Brilio.net - Sejumlah orang tentu sudah cukup akrab dengan Greenpeace. Dimana Greenpeace merupakan organisasi kampanye global independen yang didirikan pada 1971 di Kanada oleh Irving Stowe dan Dorothy Stowe. Organisasi ini terkenal karena aksi-aksi langsung non-kekerasan yang dilakukan untuk mengungkap dan menentang perusakan lingkungan global.

Sementara di Indonesia, Greenpeace didirikan pada 2005 dan terdaftar resmi di Departemen Kehakiman dan HAM Indonesia. Greenpeace Indonesia memiliki tujuan untuk melindungi lingkungan dan mengadvokasi perlindungan hutan, energi, air, dan kelautan. Mereka melakukan kampanye besar-besaran untuk mengatasi perubahan iklim, deforestasi, dan polusi limbah kimia industri.

Pada intinya organisasi ini bergerak dibidang yang cukup serius untuk keberlangsungan alam. Jadi sekarang kamu bisa membayangkannya, bagaimana mereka menyulap topik yang berat ini menjadi ringan dan bahkan dapat melibatkan anak-anak.

Greenpeace Indonesia sulap topik berat jadi ringan © 2024 brilio.net

foto: Brilio.net/Lola Lolita

Sebelum mengikuti kegiatan mereka, saya sempat bertanya-tanya, bagaimana pandangan mereka terhadap perubahan yang terjadi dengan mengikut sertakan anak-anak? Bagaimana mereka membahasakannya pada anak-anak? Dan masih banyak pertanyaan lain yang memblunder.

Lewat cerita dan bertemu langsung dengan sejumlah anggota Greenpeace Indonesia, penulis buku, illustrator, dan beberapa orang lainnya, membuat saya paham bagaimana mereka mengemas topik yang menjadi pembahasan orang dewasa ini menjadi cerita menarik untuk anak-anak.

Lewat "Peluncuran Seri Buku Cerita Litigasi Iklim untuk Anak-Anak" pada Sabtu (10/8) di toko Gumi, Yogyakarta, saya mewakili brilio.net belajar banyak hal. Tentunya wawasan ini sangat berharga. Siapa sangka, jika lewat buku yang dikemas ramah anak, membuat mereka bisa memahami isu global yang menjadi perdebatan sana-sini dengan mudah.

Lantaran dikemas untuk anak-anak, acara ini dibuat semenyenangkan mungkin. Dimana anak-anak diajak mendengarkan dongeng dari buku "Hutan adalah Mama" salah satu garapan Titah Asmaning Winedar atau yang akrab disapa Titah AW. Saya melihat antusias yang begitu besar ketika Julia Opki, merupakan anak muda Papua menjelaskan bagaimana kondisi alam Papua pada anak-anak. Sesekali muncul pertanyaan-pertanyaan menggelitik dari anak-anak tersebut, sehingga membuat suasana ruangan toko Gumi begitu menyenangkan.

Greenpeace Indonesia sulap topik berat jadi ringan © 2024 brilio.net

foto: Brilio.net/Lola Lolita

Keseruan anak-anak ini berlanjut, ketika mereka diberikan kesempatan untuk mewarnai. Terlihat orang tua yang mendampingi, ikut antusias ketika anak-anaknya sedang mewarnai. Suasana ini menggambarkan bahwa anak-anak senang dengan lingkungan yang mendukung mereka untuk bermain, belajar, dan diberikan kesempatan untuk mengasah kemampuan mereka.

Dari sini saya semakin paham, bagaimana teman-teman dari Greenpeace Indonesia membangun ketertarikan anak untuk mau mengenal hutan lebih jauh. Cara yang sederhana, tapi bisa jadi trik jitu untuk membangun keingintahuan anak lebih lanjut soal cara melindungi hutan.

Ngobrol bareng penulis dan ilustrator buku

Greenpeace Indonesia sulap topik berat jadi ringan © 2024 brilio.net

foto: Brilio.net/Lola Lolita

Di momen ini saya berkesempatan ngobrol langsung dengan Titah AW dan Sekar Bestari, sebagai ilustrator buku. Obrolan ini tentu merujuk pada konsep buku yang mereka garap. Titah dan Sekar bercerita bahwa proses pembuatan buku anak ini terbilang sangat cepat, dalam waktu 6 bulan mereka menyelesaikan 5 buku yang bertemakan alam atau hutan: Kelana Ke Hutan Raya, Sehari Menjadi Tim Cegah Api, Kemana Kabut Asap Pergi?, Salawaku Pelindung Hutan, dan Hutan Adalah Mama.

Mendengar mereka dapat menyelesaikan 5 buku dalam waktu 6 bulan, tentu saya terkejut. Bagaimana bisa? Gimana dengan riset dan konsep yang mereka bangun? Bagaimana Sekar Bestari membangun ilustrasi untuk setiap cerita yang dituliskan Titah AW?

