Brilio.net - Sistem Kebut Semalam (SKS) sering kali dianggap sebagai solusi cepat untuk menghadapi ujian dengan belajar intensif dalam waktu singkat. Namun, di balik popularitasnya, terdapat banyak mitos yang membuat metode ini terlihat lebih efektif daripada kenyataannya.

Meski begitu, ada berbagai pandangan terkait sistem kebut semalam. Metode ini kerap dipilih bagi sebagian orang yang terlampau sulit mengatur waktu dalam belajar. Alhasil sistem ini kerap kali digunakan, terlebih banyaknya materi pembelajaran dalam sehari membuat para pelajar sering kebingungan bagaimana menentukan apa yang harus dipelajari terlebih dahulu.

Imbasnya, kebanyakan pelajar memilih untuk enggan belajar. Meski demikian kebanyakan orang beranggapan SKS menjadi kebiasan yang cukup efektif dalam menyerap pelajaran serta menjadi bekal untuk menjawab berbagai pertanyaan saat ujian. Padahal sistem seperti ini justru merugikan diri sendiri, pasalnya sistem kebut semalam cenderung membuat seseorang tidak maksimal menyerap informasi yang pada akhirnya mereka hanya mengingat dalam jangka pendek saja.

Lantas dari mana sih asal-usul SKS di Indonesia? Lalu apa saja mitos yang melekat di kalangan masyarakat terkait sistem kebut semalam. Supaya lebih memahami SKS, yuk simak ulasan lengkap mitos dan fakta seputar SKS yang disajikan brilio.net pada Kamis (5/9).

Asal-usul popularitas SKS di Indonesia

Mitos & fakta ilmiah seputar sistem kebut semalam © 2024 freepik.com

Mitos & fakta ilmiah seputar sistem kebut semalam
freepik.com/stockking

Sistem kebut semalam, atau yang lebih dikenal dengan singkatan SKS, menjadi metode belajar yang sering dilakukan siswa maupun mahasiswa dalam mempersiapkan diri menghadapi ujian beberapa hari sebelum jadwal pelaksanaan ujian. Biasanya, seseorang memadatkan seluruh materi yang seharusnya dipelajari dalam jangka waktu panjang ke dalam satu ataupun dua malam sebelum ujian.

Meskipun metode ini sering dianggap tidak efektif dalam jangka panjang, SKS tetap menjadi pilihan banyak pelajar di Indonesia. Popularitas metode ini tidak muncul begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor sejarah, budaya, hingga sistem pendidikan di Indonesia.

1. Sistem pendidikan yang berorientasi pada ujian

Salah satu faktor utama yang melahirkan dan mempopulerkan SKS di Indonesia ialah sistem pendidikan yang sangat berorientasi pada ujian. Di banyak sekolah dan perguruan tinggi, penilaian utama didasarkan pada hasil ujian akhir.

Nilai yang diperoleh dari ujian memiliki dampak besar terhadap prestasi akademis, promosi kelas, hingga kelulusan. Karena ujian sering kali menjadi fokus utama, banyak siswa yang cenderung menunda belajar hingga waktu menjelang ujian.

Sejarah kolonialisme Belanda juga turut membentuk pola pendidikan di Indonesia. Pada masa penjajahan, pendidikan bersifat elit dan menekankan pada ujian sebagai bentuk evaluasi.

Tradisi ini berlanjut hingga masa kemerdekaan, di mana nilai ujian sering kali dianggap sebagai penentu kecerdasan atau kesuksesan akademis seseorang. Dengan demikian, tekanan untuk sukses dalam ujian mendorong para siswa untuk mencari cara cepat dalam menyerap banyak informasi, sehingga SKS menjadi solusi.

2. Budaya "Last Minute" dan kecenderungan menunda

Budaya menunda-nunda pekerjaan atau procrastination juga memiliki peran penting dalam popularitas SKS. Banyak pelajar merasa memiliki cukup banyak waktu untuk mempelajari materi, namun sering kali akhirnya menunda belajar hingga waktu ujian semakin dekat.

Kebiasaan menunda-nunda ini sering kali diakibatkan oleh ketidakmampuan untuk mengatur waktu secara efektif atau rasa cemas menghadapi ujian yang membuat seseorang menunda memulai belajar. Dalam konteks Indonesia, di mana beban akademis sering kali cukup berat lalu siswa harus membagi waktu antara sekolah, les tambahan, hingga aktivitas ekstrakurikuler, sehingga banyak yang merasa tidak punya cukup waktu untuk belajar hingga akhirnya menggunakan SKS sebagai pilihan terakhir.

