Brilio.net - Belum lama ini, Yogyakarta diramaikan dengan kabar seorang mahasiswi yang berhasil menyandang gelar sarjana di usianya yang terbilang cukup muda, yakni 19 tahun. Menariknya lagi, ia berhasil lulus dengan predikat cumlaude pada Sabtu (31/8) dengan IPK 3,78.
Ya, dia adalah Maria Clara Yubilea Sidharta atau yang akrab dengan sapaan Lala. Pencapaian ini menjadi sangat luar biasa, baik bagi Lala, orangtuanya maupun kerabat terdekatnya. Bahkan masyarakat ikut kagum dengan prestasi yang diraih Lala.
Lala bukanlah anak dan mahasiswi biasa. Dia memiliki kemampuan lebih dibandingkan anak seumurnya, Lala adalah gifted child (anak berbakat atau anak luar biasa). Ketika Lala masih kecil, ia memiliki kesulitan dalam berkomunikasi. Hal tersebut membuat dirinya menjadi sangat berbeda dan kerap dikucilkan teman-teman seumurannya.
foto: brilio.net/syamsu dhuha
Kala itu orangtuanya belum mengetahui bahwa Lala adalah gifted child. Sampai akhirnya sang ibu, Patricia Lestari Taslim menyadarinya ketika Lala berusia 13 tahun. Hal ini lantaran Lala enggan melanjutkan pendidikannya usai menyelesaikan Sekolah Dasar (SD).
"Pertama kali kita mengetahui Lala itu gifted pada umur 13 tahun. Karena dia mogok sekolah, jadi lulus SD Lala memutuskan untuk tidak mau sekolah," ujar Patricia ketika berbincang-bincang dengan brilio.net beberapa waktu lalu di kediamannya.
Bukan tanpa alasan Lala tidak ingin sekolah, ia merupakan anak yang mudah sekali bosan dengan suatu hal.Bahkan, sejak playgroup hingga kelas 2 SD, Lala lima kali pindah sekolah.
Menurut Lala, ada beberapa hal yang membuatnya bosan di sekolah. Lala merasa apa yang diajarkan oleh gurunya dapat ia terima dengan baik, namun ia akan sangat bosan ketika sang guru harus mengulang beberapa kali pelajaran tersebut untuk teman-temannya yang belum paham. Lala juga mengaku, sangat sulit berkomunikasi dengan teman-teman sebayanya. Ia lebih senang bermain bersama kakak kelas, yang jauh lebih tua dari dirinya.
"Yang jelas dia (Lala) gampang sekali bosan dengan sistem pembelajaran di sekolah. Terus seringkali jadi korban bullying," kata Patricia.
"Bosannya itu dirasakan karena cepat menangkap pelajaran yang ada di kelas seperti itu. Jadi sebagai anak-anak gifted itu lebih cepat menangkap. Satu-dua kali penyampaian itu udah bisa mengerti, nah yang lain kan tidak. Kadang tiga-empat kali bahkan lebih masih harus diulang. Nah, sementara kita harus mengikuti mayoritas tiga-empat kali ini," sambung Lala.
Sebagai seorang yang memiliki latar belakang pendidikan guru, Patricia bisa memahami keinginan anaknya. Hingga akhirnya ia mengikuti saja apa yang diinginkan Lala. Termasuk keinginan Lala untuk belajar di rumah atau yang dikenal dengan homeschooling. Meski begitu Patricia tetap meminta Lala untuk menjalani sekolah formal.
"Saya kan alumi dari sekolah keguruan. Kita diajari bagaimana cara mendidik anak, bagaimana mengenali masa pekanya. Nah, dari sana kemudian akhirnya saya hanya mengikuti ketika terlihat bahwa 'Oh, dia sedang kepengen belajar ini'. Ya kita jalani saja," ujar Patricia.
"Waktu dia kelas 2 SD, itu dia (Lala) sudah sempat ribut minta homeschool, tidak mau sekolah. Cuma waktu itu memang ya karena papinya dosen kan, sementara saya juga mantan guru. Kita merasa, jalur pendidikan formal masak anaknya nggak sekolah? Jadi walaupun dia sudah minta untuk homeschool, kita masih tetap paksa dia harus tetap sekolah," sambungnya.
foto: brilio.net/syamsu dhuha
Agar pihak sekolah bisa memahami putrinya, Patricia melakukan pendekatan dengan pihak sekolah dengan memberikan kelonggaran pada Lala. Caranya tidak terlalu memaksa Lala dalam mengikuti pelajaran di sekolah, yang terpenting dia ikut dan hadir di sekolah.
