Brilio.net - Hikayat merupakan karya sastra lama berbahasa melayu yang berbentuk prosa. Hikayat berisi cerita, undang-undang, dan silsilah yang bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis, atau gabungan dari sifat-sifat tersebut.
Pada umumnya, hikayat menceritakan tentang kepahlawanan atau semangat juang yang ditambah dengan unsur kesaktian dari tokoh utama. Beberapa contoh hikayat yang terkenal adalah Hikayat Hang Tuah, Hikayat Si Miskin, dan Hikayat 1001 Malam (Abunawas).
Hikayat pun memuat nilai-nilai moral, agama, sosial, dan budaya. Selain nilai, terdapat ciri khas yang dimiliki hikayat dan berbeda dari jenis teks lainnya. Berikut ciri-ciri yang dimiliki oleh teks hikayat.
1. Anonim atau tanpa nama, teks hikayat tidak jelas dibuat atau diceritakan oleh siapa karena bersifat anonim.
2. Memuat kesaktian, seperti disebutkan sebelumnya, hikayat menambahkan unsur kesaktian dari tokoh utama. Kesaktian tersebut bisa dianggap mustahil karena sulit diterima oleh logika.
3. Arkais, hikayat menggunakan bahasa yang lampau atau sangat jarang digunakan untuk berkomunikasi pada saat ini. Contoh bahasa yang dijumpai dalam hikayat adalah titah, upeti, dan hatta.
4. Istanasentris, maksudnya adalah cerita mengenai hikayat ini menggunakan latar istana atau kerajaan. Hal ini bisa dilihat oleh tokoh-tokoh dan latar tempat yang digunakan. Misalnya, hikayat menggunakan tokoh raja, prajurit, dan anak raja.
5. Memuat unsur mustahil, selain kesaktian, cerita dalam hikayat juga memiliki sifat mustahil dan sulit diterima secara logis. Salah satu contohnya adalah seorang putri yang keluar dari gendang.
Supaya kamu lebih memahami lagi tentang teks hikayat, kamu bisa membaca contoh-contoh teks hikayat. Nah, berikut brilio.net rangkum dari berbagai sumber, Senin (03/1), inilah contoh teks hikayat dari berbagai tema.
1. Hikayat Dua Abu
foto: pexels.com
Kerajaan Gandalika merupakan sebuah negeri yang teramat indah memesona. Negeri subur makmur, masyarakatnya hidup dengan aman dan tenteram. Kerajaan ini diperintah oleh seorang raja yang bernama Raja Baharuddin. Beliau mempunyai istri yang cantik jelita, Permaisuri Salikah. Raja Baharuddin adalah seorang raja gagah perkasa. Sahabat maupun musuh-musuh kerajaan sangat menghormatinya. Ayunan pedangnya membuat hati mereka bergetar hebat. Mata Raja Baharuddin seperti elang yang menjaga sarang anak-anaknya dari gangguan musuh. Kakinya bagaikan kijang emas yang menjadi incaran pemburu, kuat, cepat, lincah, dan bergelora seperti aliran air dari hutan menuju muara.
Salah satu kekurangannya adalah belum mempunyai keturunan, permaisurinya belum melahirkan putra. Telah lama Permaisuri Salikah menikah dengan Raja Baharuddin, tetapi mereka masih belum mempunyai keturunan. Permaisuri menjadi bersedih hati. Pada suatu malam Raja Baharuddin terbangun. Setelah selesai salat tahajud beliau berdoa agar diberi putra. Ia duduk bersujud menahan air mata, mencoba mengingat dosa apa yang pernah diperbuatnya sehingga Allah menghukumnya. Apapun risiko akan diterimanya agar memiliki putra. Dalam doanya, “Wahai Zat Yang Mahaadil, hamba bersujud dalam air mata memohon belas kasihMu. Malangnya nasib hamba-Mu ini apabila tidak mempunyai keturunan sama sekali. Apakah kekurangan hamba-Mu ini sehingga Gandalika terancam tidak mempunyai seorang pewaris?
Hamba mohon, sudilah kiranya Engkau memberi putra agar hamba dapat mewariskan kerajaan ini kepadanya.” Tiba-tiba dari semua arah tempat ia berdoa terdengar satu suara menggelegar, “Aku akan memberimu keturunan. Pergilah kau ke suatu desa di pinggir hutan dan bagikan kepada warganya sedekah berupa apa saja. Salah satu dari mereka akan mendoakanmu dan Aku akan mengabulkan doanya.”