3. Faktor lingkungan sosial juga turut berkontribusi.

Dalam lingkungan belajar yang kompetitif, banyak siswa yang membandingkan dirinya dengan teman-teman sekelas. Jika teman-temannya melakukan SKS dan berhasil dalam ujian, kebiasaan ini dapat menyebar ke siswa lain. SKS kemudian menjadi semacam "tradisi" yang diturunkan dari satu generasi pelajar ke generasi berikutnya.

4. Kemudahan akses materi pembelajaran

Di era digital, akses mudah terhadap materi pembelajaran juga mendukung popularitas SKS. Dengan adanya internet, banyak pelajar dapat dengan cepat mengunduh ringkasan materi, catatan ujian, video pembelajaran, dan modul online yang memadatkan informasi dalam waktu singkat.

Hal ini semakin mempermudah siswa untuk melakukan SKS karena tidak perlu lagi membuka buku pelajaran satu per satu. Alhasil sebagian pelajar bisa memanfaatkan aplikasi pembelajaran atau mengakses tutorial video di YouTube yang menyediakan ulasan cepat tentang topik-topik yang akan diuji.

Sebelum era digital, siswa Indonesia mengandalkan ringkasan dari senior atau modul pelajaran yang disusun secara khusus untuk mempersiapkan ujian dalam waktu singkat. Penggunaan "buku saku" yang memuat poin-poin penting juga menjadi bagian dari fenomena SKS.

5. Tekanan sosial dan ekspektasi tinggi

Tekanan sosial dan ekspektasi tinggi dari keluarga maupun sekolah untuk mendapatkan nilai tinggi juga berperan besar dalam popularitas SKS. Banyak pelajar di Indonesia merasa tertekan untuk meraih nilai yang bagus, baik demi mendapatkan beasiswa, diterima di universitas ternama, atau memuaskan orang tua.

Dalam kondisi tertekan, mereka cenderung mencari solusi instan, dan SKS sering kali dianggap sebagai pilihan yang memungkinkan. Selain itu, bagi sebagian siswa, SKS dianggap sebagai "tradisi" yang sering kali diromantisasi dalam kehidupan sekolah atau perkuliahan.

Banyak siswa yang merasa bahwa SKS bagian dari pengalaman akademis yang hampir "wajib" dialami. Di media sosial, cerita tentang begadang semalaman untuk belajar sering kali diangkat, menciptakan persepsi bahwa SKS jadi sesuatu yang biasa dilakukan oleh pelajar yang "gigih" dan "cerdas".

6. Ketidakefisienan sistem pembelajaran di sekolah

Banyak pelajar Indonesia merasa bahwa metode pengajaran di sekolah terlalu teoretis dan kurang aplikatif, sehingga sulit memahami materi yang diajarkan. Di beberapa kasus, materi pelajaran diberikan secara berlebihan serta tidak dipelajari dengan mendalam.

Akibatnya, banyak siswa merasa kewalahan dengan banyaknya informasi yang harus dipelajari, terutama mendekati ujian. Hal ini menciptakan kondisi di mana mereka memilih untuk menunda belajar hingga detik-detik terakhir lalu akhirnya menggunakan SKS sebagai solusi instan.

7. Pengaruh globalisasi

Popularitas SKS juga dipengaruhi oleh globalisasi. Di berbagai negara lain, khususnya di Amerika Serikat dan negara-negara Barat, konsep "cramming" atau belajar intensif dalam waktu singkat juga sangat umum dilakukan. Melalui pengaruh media, film, dan literatur yang menampilkan mahasiswa atau siswa yang melakukan SKS, metode ini menjadi semakin dikenal dan diterima di kalangan pelajar Indonesia.

Sistem kebut semalam atau SKS di Indonesia memiliki akar yang kompleks, dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang berorientasi pada ujian, budaya menunda pekerjaan, serta tekanan sosial dan keluarga.

Meskipun metode ini populer, SKS memiliki kelemahan, terutama dalam hal retensi memori jangka panjang. Namun, dengan adanya akses mudah terhadap informasi di era digital, SKS tetap menjadi pilihan utama bagi banyak siswa yang mencari cara cepat untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian.

