Isyarat dari sebuah mimpi.
Kebiasaan Sarwidi dalam memburu penyu ini lantas terhenti pada tahun 2009. Di suatu malam, dia mengaku bermimpi didatangi oleh seorang perempuan tua dari laut yang memintanya jadi juru selamat penyu. Mimpi itu datang tepat setelah Sarwidi mendapat buruan penyu. Meski pada awalnya bingung, namun sarwidi tetap mempercayainya sebagai wahyu yang membawa pesan penting.
Dari situlah kemudian Sarwidi memulai menyelamatkan penyu dan telurnya. Setelah lewat sebulan dari mimpi tersebut, dia menemukan sarang penyu berisi puluhan telur. Sebagian telur yang didapat tetap dikonsumsi, namun sebagian yang lain dia coba untuk diperam. Sarwidi tak menyangka bahwa telur-telur tersebut berhasil menetas. Dia pun melepaskan tukik dari telur yang baru menetas tersebut ke laut lepas.
foto: brilio.net/annatiqo
Setelah menangkarkan 1-2 sarang, Sarwidi mengaku sempat berhenti. Bukan tanpa sebab, biaya konservasi dan pemeliharaan yang tidak murah membuat Sarwidi berpikir dua kali. Belum lagi waktu dan tenaga yang dikeluarkan membuat jam kerjanya terpotong, sehingga memengaruhi penghasilannya.
Namun seakan teringat mimpi yang dulu, dia kembali memulai kegiatan konservasi penyu ini pada tahun 2010. Tidak sendirian, dia menggandeng sejumlah warga lain yang kerap memancing di sekitar Pantai Pelangi. Mereka lantas mendirikan Kelompok Konservasi Penyu Pantai Pelangi guna membantu melakukan perawatan dan pelestarian hewan tersebut.
Tahun 2010 sudah niat kami memang harus bisa melestarikan, jadi kami nggak coba-coba lagi. Kami mengajak teman waktu itu, dari nelayan, namanya Tri Widodo. Itu warga sini, orang nelayan juga. Kami ajak ayo kita melestarikan penyu. Semoga kita berhasil melestarikan dan bermanfaat bagi anak cucu kami, ungkap Sarwidi sambil sesekali menyeruput kopi.
foto: brilio.net/annatiqo
Tantangan dan strategi konservasi.
Berbagai usaha dilakukan Sarwidi untuk melestarikan penyu. Di musim pendaratan antara bulan April sampai September, dia bersama warga lain yang ikut dalam kelompok konservasi melakukan patroli secara bergantian. Setiap malam, Sarwidi berjalan kaki sejauh 8 km di sepanjang pesisir Pantai Parangtritis sampai Pantai Depok demi mencari sarang penyu selama musim pendaratan tiba. Hal ini juga dilakukan demi mencegah adanya pemburu yang akan mengambil dan menjual telur penyu di sarang tersebut.
Menurut Sarwidi, menghadapi masyarakat lokal yang masih berprofesi sebagai pemburu menjadi salah satu tantangan terbesar. Terlebih dulunya, banyak pemburu yang berasal dari kerabat dekat, seperti teman dan saudara. Dia juga mengaku tak punya wewenang untuk menegur mereka begitu saja, sekalipun larangannya sudah jelas tertera di Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Hayati beserta Ekosistemnya
Undang-undang itu ya tahu warga, tapi ya, mau gimana lagi? Kalau sudah kepepet urusan perut, ya itu santapan empuk, tuturnya.
foto: brilio.net/annatiqo
Namun tak tinggal diam, Sarwidi melakukan berbagai macam strategi pendekatan kepada warga. Mulanya, dia mengajak warga untuk tidak membunuh induk penyu saat mendarat di pantai. Sedangkan telurnya bisa diambil untuk kemudian dijual kepadanya. Sarwidi mengaku bersedia mengganti setiap butir telur dengan harga Rp2.500. Padahal jika ditilik lebih lanjut, induk penyu bisa bertelur hingga 70-100 butir dalam satu sarang.
Sarwidi bercerita bahwa kondisi ini pernah semakin parah saat adanya Covid-19. Karena harus menjaga rumah, dia tidak bisa asal pergi keluar untuk patroli mencari sarang penyu dan mengamankannya. Alhasil, banyak pemburu yang berdatangan dan membawa telur penyu untuk kemudian diganti dengan uang.
Itu tiap malam kami diantar telur sama warga. Dan telur itu ya harus ganti. Padahal untuk makan saja bingung, lha nggak ada wisata sama sekali. Jadi ya itu, apa adanya, apa boleh buat. Kami ternak ayam, kambing, itu saya jual. Bukan untuk makan, tapi untuk mengganti telur. Malah pernah juga semalem itu satu orang dapat 6 sarang, tapi tetap saya sanggupi, kata Sarwidi menjelaskan.
foto: brilio.net/annatiqo
Usaha Sarwidi dalam menyadarkan warga mulai membuahkan hasil. Kini sudah banyak warga yang meninggalkan profesi sebagai pemburu penyu dan beralih sebagai pemancing atau pelaku wisata. Jika pun ada yang menemukan sarang atau penyu yang mendarat, warga akan segera lapor untuk kemudian ditangani langsung oleh Sarwidi. Hal ini tentu mengurangi bebannya sebagai seorang konservator.
Dukungan penuh dari keluarga dan perhatian berbagai pihak.