Sumber: Abdul Rohim. Hikayat Dua Abu: Cerita Rakyat dari DKI. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017
2. Hikayat Si Miskin
foto: pexels.com
Nasta’inu billahi a’la
Ini hikayat cerita orang dahulu kala. Sekali peristiwa Allah Swt menunjukkan kekayaannya kepada hambanya, maka adalah seorang miskin laki bini berjalan mencari rizkinya berkeliling negeri antah berantah. Ada pun nama raja di dalam negeri itu Maharaja Indera Dewa namanya. Terlalu amat besar kerajaan baginda itu. Beberapa raja-raja di tanah Dewa itu takluk kepada baginda dan mengantar upeti kepada baginda pada tiap-tiap tahun. Hatta maka pada suatu hari, baginda sedang ramai dihadapkan oleh segala raja-raja, menteri hulubalang, rakyat sekaliannya ada di penghadapan. Maka si miskin itupun sampailah ke penghadapan itu, setelah dilihat oleh orang banyak si miskin laki bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing rupanya, maka orang banyak itupun ramailah ia tertawa seraya mengambil kayu dan batu maka dilemparnyalah akan si miskin itu, kena tubuhnya habis bengkak-bengkak dan berdarah. Maka segala tubuhnya pun berlumur dengan darah, maka orang pun gemarlah maka titah baginda “Apakah yang gempar diluar itu”. Sembah segala rajaraja itu “Ya tuanku Syah Alam, orang melempar si miskin tuanku”.
Maka titah baginda “suruh usir jauh-jauh”. Maka diusir oranglah akan si miskin hingga sampailah ke tepi hutan maka orang banyak itupun kembalilah maka hari pun malamlah. Maka bagindapun berangkatlah masuk ke dalam istananya maka segala raja-raja dan menteri, hulubalang rakyat sekalian itupun masing-masing pulang ke rumahnya. Adapun si miskin itu apabila malam ia pun tidurlah di dalam hutan. Setelah siang hari maka ia pun pergi berjalan nasuk ke dalam negeri mencari rizkinya. Maka apabila sampailah dekat kepada kampung orang, apabila orang yang empunya kampung itu melihat akan dia makanya diusirlah dengan kayu, si miskin itupun larilah ia lalu ke pasar maka apabila dilihat oleh orang pasar itu si miskin datang maka masing-masing pun datang, ada yang melontari dengan batu, ada yang memalu dengan kayu maka si miskin itupun larilah tunggang langgang tubuhnya habis berlumur-lmur dengan darah.
Maka menangislah ia berseru-seru sepanjang jalan itu dengan tersangat lapar dahaganya seperti akan matilah rasanya. Maka ia pun bertemu dengan tempat orang membuang sampah-sampah maka berhentilah ia di sana maka dicarilah di dalam sampah yang bertimbun itu barang yang boleh di makan. Maka didapatinyalah ketupat yang sudah basi dibuangkan oleh orang pasar dengan buku tebu lalu dimakannya ketupat yang sebiji itu laki bini. Setelah sudah dimakannya ketupat itu maka baharulah dimakannya buku tebu itu. Maka adalah segar sedikit rasa tubuhnya karena beberapa lamanya tiada merasai nasi hendak mati rasanya ia hendak meminta ke rumah orang, takut, jangankan diberi orang barang sesuatu, hampir kepada rumah orang itu pun tiada boleh, demikianlah hal si miskin itu sehari-hari.
Sumber: Ellya Roza. Transliterasi Naskah Kuno Hikayat Si Miskin. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Riau, Museum Negeri Sang Nila Utama. 2014
3. Hikayat Hang Tuah I
foto: pexels.com
Sekali peiistiwa ada seoiang raja keinderaan. Maka raja itu terlalu besar kerajaaimya, pada segala raja indera seorang pun tiada menyamai dia; sekaliannya menumt titahnya baginda itu.
Syahdan apabila baginda ke luar, dihadap oleh segala rajaraja dan menteri hulubalang, maka beberapa pedang yang sudah terhunus kepada kiri kanan baginda itu, dan beberapa puluh bentara yang memangku pedang yang berikatkan emas, bertatahkan ratna mutu manikam. Apabila baginda bertitah pada segala rajaraja dan menteri di kanan, maka bentara kanan menyampaikan titah baginda itu. Maka apabila baginda memandang ke kiri bertitah, maka bentara kirilah menyampaikan titah baginda itu. Maka apabila baginda memandang ke kanan, maka segala raja-raja dan menteri sekalian menyembah, ^abila baginda berpali^ ke kiri, maka sekalian laja-raja dan menteri di kiri semuanya menyembah baginda itu. Adapun nama baginda itu Sang Pertala Dewa. Adapun Sang Potala Dewa itu tahu akan dirinya akan beioleh anak. Maka anaknya itulah akan menjadi raja di Bukit Seguntang. Maka dari pada anak cucu baginda itu, al^ mmjadi raja besar-besar pada akhir zaman. Maka tersebutlah pula perkataan seorang raja, terialu besar kerajaannya;maka isteri bi^da itupun hamillah. Setelah genaplah bulannya, maka permaisuri pun betanaklah seorang perempuan, terialu amat elok rupanya dan kelakuannya. Pada masa zaman itu, seorang pun tiada menyamai rupanya anak raja itu. Maka dinamai deh ayahanda bunda baginda tuan puteri Kemala Ratna Pelinggam. Maka dipeliharakan deh paduka ayahanda bunda baginda dengan sepertinya.