"Dia (Lala) masih kita suruh sekolah sambil saya melakukan pendekatan ke sekolah. Minta tolong pihak sekolah untuk diberi sedikit kelonggaran dalam arti, 'Udah deh, dia tetap ke sekolah jangan terlalu kaku banget, bahwa dia harus ada di kelas, ngapain aja terserah dia'. Pokoknya status dia sekolah," ujar Patricia.
Setelah lulus SD, ternyata Lala benar-benar tak ingin mengikuti sekolah formal lagi. Sementara Patricia dan suami menginginkan anaknya tetap sekolah, sampai akhirnya ia menemukan jalan keluar agar anaknya tersebut memiliki ijazah. Sampai akhirnya Lala mau menuntaskan Ujian Nasional sebagai kewajibannya guna lulus dari sekolah tersebut lewat kejar paket.
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk bisa mengejar paket. Mengingat kala itu Lala baru saja lulus SD pada tahun 2011, lalau di tahun 2013 Lala sudah minta untuk ikut ujian akhir sekolah.
"Nah, akhirnya ketemu jalan tengahnya adalah lewat kejar paket. Itu sebabnya kita mencari informasi bagaimana caranya dia bisa ikut kejar paket. Di luar kebiasaan, biasanya kan SMP 3 tahun nih, SMA 3 tahun. Nah, dia belum genap dua tahun sudah ribut minta ujian," kata Patricia.
Untuk bisa melaksanakan ujian, Lala harus memenuhi syarat dengan menunjukkan hasil Tes IQ dengan skor 130 skala wechsler. Patricia memberikan pengarahan kepada Lala. Tidak masalah untuk mengikuti tes IQ, namun ia meminta kepada Lala, jika IQ-nya tidak mencapai angka tersebut, ia harus bisa menerimanya. Namun siapa sangka, hasil tes IQ Lala tembus 131. Dengan begitu ia bisa mengikuti ujian hasil yang memuaskan pula.
Karena cepat belajar, Lala berhasil menuntaskan Ujian Kejar Paket B (setara SMP) dan Kejar Paket C (setara SMA) di tahun 2013 dan 2015. Nilai ujiannya pun bagus. Pada tahun 2017, karena ada beberapa hal yang harus dipenuhi Lala akhirnya ia kembali melakukan Tes IQ. Menariknya Lala mencatatkan nilai 145 dalam tes tersebut.
Selepas ujian kejar paket selesai dijalaninya, tiba-tiba saja Lala meminta kepada orangtuanya untuk kuliah. Lala mengatakan bahwa dirinya tertarik untuk kuliah karena mendengar cerita dari temannya.
"Denger cerita temen yang homeschool juga, yang udah kuliah. Wah, kok kayaknya kuliah itu asyik. Ya udah deh coba masuk sekolah formal lagi," ujar Lala.
Mendengar hal itu Patricia tentunya sangat senang, ia pun mendukung penuh keinginannya anak itu. Sampai akhirnya Lala diterima di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dengan jurusan Bahasa Jerman. Ada alasan mengapa Lala memilih bahasa Jerman. Ternyata Lala sangat menyukai bahasa dan seni. Oleh sebab itu psikolog menyarankan Lala untuk mengambil jurusan bahasa.
Bahasa Jerman adalah bahasa yang belum ia kuasai kala itu. Namun Lala sudah mengusai Bahasa Inggris, Prancis, dan Jepang serta beberapa bahasa lainnya yang sedang ia pelajari.
Saat pertama kali menginjakkan kakinya di dunia perkuliahan, Lala masih berusia 15 tahun. Hal ini membuat dirinya harus mendapat perhatian ekstra dari orangtuanya. Patricia pun memilih untuk mengantar jemput anak semata wayangnya itu. Namun ternyata ia mendapat dukungan dari suami untuk kuliah lagi, dari pada ke kampus hanya untuk mengantar jemput Lala.
"Selama proses antar jemput itu, inilah kemudian muncul ide dari suami yang kemudian dia juga dukung. 'Kamu daripada cuma ke kampus buat antar jemput, mbok kamu kuliah sekalian'. Iseng-iseng berhadiah. Nah, jadilah jadilah saya kuliah lagi," ujar Patricia sembari tertawa.
foto: brilio.net/ivanovich aldino
Bagi Patricia itu merupakan ide bagus. Akhirnya setahun setelah Lala mulai kuliah, Patricia mendaftar dan dinyatakan diterima di S2 Pendidikan Luar Biasa UNY angkatan 2016. Pada saat itu, Patricia merupakan salahsatu mahasiswa yang tidak berlatar belakang pendidikan luar biasa di jenjang S1-nya. Namun itu tak jadi masalah, ia terus belajar untuk mengejar ketertinggalannya dengan menumpang belajar di SLB Marganingsih Tajem.