Semua usaha konservasi yang dilakukan Sarwidi ternyata tidak lepas dari peran orang terdekat, yakni anak dan istrinya. Harwanti, istri Sarwidi juga mempercayai bahwa mimpinya tentang menyelamatkan penyu bisa membawa perubahan yang lebih baik secara personal. Oleh sebab itu, dia bisa sampai mengizinkan sang suami menjual ternak, seperti ayam dan kambing miliknya demi menghidupi Konservasi Penyu Pantai Pelangi.
Dukungan tersebut membuat Sarwidi terus bergerak di Konservasi Penyu Pantai Pelangi. Selain pada akhirnya kesadaran masyarakat mulai timbul, buah dari usaha Sarwidi dan Kelompok Konservasi Penyu Pantai Pelangi ini kemudian menarik perhatian banyak pihak. Mulai dari kampus-kampus, pemerintah, hingga perusahaan melalui program CSR (corporate social responsibility) mereka.
foto: brilio.net/annatiqo
Pada tahun 2014, Sarwidi bertemu dengan dosen dan mahasiswa yang berasal dari Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Dia kemudian dibantu mengembangkan konservasi dari berbagai aspek, seperti pengarahan, pemberian fasilitas, hingga tenaga dikerahkan untuk mendukung keberlangsungan konservasi ini. Melalui koneksi tersebut, Sarwidi juga dikenalkan dengan sejumlah pihak berwenang yang bisa membantu memberikan fasilitas.
Kalau bangunan-bangunan ini pada awalnya kami dibantu. Tempat untuk sarang penetasan dari KAGAMA (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada) kalau nggak salah, dari UGM. Itu membantu dibikinkan tempat untuk penetasan. Tahun 2016 atau 2017, ya, itu kami dibantu dari salah satu dosen (UAD) tadi melobi DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan). Terus pas itu dibantu bangunan tempat untuk penetasan. Kalau kolamnya ini dari DKP bantul. Dan kalau bak-bak penangkaran itu dari BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Bantul. Kalau dulu itu alami, pakai jaring-jaring saja itu, terang Sarwidi.
foto: brilio.net/annatiqo
Pengembangan konservasi melalui ekowisata.
Sekalipun fasilitas memadai, namun tidak dapat dipungkiri bahwa Sarwidi masih harus mengeluarkan uang dari kantong pribadi untuk menutupi biaya perawatan, seperti penggalian sumur untuk air dalam kolam dan pemberian pakan. Oleh sebab itu, kini Sarwidi dan kelompok konservasi penyu Pantai Pelangi mulai merumuskan proses transisi. Jika semula dana perawatan berasal dari kantong pribadi, kini Sarwidi mulai memutar otak untuk mencari pemasukan lain, salah satunya dengan menawarkan paket ekowisata. Tidak sendiri, Sarwidi kini dibantu oleh relawan yang tergabung dalam 4K Yogyakarta (Aksi Konservasi Yogyakarta). Sejak September 2020 lalu, komunitas ini aktif mendukung pelestarian penyu di Pantai Pelangi.
Daru Aji sebagai salah satu pendiri komunitas tersebut berkisah bahwa ketertarikannya bermula ketika dia sering melakukan aktivitas kerelawanan di Pantai Pelangi. Kepada brilio.net, dia mengaku beberapa kali berdiskusi dengan Sarwidi dan Kelompok Konservasi Penyu Pantai Pelangi untuk mengembangkan dan memperkuat konservasi penyu. Daru kemudian membantu untuk mengatur strategi pengembangan konservasi, salah satunya melalui ekowisata tersebut.
foto: brilio.net/annatiqo
Dengan menggandeng relawan lain atau kerjasama perusahaan, Daru menggelar berbagai macam kegiatan konservasi. Mulai dari bersih pantai, pelatihan pembuatan ecobrick dari sampah plastik, penanaman pandan laut, hingga rilis tukik. Kegiatan-kegiatan ini adalah bentuk pengembangan dari program ekowisata yang dicanangkan oleh kelompok konservasi penyu Pantai Pelangi beserta 4K Yogyakarta. Selain untuk tujuan edukasi, kegiatan tersebut juga sangat berpengaruh pada kemajuan ekonomi konservasi penyu Pantai Pelangi.
Sejauh ini, semua ada hasilnya dari apa yang kita kerjakan selama ini. Kalau dulu ya ada komunitas juga, cuma ya kembali lagi. Dan sekarang jelas peminatnya lebih banyak, bahkan setiap minggu itu ada kegiatan. Nah, dari kegiatan itu ada dampak ekonomi juga untuk konservator. Karena dari ekonomi itu juga bisa membuat konservasi itu bertahan, bisa sustain (berkelanjutan), tutup Daru.
Recommended By Editor
- Dakwah dalang Ki Lutfianto, guru SMA Bantul blusukan kampung kenalkan superhero muslim
- Anak kampung jualan baju modal Rp 300 ribu omset Rp 10 miliar kini punya rumah bak istana, 9 potretnya
- Viral siswa SMA 3 Semarang bisa lolos di 21 universitas luar negeri, kisah di baliknya bikin bangga
- Emoh flexing harta meski konglomerat, ini 9 potret garasi mobil Jusuf Hamka, pelat nomor bikin salfok
- Tetap cari nafkah di usia senja, semangat Mbah Dinar keliling kayuh gerobak burger belasan kilometer