain masih aktif mendaki, Clara kini juga disibukkan menjadi pembimbing di berbagai komunitas pencinta alam. Ia juga kerap diundang ke berbagai wilayah untuk menjadi pembicara tentang pengalamannya mendaki gunung. Bagi Clara, naik gunung seperti naik haji membuatnya selalu ingin kembali ke sana. Clara ingat, betapa bersyukurnya ia saat berada di Everest meskipun hanya 10 menit.

"Kita merasa bersyukur bisa menikmati ciptaan Tuhan terindah di sana," pungkas Clara menutup obrolan.