Ada misi di balik ia ingin kuliah lagi. Selain untuk bisa lebih memahami anaknya yang merupakan gifted child, ia juga ingin membantu ibu-ibu lain yang memiliki kelebihan seperti Lala. Ia juga memiliki komunitas Parents Support Group for Gifted Children (PSGGC) Jogja, yang dibentuk sejak tahun 2014 dan berisi keluarga-keluarga yang memiliki anak gifted.
"Di samping karena memang saya merasa saya butuh belajar lebih banyak untuk memahami bagaimana anak gifted itu. Kita juga memiliki komunitas PSGGC Jogja, yang isinya memang keluarga-keluarga yang memiliki anak-anak gifted. Sejak 2014 kita berdiri itu kita sudah selalu berusaha menggelar berbagai acara edukasi dan sosialisasi, tentang apa itu anak gifted, perbedaannya apa, apa yang mereka butuhkan," jelasnya.
Berkat kerja kerasnya, Pada 27 Mei 2019, tesis Patricia telah disetujui oleh dosen pembimbing. Menandakan ketuntasan kewajibannya dalam menempuh studi jenjang S2. Dalam jadwal yang sudah ditentukan, Patricia akan wisuda pada bulan Juni. Namun ia melihat Lala pada 27 Mei 2019 sedang menuntaskan yudisium skripsinya.
Hingga akhirnya Patricia Patricia memutuskan untuk berkirim surat kepada wisuda kepada Rektor dan Direktur Pascasarjana UNY. Isinya sederhana: Meminta Patricia diizinkan untuk wisuda Agustus.
"Saya yudisium dalam arti akhir masa studi saya itu 27 Mei 2019. Jadi seharusnya saya sudah ikut wisuda bulan Juni. Tetapi kok ya 27 Mei dia (Lala) ujian. Akhirnya saya mengajukan surat permohonan khusus ke rektor, untuk izin kalau boleh wisudanya saya mundur Agustus, supaya bisa wisuda bareng dengan Lala," kata Patricia.
Bagi Patricia ini merupakan hal yang begitu bermakna. Sebagai orangtua, ia ingin mendampingi putrinya sampai menunju gerbang kesuksesan. Ia ingin terus ada untuk putrinya.
"Bagi saya itu bermakna, kami sebagai orangtua ingin mengantarkan anak kami sampai mencapai cita-citanya, sampai ke gerbang akhir. Tidak ditinggal di tengah jalan. Makna itu sih yang ingin saya angkat, kenapa sampai saya memberanikan diri minta wisudanya mundur," ujarnya.
Patricia memang bisa dikatakan sosok ibu yang luar biasa. Ia tidak hanya ingin membantu anaknya saja, namun ia juga ingin berkontribusi untuk anak-anak berkebutuhan khusus lainnya. Dengan ilmu yang dimilikinya, komunitas yang dibangunnya, ia ingin anak-anak seperti Lala bisa mendapat perhatian lebih.
Lala tentunya sangat beruntung memiliki ibu yang terus mendukungnya hingga saat ini. Usai menyelesaikan pendidikan S1-nya, Lala kini memiliki cita-cita yang cukup mulia. Ia ingin melanjutkan S2 di Amerika untuk mengambil pendidikan anak gifted untuk mewujudkan cita-cita ibundanya.
"Goals utama pastinya nyari beasiswa untuk keluar, rencananya mau lanjut S2 di Amerika untuk mengambil pendidikan anak gifted. Melanjutkan cita-cita Mami. Karena Mami kan sudah tua, faktanya kan memang begitu, usianya sudah sulit mencari beasiswa. Sebagai kandidat yang lebih banyak peluangnya," imbuh Lala menutup perbincangan.
Recommended By Editor
- Pengalaman Supiyati, bertahun-tahun menjadi 'manusia paku'
- Mindplace Studio dan cerita di balik video viral GTA San Andreas
- Anugrah Pakerti, sukses di usia muda berkat bisnis skincare
- Sri Lestari, disabilitas paraplegia yang migunani terhadap sesama
- Yu Ning, istikamah 7 tahun memanen air hujan jadi air minum