Syahdan maka paduka ayahanda bunda pun terialu amat kasih akan anakanda baginda itu. Hatta berapa lamanya, maka beberapa anak laja-raja datanglah hendak meminang tuan puteri itu, akan tetapi tiada diberi oleh paduka bunda baginda, karena segala raja-raja yang hendak meminang itu tiada sama dengan bangsa baginda itu, karena bundanya itu raja keinderaan.
Sumber: Bot Genoot Schap. Hikayat Hang Tuah I. Jakarta: Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional. 2010
4. Hikayat Bayan Budiman
foto: pexels.com
Di suatu negeri, hiduplah seorang tua bersama keluarganya. Pekerjaan orang tua itu sehari-hari adalah menangkap burung dan ayam di hutan. Ayam dan burung hasil tangkapannya lalu dijual di pasar. Uang hasil menjual ayam dan burung itulah yang dipakai untuk menghidupi keluarganya. Seperti biasanya, pada pagi hari orang tua itu bergegas pergi ke hutan.
“Aku ikut, Ayah,” pinta anak orang tua itu.
“Jangan, Nak!,” jawab orang tua itu.
“Aku ingin membantu Ayah menangkap ayam dan burung,” kata anaknya.
Orang tua itu tersenyum sambil mengelus kepala anaknya yang sudah remaja itu, lalu berkata, “Kau di rumah saja menemani ibumu. Ayah hanya pergi sebentar saja karena ayah tidak lagi mencari-cari burung atau ayam yang akan ditangkap. Kali ini ayah pergi ke hutan hanya untuk mengambil burung-burung yang sudah melekat di dahan-dahan dan ranting pohon.”
“Maksud Ayah burung-burung itu sudah pasti ada di pohon itu?” tanya si anak.
Ayahnya menjawab, “Ya, Nak. Kemarin siang ayah sudah mengolesi daun dan ranting dengan lem perekat di pohon yang paling besar. Burung-burung itu sekarang pasti sudah lengket di pohon itu. Jadi, pagi ini ayah tinggal mengambilnya saja.”
”Wah, pasti banyak burung yang Ayah bawa pulang nanti”, kata anaknya dengan mata berbinar-binar.
“Ya, kita lihat nanti. Sekarang ayah berangkat dulu, ya?”
Ketika sampai di hutan, orang tua itu langsung menuju sebuah pohon yang paling besar. Dilihatnya banyak burung bayan menempel di daun-daun dan ranting pohon itu. Ia segera melepas bajunya, lalu sambil membawa golok ia memanjat pohon besar itu. Sesampai di atas, ia melihat burung-burung itu diam seperti sudah tak bernyawa, lalu diambilnya satu per satu dan dijatuhkannya ke tanah. Dalam waktu yang tidak lama, sudah ada 99 ekor burung bayan yang dijatuhkannya ke tanah. Ia melihat tinggal seekor lagi yang belum diambilnya karena burung yang satu itu menempel pada dahan yang lebih tinggi. Tatkala orang tua itu akan menjangkau burung itu, tiba-tiba golok yang dia selipkan di celananya terjatuh.
Burung bayan yang sudah berada di tanah mengira yang jatuh itu adalah temannya yang tinggal seekor lagi. Lalu, sesuai dengan rencana apabila sudah genap seratus yang dijatuhkan ke tanah, burung-burung bayan itu segera terbang bersama-sama. Bayan yang berjumlah 99 itu tidak tahu bahwa suara benda jatuh itu adalah sebuah golok, bukan temannya. Alangkah terkejutnya orang tua itu mendengar dan melihat burung-burung bayan yang berjumlah 99 itu tiba-tiba berhamburan terbang menjauh. Ia merasa telah diperdaya oleh kawanan burung itu. Tinggallah seekor burung lagi yang masih menempel di daun. Karena tidak ingin tertipu lagi, burung bayan itu tidak dijatuhkannya ke tanah. Burung itu terus digenggamnya sampai ia turun dari pohon besar itu.
Sesampainya di bawah, ia berkata kepada burung itu, “Bangunlah, wahai, burung! Aku tahu kau hanya berpura-pura mati.” Burung yang tinggal seekor itu ternyata Raja Bayan. Burung itu membuka matanya tanpa berkata apa pun. Dalam perjalanan pulang, orang tua penangkap burung itu sedih hatinya karena membayangkan wajah anak dan istrinya yang kecewa akan hasil tangkapannya hari ini. Ia hanya dapat membawa pulang seekor burung. Padahal, burung yang terkena jebakannya sangat banyak.
