Brilio.net - Menjaga kreativitas di dunia yang semakin canggih seperti sekarang ini memang sangat diperlukan. Siapa saja harus bisa memutar otak untuk bisa menghasilkan sesuatu yang menarik minat orang lain. Salah satunya adalah dalam bidang bisnis atau usaha. Tingkat persaingan yang semakin tinggi, orang tentunya harus memikirkan apa saja yang akan mereka jual dan menghasilkan untung besar untuk dirinya.
Seperti inilah yang dirasakan pria asal Yogyakarta, Dody Andri. Di tengah kompetisi antara pengrajin kayu semakin ketat, Dody menemukan jalannya untuk bisa berbisnis dengan menggunakan bahan dasar kayu. Jika biasanya kayu dijadikan furnitur biasa, Dody justru merubahnya menjadi fashion mewah yang banyak disukai masyarakat lokal hingga ke luar negeri.
foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha
Ditemui brilio.net di pabrik pembuatan tas kayu Ruaya, RT 4, Dusun Dadapbong, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Bantul, Yogyakarta, Dody menceritakan pengalaman pertamanya saat menekuni usaha di bidang pengolahan kayu tersebut. Sejak awal tahun 2014, Dody melihat banyak pengrajin kayu di Bantul, Yogyakarta. Mulai dari berinovasi membuat jam tangan berbahan dasar kayu hingga yang lainnya.
foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha
Dody pun akhirnya termotivasi untuk mempelajari berbisnis jam kayu. Bersama temannya, ia mulai mempelajari bidang baru yang jelas-jelas sebelumnya tidak pernah ia tekuni. Namun seiring berjalannya waktu, persaingan pasar semakin tinggi.
"Awal mulanya kita memproduksi jam tangan dari kayu. Karena waktu itu sedang booming jam tangan dari kayu ya. Pengrajin di Jogja juga banyak yang memproduksi. Awalnya cuma iseng aja sih, ikut-ikut mereka," kata Dody ketika berbincang dengan brilio.net, Kamis (10/10).
Menurut Dody, ia juga hanya memerlukan waktu dua bulan untuk riset dan langsung menghasilkan satu produk. Namun sayangnya saat itu juga banyak yang memproduksi namun dijual dengan harga yang menurutnya ngawur.
"Awal-awal itu kan, jam tangan kayu harganya masih Rp 1 juta ke atas. Terus kok ada yang jual Rp 350 ribu, wah ini mungkin sudah tidak sehat ini persaingannya, saya pikirnya begitu. Akhirnya nggak tak terusin," ujarnya.
Dody kembali memikirkan apa yang harus ia lakukan dengan ilmu yang sudah ia punya. Ia pun kembali menemukan ide untuk membuat olahan kayu menjadi barang yang begitu unik, yakni speaker dari kayu. Keunikan itu akhirnya nama brand yang dibangunnya mulai dikenal oleh masyarakat luas.
foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha
"Karena kita sudah belajar banyak, rasanya itu sayang. Ilmu yang sudah kita dapat nggak kita gunain, gara-gara takut bersaing tadi itu. Akhirnya kita gunakan ilmunya untuk memproduksi produk lain. Produknya speaker pasif dari kayu. Dari speaker pasif itulah Ruaya mulai dikenal," kenang Dody.
Sejak saat itu, Dody pun mulai rajin mengikuti beberapa pameran untuk memamerkan produknya. Namun seiring berjalannya waktu Dody mengatakan bahwa usahanya mulai menurun, ia pun mulai mencari ide untuk bisa mempertahankan brandnya. Melalui beberapa pengamatan dan mempelajari beberapa hal, Dody akhirnya memutuskan untuk membuat tas dari kayu, yang memang banyak diminati oleh kaum wanita.
"Kadang suatu produk itu kan ada masa jenuhnya ya. Kadang bisa terjual habis, kadang tidak ada yang terjual. Nah, kita harus memutar lagi gitu, memutar haluan lagi. Kira-kira apa sih, yang menyebabkan kita kita kok surut seperti ini, gitu," katanya.
