Brilio.net - Mendengar nama Inem, mungkin akan terlintas dengan sebutan Inem Pelayan Seksi. Hal ini berbeda dengan Inem yang ada di Jogja, namanya Inem Jalan-Jalan. Penampilannya tidak cantik, pakaiannya pun juga tidak terkesan mewah dan jauh dari kesan seksi. Justru bagi orang awam penampilan Inem yang satu ini cenderung terlihat seperti badut atau semar.
foto: brilio.net/Ivanovich A
Made Dyah Agustina, itulah nama asli sosok Inem Jalan-Jalan ini. Made yang lulusan S1 dari UNY jurusan Seni tari, kemudian melanjutkan kuliahnya di pascasarjana mengambil jurusan Manajemen Pertunjukan Seni di ISI Yogyakarta. Setelah lulus S2, ia sempat menjadi dosen di Universitas Sanata Dharma.
Karier Made bisa dibilang sukses, lantas kenapa ia justru memilih menjadi sosok Inem ketimbang bekerja mapan sebagai Dosen?
Setelah Made menjadi dosen selama empat tahun, ia tergugah untuk terjun langsung sebagai pelaku seni ketimbang menjadi dosen. Made ingin menuruti keinginan hatinya.
foto: brilio.net/Ivanovich A
"Saya lebih suka mengelola sanggar, membuat karya tari, membuat karya-karya yang mengedukasi masyarakat, sebuah karya-karya yang nantinya ada imbal balik ke saya sendiri dan masyarakat. Jadi akhirnya saya memutuskan untuk berhenti jadi dosen dan lebih memilih untuk menjadi pelaku seni," jelas Made pada brilio.net saat ditemui di kediamannya, Kamis (3/1). Hingga akhirnya di awal tahun 2018 ini eksistensi Made muncul kembali seperti saat ia masih muda.
Berlatar belakang sebagai anak seorang pedagang balon. Dari kecil hingga ia duduk di bangku SMA, kehidupannya ada di Alun-alun Utara membantu berjualan balon orangtuanya. "Saya harus berjualan balon, mendorong gerobak. Itupun orangtua hanya bisa membiayai sekolah hingga SMA," jelas Made.
foto: brilio.net/Ivanovich A
Made tidak ingin menjadi penjual balon juga di kemudian hari, "Saya ingin menaikkan derajat orangtua saya," jelasnya.
Made berusaha dengan giat, ia mulai berkecimpung di dunia tari. "Saya mulai menari ke sana ke mari, yang akhirnya saya bisa kuliah S1 dan S2 tanpa biaya orangtua. Melalui beasiswa dan berbagai job tari," lanjut Made.
Made sudah memiliki sanggar tari yang bekerja sama dengan Tembi budaya, yang dulunya hanya 10 murid kini sudah memiliki total 350 anak dari lima sanggar yang ia miliki. Seiring bejalannya waktu, Made merasa ia sudah cukup memiliki semuanya. Keluarga kecilnya, rumah sudah ada, fasilitas sudah lengkap, dan sebagainya.
Sebagai rasa syukurnya, kini Made memilih terjun langsung ke masyarakat. "Semuanya bagi saya sudah cukup, dan saya ingin berbuat sesuatu melalui seni yang bisa bermanfaat bagi sesama dan bisa berguna bagi seluruh masyarakat Jogja," terang Made. Muncullah idenya sebagai Inem.
foto: brilio.net/Ivanovich A
Kegiatannya sebagai Inem ia lakukan ketika memang memiliki waktu luang. Berjalan-jalan melakukan hal apa saja yang bersifat positif bagi masyarakat. "Bisa saya membawa tas kresek untuk mengambil sampah, menolong orang yang ada di depan mata saya apa yang bisa saya tolong, membeli sesuatu dari pedagang yang bisa membahagiakan pedagang tersebut, dan masih banyak lagi kegiatan Inem lainnya," jelas Made.