Efektivitas belajar jangka pendek vs. jangka panjang: pendekatan ilmiah

Mitos & fakta ilmiah seputar sistem kebut semalam © 2024 freepik.com

Mitos & fakta ilmiah seputar sistem kebut semalam
freepik.com/katemangostar

1. Belajar jangka pendek (Short-Term Learning)

Belajar jangka pendek merujuk pada sesi belajar yang berfokus pada penguasaan materi dalam waktu singkat, sering kali terkait dengan persiapan ujian atau kebutuhan mendesak. Teknik seperti sistem kebut semalam (SKS) termasuk dalam kategori belajar jangka pendek.

Kelebihan:

- Retensi memori jangka pendek: Belajar intensif dalam waktu singkat dapat membantu memori jangka pendek. Menurut penelitian dari American Psychological Association (APA), sesi belajar intensif dalam waktu singkat memungkinkan informasi disimpan di memori jangka pendek.

- Efisiensi waktu: Dalam kondisi mendesak, belajar jangka pendek memungkinkan seseorang mendapatkan informasi yang cukup relevan dengan cepat.

- Kondisi darurat: Teknik ini cocok untuk situasi di mana persiapan mendalam tidak memungkinkan, seperti ujian yang mendekat atau presentasi mendadak.

Kelemahan:

- Keterbatasan retensi jangka panjang: Penelitian menunjukkan bahwa informasi yang diperoleh melalui belajar intensif lebih cepat dilupakan. Studi dari Cognitive Science menemukan bahwa 70% dari informasi yang dipelajari secara SKS sering hilang dalam beberapa hari setelah pembelajaran, jika tidak diulangi.

- Kurangnya pemahaman mendalam: Pembelajaran jangka pendek sering kali menghasilkan pemahaman yang dangkal, karena lebih berfokus pada penghafalan daripada pemahaman konseptual.

2. Belajar jangka panjang (Long-Term Learning)

Belajar jangka panjang melibatkan pembelajaran secara berulang, konsisten, dan berkelanjutan selama periode waktu yang lebih lama. Metode ini sering diintegrasikan dalam rutinitas harian serta didukung oleh pendekatan yang lebih sistematis, seperti spaced repetition atau pengulangan terjadwal.

Kelebihan:

- Retensi jangka panjang: Menurut studi dari Journal of Educational Psychology, metode belajar jangka panjang yang melibatkan pengulangan dan penguatan konsep secara bertahap dapat memperpanjang durasi retensi memori hingga beberapa bulan atau bahkan tahun. Teknik seperti spaced repetition memungkinkan otak memproses informasi secara lebih mendalam serta membentuk koneksi jangka panjang.

- Pemahaman konseptual yang lebih baik: Belajar jangka panjang memberikan lebih banyak waktu untuk menganalisis, mengeksplorasi, dan memahami materi secara mendalam. Sebuah studi dari Nature Neuroscience menunjukkan bahwa interval belajar yang teratur meningkatkan kemampuan otak untuk mengintegrasikan informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya.

- Pengurangan kognitif load (Beban Kognitif): Belajar secara bertahap memungkinkan otak mengatur informasi dengan lebih efisien, sehingga mengurangi stres mental dan memungkinkan penyerapan yang lebih efektif.

Kelemahan:

- Waktu yang diperlukan lebih lama: Dibandingkan belajar jangka pendek, metode ini membutuhkan lebih banyak waktu dan komitmen jangka panjang. Oleh karena itu, hasilnya tidak bisa dirasakan dalam waktu singkat.

- Memerlukan disiplin dan perencanaan: Belajar jangka panjang membutuhkan kedisiplinan dan manajemen waktu yang baik, serta strategi yang terencana untuk memastikan materi diulang dengan benar.

3. Perbandingan efektivitas berdasarkan ilmu kognitif

Penelitian dari Ebbinghaus’ Forgetting Curve menunjukkan bahwa informasi yang dipelajari dalam sesi intensif (jangka pendek) cenderung cepat terlupakan jika tidak diulang. Sementara itu, belajar jangka panjang yang dilakukan secara bertahap dapat memperlambat proses lupa dan menguatkan memori jangka panjang.

Studi oleh Rohrer and Pashler (2007) menemukan bahwa siswa yang menggunakan metode belajar terjadwal (spaced learning) memperoleh hasil yang lebih baik dalam retensi jangka panjang dibandingkan dengan mereka yang menggunakan metode SKS. Pembelajaran terjadwal juga memungkinkan pemrosesan ulang informasi secara lebih baik di otak, sehingga memperkuat pengetahuan.