Dody mengaku saat itu mulai melakukan riset kembali. Dody pun menemukan survei jika dalam satu pameran atau toko lainnya pasti 80% pembelinya adalah wanita karena tertarik pada keunikan barang yang dijual.
"Nah, terus dari wanita itu, kira-kira produk turunannya itu apa yang kita bisa buat? Karena ilmunya kita di kayu dan kulit akhirnya kita bikinlah tas dari kayu," sambungnya.
Pria lulusan Teknik Sipil, Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) ini pun mulai mencoba beberapa jenis kayu yang sekiranya pantas untuk dijadikan bahan dasar pembuatan tas. Sampai akhirnya ia menemukan jenis kayu yang cocok, yakni kayu mindi. Kayu mindi sendiri diperolehnya dari Bantul, Yogyakarta.
Dody menjelaskan, meski Ruaya dikenal dengan tasnya, ia juga sebenarnya memproduksi lainnya, seperti notebook dari kayu, speaker dan lainnya.
foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha
"Ruaya turunannya macam-macam sih, jadi memang kelihatannya secara brand itu tas gitu ya. Tapi turunannya banyak, ada notebook dari kayu, speaker, tempat kartu, headset, jam dan sebagainya. Kita juga melayani jika ada yang memesan suvenir, ya kita kerjakan," katanya.
Usahanya kini sudah berjalan dengan baik, dalam sebulan Ruaya berhasil memproduksi 50 jenis tas, seperti tas jinjing hingga tas punggung. Untuk satu tas dibutuhkan waktu dua hari untuk penyelesaiannya. Dody juga menitipkan beberapa karya di galeri-galeri di Jogja serta melayani pemesanan online.
Mengenai harganya seimbang dengan proses produksi yang terbilang tidak mudah. Harganya bervariasi tergantung dari jenis tas yang diinginkan.
"Untuk tas itu dari harga Rp 750.000 sampai Rp 1.200.000. Kalau barang lainnya itu dari harga Rp 70.000 sampai Rp 300 ribuan," ujarnya.
foto: Brilio.net/Ivanovich Aldino
Dody mengatakan, usaha yang ia bangun sekarang ini memang belum menghasilkan banyak pemasukan. Meski sebenarnya dalam sebulan ia mendapat penghasilan dari usahanya Rp 30-40 juta.
"Kalau dirata-rata mungkin Rp 30-40 juta per bulan. Terkadang bulan-bulan tertentu itu memang sepi, akhir tahun biasanya agak lumayan," kata Dody.
Pria berusia 27 tahun tersebut juga menjelaskan bahwa dirinya mendirikan usahanya itu tanpa ada bantuan dari keluarganya. Ia benar-benar mengerjakan semuanya sendiri, bahkan di awal keluarga tak mengetahui bahwa dirinya mendirikan sebuah usaha.
foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha
"Dari keluarga itu nggak pernah tahu sebenarnya. Orangtua saya itu tahu baru akhir 2017 gitu. Setelah ada yang ngeliput dan lihat di YouTube. Saya nggak pernah cerita dan memang saya jarang pulang ke rumah juga," katanya.
Meski ia menjalani usahanya sendiri, Dody berhasil menunjukkan bahwa hasil kerja kerasnya kini menjadi salah satu yang cukup banyak diminati bahkan hingga luar negeri. Beberapa kali Dody mengikuti pameran di luar negeri, seperti Prancis, Filipina, Rusia, Korea dan China.
"Pertama kita keluar negeri itu, 2017 itu di Prancis. Terus 2018 itu mulai banyak ke luar negeri, mulai dari Filipina, KBRI di Rusia, Korea, terus terakhir di China," imbuh Dody menutup perbincangan.
Recommended By Editor
- 7 Festival tahunan di Yogyakarta ini sayang untuk dilewatkan
- Kisah sukses Widodo, meraup untung dari budidaya semut kroto
- Uma Yum Cha, sensasi makam dimsum restoran bergaya kaki lima
- Ryan Ardiansyah, sosok di balik mobil listrik Arjuna UGM
- Murty Indrady, Satpol PP Bantul yang asuh anak yatim dan lansia