Inem juga mengajarkan sopan santun kepada anak kecil. Ketika anak kecil tersebut tertarik, mulai mendekati dan mengajak salaman, Inem selalu menyisipkan kata-kata sopan santun seperi kata terima kasih dalam bahasa jawa 'matur nuwun' dan permisi 'kulo nuwun'. Hal-hal kecil tersebut ingin Inem tanamkan kepada anak-anak zaman sekarang ini agar mereka mengerti.
foto: brilio.net/Ivanovich A
Inem selalu ingin menjadi manusia yang berguna dan bermanfaat bagi orang lain. Inem sering mengajak masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan.
Namun dengan tampilannya yang seperti itu, banyak sekali yang mengatakan Inem seperti orang gila. "Banyak sekali yang mengatakan saya macam-macam. Saya iya kan saja. Yang penting gila tapi bermanfaat, daripada kamu waras tapi nggak bermanfaat," kata Made.
Melalui seni juga Inem bisa bertemu banyak orang secara langsung dan memberikan pesan langsung kepada masyarakat. Bahwa menjunjung tinggi kebudayaan lokal untuk kehidupan bermasyarakat itu sangat penting. Melalui Inem jugalah ia menjadi tahu mana orang yang memang harus dibantu, mana yang hanya berpura-pura. "Melalui Inem ini saya juga banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa membuat saya bersyukur dengan apa yang saya alami sekarang. Ternyata banyak orang yang tidak beruntung," kata Made.
foto: brilio.net/Ivanovich A
Sebab aktivitas Inem selain berjalan-jalan adalah duduk bersama masyarakat langsung, bercerita dan mengobrol banyak hal. Sebab para pedagang atau masyarakat awam lainnya menganggap Inem adalah pengamen dan sama-sama hidup di jalanan. "Ternyata jika mereka memang benar-benar membutuhkan, saya beli barangnya. Namun kalau mereka ternyata hanya berpura-pura dikasihani, saya nasihati mereka," terang Made.
Made juga bercerita mengenai perlengkapan yang Inem biasa pakai. Perlengkapan yang Inem pakai seadanya, semuanya yang sudah tersedia di rumah. Kebaya, jarik, sepatu, tas, semua apa adanya, tidak ada yang serba baru. Bahkan dulu tetangganya tidak mengetahui kalau Made-lah yang ada di balik sosok Inem. Selain itu juga sebenarnya dandanan tersebut memiliki filosofi tersendiri.
foto: brilio.net/Nur Luthfiana Hardian
"Dandanan tersebut saya ambil dari tari edan-edanan. Di mana tari edan-edanan tersebut memiliki arti sebagai penolak bala (menolak unsur-unsur negatif)," jelas Made. Inem hadir untuk menolak bala dari pengaruh-pengaruh negatf yang datang ke kota Jogja, bala yang untuk melunturkan kebudayaan kota Jogja.
Bukan hanya pada masyarakat lokal, namun juga wisatawan Jogja. Januari 2018, ia awali berjalan sebagai Inem di jantung Jogja yakni Malioboro. Semanjak ada Inem, banyak sekali yang mengucapkan terima kasih pada Made. Misalnya semenjak ada Inem, anak-anak-anak justru lebih tertarik menonon video Inem yang lucu ketimbang menonon video yang aneh-aneh.
foto: Instagram/@inemjogja
Hinnga saat ini Inem selalu mencari spot-spot yang ramai, yang banyak dikunjungi masyarakat. "Saya berharap ke depannya akan muncul Inem-Inem yang lain, bahkan kalau bisa tidak hanya di Jogja. Saya juga tidak pernah marah apabila ada orang yang meniru karya saya sebagai Inem. Ada juga laki-laki yang sudah menghubungi saya, dia pakai dandanan Inem menyebarkan virus antikorupsi. Saya senang dan bangga apabila ada orang yang bisa mencontoh lagak saya (Inem), kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan Inem," tutup Made.
Recommended By Editor
- Kisah anak naik perahu sendiri ke sekolah ini bikin salut
- Kisah mantan perampok 7 kg emas yang kini jadi kiai pondok pesantren
- Mahasiswa Jogja ini didik anak-anak bantaran Kali Code, inspiratif
- Ini dia sosok penjual coto Makassar yang ternyata seorang direktur
- Kisah haru pria nyamar jadi Ultraman untuk hibur saudaranya