4. Relevansi dalam konteks pembelajaran modern

Dalam lingkungan belajar modern, kombinasi belajar jangka pendek dan jangka panjang bisa menjadi solusi terbaik. Contohnya, sesi belajar singkat dapat digunakan untuk memahami topik-topik dasar, sedangkan belajar jangka panjang dapat memperkuat konsep yang lebih kompleks sekaligus membantu dalam pembentukan pemahaman yang mendalam. Sebagai contoh, dalam sistem pendidikan berbasis proyek, siswa sering kali diperkenalkan dengan konsep secara singkat sebelum mendalami lalu memperluas pemahaman mereka melalui proyek jangka panjang.

Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa belajar jangka pendek dapat berguna untuk kebutuhan mendesak, tetapi efektivitas jangka panjang cenderung lebih rendah. Sementara itu, belajar jangka panjang memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan retensi yang lebih lama. Studi kognitif mendukung pendekatan jangka panjang karena memberikan lebih banyak waktu bagi otak untuk menyimpan informasi di memori jangka panjang sekaligus membuat koneksi antar-konsep.

Mitos-mitos dan fakta ilmiah seputar SKS

Mitos & fakta ilmiah seputar sistem kebut semalam © 2024 freepik.com

Mitos & fakta ilmiah seputar sistem kebut semalam
freepik.com/stockking

1. Mitos:
SKS efektif untuk menyerap banyak informasi dalam waktu singkat

Salah satu mitos terbesar tentang SKS yakni keyakinan bahwa metode ini efektif untuk menyerap banyak informasi dalam waktu singkat. Banyak pelajar percaya dengan belajar semalam suntuk, mereka bisa memahami seluruh materi yang akan diujikan. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa belajar dalam waktu singkat dengan intensitas tinggi tidak meningkatkan pemahaman secara mendalam.

Faktanya:

Metode belajar dengan cara SKS sering kali hanya memfokuskan siswa pada hafalan sementara, bukan pada pemahaman yang mendalam. Informasi yang dipelajari dalam SKS cenderung hanya tersimpan dalam memori jangka pendek, dan siswa sering melupakan materi segera setelah ujian selesai.

Menyadur penelitian oleh Harvard University menunjukkan bahwa metode pembelajaran yang berulang dan terjadwal jauh lebih efektif dalam meningkatkan retensi jangka panjang dibandingkan dengan belajar dalam satu malam tanpa jeda istirahat.

2. Mitos:
SKS bisa meningkatkan prestasi akademis

Banyak pelajar beranggapan bahwa dengan melakukan SKS, bisa langsung meningkatkan nilai ujian atau prestasi akademis. Nggak heran bila banyak yang percaya bahwa begadang lalu belajar semalaman menjadi cara untuk mendapatkan nilai yang lebih baik.

Fakta:

Studi University of California, Los Angeles (UCLA) menunjukkan bahwa siswa yang sering melakukan SKS cenderung mendapatkan nilai ujian yang lebih rendah dibandingkan dengan orang yang belajar secara teratur dan terstruktur.

Bagaimana tidak, SKS dapat menyebabkan kelelahan fisik dan mental, yang berakibat pada penurunan kemampuan konsentrasi maupun pemahaman selama ujian. Kekurangan tidur, yang sering kali menjadi efek samping dari SKS, juga telah terbukti memengaruhi kognisi, memori, hingga daya ingat seseorang secara negatif.

3. Mitos:
SKS bagian dari gaya hidup siswa yang "normal"

Kebanyakan siswa percaya bahwa SKS telah menjadi bagian dari gaya hidup akademis yang normal dan bahkan semacam "ritual" yang wajib dilalui sebelum ujian. SKS sering kali dianggap sebagai pengalaman yang harus dihadapi setiap siswa, terutama di bangku kuliah.

Fakta:

Meskipun banyak siswa yang melakukan SKS, bukan berarti metode ini jadi bagian dari gaya hidup yang sehat atau produktif. Studi psikologi menunjukkan bahwa SKS lebih banyak dipicu oleh kebiasaan buruk dalam manajemen waktu, seperti menunda-nunda atau procrastination.

SKS bukanlah pilihan yang "normal," melainkan tanda bahwa seseorang gagal dalam mengatur waktu belajarnya dengan baik. Belajar secara teratur lalu membagi waktu belajar lebih efektif dalam jangka panjang, serta membantu menciptakan pola hidup akademis yang lebih sehat.