Sumber: Ekawati. Hikayat Bayan Budiman. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2016
5. Hikayat Datuk Tuan Budian
foto: pexels.com
Nama kampung berpantai indah itu adalah Karangkupa. Namun, pedagang dari Tanah Melayu yang melintasi daerah itu menamainya Kampung Karangputih karena ada sebuah batu karang berdiri di tepi pantai. Karang itu seolah-olah menghadang gulungan ombak dari arah Laut Semangka. Meskipun selalu diterjang ombak, batu karang itu tetap berdiri dengan kokoh, seakan mengejek ombak yang selalu berhempas di kakinya. Ada cerita turun temurun yang mengisahkan bahwa batu karang itu berasal dari sebuah kapal dari benua seberang. Kapal itu kandas di pantai Kampung Karangkupa karena dilanda badai besar. Setelah sekian lama, bangkai kapal itu berubah menjadi batu karang yang menjulang tinggi di bibir pantai.
Awalnya, batu karang itu berwarna sangat putih. Namun, guyuran hujan, sinar matahari, dan terjangan ombak membuatnya menjadi tidak seputih dahulu lagi. Bagi para pelaut, karang itu menjadi penanda arah dalam berlayar. Akhirnya, orang lebih mengenal kampung di tepi pantai dekat karang itu berada dengan sebutan Karangputih. Mereka pun melupakan nama Karangkupa.
Negeri Karangputih sangat subur. Tanahnya kehitam-hitaman karena banyak mengandung humus sehingga baik untuk bercocok tanam. Penduduk negeri itu sangat rajin bekerja. Pada umumnya,
penduduk bekerja sebagai petani. Mereka menanam kopi, lada, dan palawija. Sebagian yang lain, bekerja sebagai nelayan. Mereka turun ke laut setiap hari untuk menangkap ikan. Petani dan nelayan saling bertukar hasil petanian dan tangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Penduduk Negeri Karangputih hidup rukun dan suka bergotong royong. Jika ada salah satu anggota masyarakat yang kesusahan, ia akan dibantu bersama-sama. Sebaliknya, jika ada yang mendapat kebahagiaan, yang lain juga turut merasakan kebahagiaan itu.
Sayangnya, kerukunan penduduk Negeri Karangputih tidak dilengkapi dengan keamanan. Bajak laut yang mereka sebut bajau, sering mengganggu ketenteraman penduduk negeri itu. Pertempuran antara penduduk dan para bajau sering tidak dapat dihindari. Pada pertempuran, penduduk lebih sering mengalami kekalahan. Kemampuan bertempur para bajau lebih tinggi karena mereka lebih terlatih dibandingkan penduduk Negeri Karangputih. Serangan bajaubajau ini membuat hati penduduk Negeri Karangputih resah dan tidak tenteram. Makan tidak enak, tidur juga tidak nyenyak karena mereka selalu khawatir para bajau datang tiba-tiba. Meskipun masyarakat Karangputih telah bekerja sama untuk menghadapi bajau, tetap saja mereka selalu kalah. Penduduk terpaksa membiarkan harta benda mereka diambil oleh para bajau.
Gangguan di Karangputih tak hanya datang dari para bajau. Di balik keelokan pemandangan alamnya, Negeri Karangputih banyak didiami bangsa siluman. Siluman-siluman tersebut sangat ganas.
Mereka sering menggangu penduduk Negeri Karangputih. Para penyimbang, pemangku adat di seluruh kampung yang ada di Negeri Karangputih telah melakukan berbagai upaya untuk mengusir makhluk halus itu. Dukun dan orang pintar diminta untuk mengusir mereka, tetapi belum ada yang berhasil. Pawang dan orang sakti juga diminta untuk mengalahkan para siluman, tetapi semua mereka kembali dengan tangan hampa. Mereka tidak sanggup menghadapi para siluman itu. Berita tentang gangguan bajau dan siluman membuat Negeri Karangputih semakin angker. Oleh sebab itu, makin sedikit orang yang berkunjung ke sana. Daerah itu semakin terkucil.
Sumber: Susilowati. Hikayat Datuk Tuan Budian: Cerita Rakyat Lampung. Lampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung. 2017
Recommended By Editor
- Nabung di botol selama 3 tahun, wanita ini wujudkan mimpi beli mobil
- 7 Contoh teks announcement beserta penjelasan, jenis, dan strukturnya
- 11 Contoh teks prosedur membuat makanan, sederhana dan mudah dipahami
- 7 Arti mimpi kemalingan beserta penjelasan, pertanda baik atau buru
- 7 Contoh teks fabel lengkap dengan pesan moral dan penjelasan struktur