Greenpeace Indonesia sulap topik berat jadi ringan © 2024 brilio.net

foto: Brilio.net/Lola Lolita

"Kita pastinya ada persiapan untuk itu, seperti bikin timeline, dalam waktu segini ada berapa buku yang harus kita selesaikan. Dan kita bekerja sama untuk menyelesaikan dan riset bareng," ujar Sekar Bestari.

Kemudian Titah menambahkan, untuk bisa merasakan kehidupan hutan, dia dan Sekar memutuskan menyambangi Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Pengalaman di sana mereka tuangkan ke dalam buku yang mereka garap. Sebagai jurnalis tentunya Titah tidak kesulitan dalam memahami isu, lantaran dirinya sudah sering menuliskan isu-isu lingkungan. Begitu juga dengan Sekar Bestari, berdasarkan hasil riset dan pengalaman, membuatnya dapat mengilustrasikan cerita dengan baik.

"Kami selama pengerjaan proses ini mungkin lebih ke pendalaman isu. Semua buku ini berbasis pada kisah nyata. Jadi kaya buku satu, Kelana Hutan Raya itu basisnya kami menggabungkan pengalaman anak-anak di hutan seluruh Indonesia. Jadi ceritanya kami gabung, ada hutan Sumatera, hutan Kalimantan, hutan Papua," ujar Titah AW.

Menciptakan buku anak-anak, ternyata Titah dan Sekar tidak hanya mendalami soal isu yang diangkat, namun mereka juga mencari tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan anak-anak, apa yang mereka sukai, dan bagaimana kita orang dewasa dapat menarik perhatian mereka.

"Saat riset itu kita sempat ngobrol-ngobrol, diskusi sama psikolog anak. Untuk mengetahui bagaimana sih berkomunikasi ke anak-anak. Kita juga banyak riset soal buku anak-anak. Kebetulan aku juga seorang ibu, jadi aku juga bisa belajar dari anakku sendiri, melihat dia mau mengonsumsi buku itu seperti apa," timpal Sekar Bestari.

Menurut Titah dan Sekar, pola pikir anak-anak dapat membuat orang dewasa kagum karena beberapa alasan penting yang terkait dengan cara mereka berpikir dan berinteraksi dengan dunia sekitar. Hal ini dapat dilihat dari anak-anak yang memiliki kemampuan kreatif luar biasa. Mereka dapat mengimajinasikan dunia yang penuh warna dan keindahan, membuat cerita yang menarik, dan menemukan solusi yang kreatif untuk masalah-masalah yang dihadapi. Kreativitas ini tidak hanya membuat mereka menarik, tetapi juga memberikan inspirasi bagi orang dewasa.

Greenpeace Indonesia sulap topik berat jadi ringan © 2024 brilio.net

foto: Brilio.net/Lola Lolita

Selama ngobrol, saya dibuat kagum dengan mereka berdua. Titah menuliskan topik berat ini menjadi lebih ringan, sementara Sekar Bestari mengilustrasikannya dengan sangat menarik, sehingga mengundang ketertarikan anak untuk membacanya.

Isu-isu berat seperti deforestasi dan kebakaran hutan yang menjadi topik panas di kalangan aktivis, pemerintah, dan beberapa petinggi negeri, diubah oleh Titah dan Sekar menjadi cerita petualangan yang menyenangkan. Sehingga anak-anak dapat memahami dengan mudah pesan tersirat dalam bacaan tersebut.

Perjalanan setiap tokoh yang dibangun, membawa anak-anak berpetualang dan merasakan permasalahan yang terjadi. Di akhir mereka dapat menyimpulkan bahwa pentingnya hutan untuk tempat tinggal bagi berbagai spesies flora dan fauna, menjaga keanekaragaman hayati, dan menjaga siklus air. Bahkan mereka bisa memahami pentingnya keberadaan hutan dalam menjaga keseimbangan iklim global.

Hal ini terbukti, ketika ditanya apa tanggapan mereka mengenai hutan, anak-anak ini serempak menjawab bahwa hutan penting bagi kehidupan. Menurut mereka, tanpa hutan kehidupan tidak dapat berjalan dengan baik.

"Kalau kita nggak punya hutan, kalau nggak ada pohon-pohon, kan pohon biasanya yang nyimpan air. Kalau nggak ada pohon, nanti kalau ada air, nggak kesimpan di tanah. Jadinya langsung datang terus bajir," ujar Apple salah satu anak yang hadir di acara tersebut.

Bercerita tentang Papua

Greenpeace Indonesia sulap topik berat jadi ringan © 2024 brilio.net

foto: Brilio.net/Lola Lolita

Seperti yang disebutkan Titah Aw, cerita yang mereka tuangkan dalam buku anak-anak ini berdasarkan kisah nyata. Salah satunya adalah Papua. Dalam momen "Peluncuran Seri Buku Cerita Litigasi Iklim untuk Anak-Anak" Greenpeace Indonesia bersama Titah AW dan Sekar Bestari mengangkat soal kehidupan Papua. Momen ini dinilai tepat karena bertepatan dengan Hari Masyarakat Adat Internasional yang jatuh pada 9 Agustus.