4. Mitos:
SKS bisa dilakukan tanpa mengganggu kesehatan

Beberapa siswa merasa bahwa SKS dapat dilakukan tanpa konsekuensi serius terhadap kesehatan, asalkan mereka minum kopi atau menggunakan suplemen tertentu untuk tetap terjaga. Nggak sedikit yang percaya bahwa begadang sesekali tidak berbahaya sehingga tidak akan memengaruhi tubuh dalam jangka panjang.

Fakta:

SKS sebenarnya memiliki dampak serius pada kesehatan, terutama jika dilakukan berulang kali. Begadang semalaman tanpa istirahat yang cukup dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk kelelahan, sakit kepala, dan gangguan tidur.

Apabila dilakukan dalam jangka panjang, kurang tidur yang kronis dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif, menurunkan sistem kekebalan tubuh, bahkan meningkatkan risiko penyakit jantung. Penelitian Medical News Today juga menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk berkaitan dengan penurunan produktivitas dan kemampuan belajar.

5. Mitos:
Kopi atau minuman energi membantu efektivitas SKS

Banyak siswa yang mengandalkan kopi, minuman berenergi, atau kafein lainnya untuk menjaga kesadaran dan meningkatkan fokus selama SKS. Mereka percaya bahwa konsumsi kafein dalam jumlah besar akan membantu mereka tetap waspada dan mampu belajar lebih lama.

Fakta:

Meskipun kafein dapat memberikan dorongan energi sementara, efeknya sering kali berumur pendek dan tidak dapat menggantikan kebutuhan tidur yang cukup. Terlalu banyak kafein juga dapat menyebabkan kegelisahan, tremor, peningkatan detak jantung, hingga gangguan tidur di malam berikutnya.

Sebuah studi oleh Mayo Clinic menyatakan bahwa konsumsi kafein yang berlebihan tidak hanya menurunkan konsentrasi, tetapi juga dapat menyebabkan penurunan kualitas tidur yang lebih buruk di hari-hari berikutnya, sehingga memengaruhi kinerja akademis.

6. Mitos:
SKS membuat siswa lebih produktif

Banyak siswa berpikir bahwa SKS memungkinkan mereka memaksimalkan waktu dengan belajar terus-menerus selama beberapa jam tanpa jeda. Mereka beranggapan bahwa hal ini jadi cara paling produktif untuk belajar, karena memanfaatkan setiap menit menjelang ujian.

Fakta:

Padahal melalui penelitian dari Stanford University menunjukkan bahwa otak manusia membutuhkan istirahat secara teratur untuk memproses informasi secara efektif. Belajar tanpa henti selama berjam-jam, seperti yang terjadi dalam SKS, justru dapat menurunkan produktivitas sekaligus menyebabkan kebingungan mental.

Istirahat yang teratur, seperti teknik Pomodoro di mana seseorang belajar selama 25-30 menit dan kemudian beristirahat sejenak, telah terbukti lebih produktif dibandingkan belajar terus menerus selama berjam-jam. Tentu teknik podomoro dilakukan jauh-jauh hari menjelang ujian bukan dadakan.

7. Mitos:
SKS bisa dilakukan dengan efisien dengan cara multitasking

Beberapa pelajar beranggapan bahwa mereka bisa memaksimalkan SKS dengan cara multitasking, misalnya sambil mendengarkan musik, menonton video tutorial, atau membuka beberapa materi sekaligus. Mereka percaya bahwa cara ini membantu menyerap lebih banyak informasi dalam waktu yang singkat.

Fakta:

Multitasking dalam konteks belajar justru menurunkan fokus dan efisiensi belajar. Melansir riset dari University of London menunjukkan bahwa multitasking dapat menurunkan IQ sementara sebanyak 15 poin, karena otak manusia tidak dirancang untuk mengerjakan banyak tugas secara bersamaan.

Fokus yang terbagi justru membuat proses pembelajaran menjadi lebih lambat dan mengurangi pemahaman terhadap materi yang dipelajari.

Berdasarkan ulasan mitos dan fakta ilmiah seputas SKS, dapat disimpulkan bahwa kemampuan menyerap informasi dalam waktu singkat maupun berdampak positif pada prestasi akademis, telah terbantahkan oleh berbagai penelitian ilmiah.

Meskipun metode ini tetap populer di kalangan siswa, faktanya belajar dengan metode SKS lebih banyak memiliki efek negatif, terutama terkait dengan kesehatan mental dan fisik, serta kemampuan belajar jangka panjang. Belajar teratur, istirahat yang cukup, serta manajemen waktu yang baik adalah kunci keberhasilan dalam pendidikan.