Lewat buku Salawaku Pelindung Hutan dan Hutan Adalah Mama, Titah berbicara mengenai kehidupan masyarakat Papua yang masih sangat erat dengan hutan. Dimana masyarakat Papua menganggap hutan sebagai "ibu" yang menaungi seluruh aktivitas mereka. Bagi mereka hutan juga merupakan warisan leluhur yang harus dijaga.

"Ada dua buku, Salawaku Pelindung Hutan dan Hutan Adalah Mama ini, kami memang fokus mengalih wahanakan kasus mengenai "All Eyes on Papua" suku Awyu. Jadi memang ceritanya dari suku Awyu, tokohnya juga terinspirasi dari suku Awyu. Kami interviewnya juga sama suku Awyu," Kata Titah AW.

Sebagai informasi, "All Eyes on Papua" adalah sebuah gerakan solidaritas yang muncul di media sosial, terutama di Instagram dan X, yang menunjukkan dukungan masyarakat terhadap perjuangan masyarakat adat di Papua.

Gerakan ini bermula dari unggahan viral di media sosial, yang berfokus pada suku Awyu dan suku Moi di Boven Digoel dan Sorong, Papua. Mereka berjuang untuk mempertahankan hutan adat mereka dari ancaman perusahaan sawit yang mengusulkan ekspansi di wilayah tersebut.

Lewat kesempatan ini lah Greenpeace Indonesia mengandalkan karya Titah AW dan Sekar Bestari untuk meningkatkan pengetahuan anak-anak tentang hutan di seluruh pelosok negeri, termasuk Papua. Bahkan mereka memberikan kesempatan pada anak-anak untuk mengenal kehidupan Papua lewat tayangan video singkat. Diceritakan bagaimana hutan menjadi tempat yang nyaman dan penting bagi orang Papua, bukan hanya sebagai sumber daya alam, tetapi juga sebagai warisan budaya dan identitas mereka sebagai bangsa yang mengampu kelestarian alam.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin juga turut mencerita mengenai kondisi terkini masyarakat Papua khususnya suku Awyu. Di mana suku Awyu mengajukan gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit untuk mempertahankan hak-hak mereka atas hutan adat.

Greenpeace Indonesia sulap topik berat jadi ringan © 2024 brilio.net

foto: Brilio.net/Lola Lolita

"Apa yang mereka perjuangkan? Yang mereka perjuangkan adalah hutan adat mereka, yang saat ini semenjak 2012 hutan adat mereka itu diserahkan, dilepaskan izinnya untuk diberikan kepada perusahaan untuk perkebunan sawit. Kenapa mereka melakukan perlawanan ataupun penolakan, karena dalam prosesnya mereka tidak pernah dilibatkan sebagai pemilik asli atau hak pemilik hutan adat. Mereka tidak dimintakan kesediaan atau kerelaannya untuk melepaskan hutan adatnya. Bahkan kalau dilihat dalam peta yang dimiliki oleh Pemda dan perusahaan, satu perkampungan bahkan tidak diakui di situ adanya marga Woro suku Awyu tersebut. Itu tandanya mereka dianggap tidak ada di dalam hutan adat tersebut. Padahal mereka sudah puluhan, ratusan tahun sudah ada di sana, dan hingga saat ini mereka lah yang menjaga hutan itu," papar Asep Komarudin.

Tentunya apa yang diceritakan Asep Komarudin ini menjadi perhatian bersama, mengingat hutan bagi masyarakat Papua merupakan sumber daya utama yang sangat penting. Mereka menggunakan hutan untuk mendapatkan makanan, air, obat-obatan, dan tempat tinggal bagi berbagai spesies flora dan fauna.

Greenpeace Indonesia sulap topik berat jadi ringan © 2024 brilio.net

foto: Brilio.net/Lola Lolita

Di akhir acara, anak-anak, orang tua, dan tamu yang hadir diajak mencicipi makanan khas Papua, yaitu Papeda yang terbuat dari sagu. Anak-anak tampak lahap menyantapnya. Di sana juga terdapat ikan bakar, yang disantap bersama dengan Papeda.

Kegiatan edukasi hutan dan lingkungan hidup pada anak-anak yang tinggal di perkotaan sangatlah penting, karena membantu mereka memahami nilai-nilai penting tentang menjaga alam dan mengembangkan rasa cinta terhadap lingkungan hidup. Lewat buku-buku cerita anak ini, mereka semakin paham akan hutan sebagai sumber daya alam yang sangat berharga yang membantu menjaga keseimbangan ekosistem dan mengatasi perubahan iklim.