Brilio.net - Masa pandemi yang belum kunjung usai menghadirkan berbagai cerita pilu dari para pengusaha. Hampir sebagian besar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang merasakan dampak dari pandemi. Mulai dari merasakan sepinya pelanggan hingga ada yang sampai gulung tikar.
Alih-alih pasrah pada situasi, beberapa pengusaha terus berjuang dengan berkreasi melakukan strategi-strategi pemasaran jitu di era pandemi. Vandycho adalah salah satu contoh di antara sosok kreatif tersebut. Bersama kedua rekannya, Wahyu Rio Purwoko dan Ivan Igo Biantoro, mereka kemudian memutar otak untuk bisa bertahan.
Mereka mencoba melihat peluang yang ada agar tetap eksis. Berawal dari meningkatnya kebutuhan Alat Pelindung Diri (APD) untuk para tenaga kesehatan (nakes), Vandycho kemudian mulai mengembangkan usaha konveksinya dengan memproduksi baju hazmat.
Vandy tak memungkiri jika baju hazmat yang dibuatnya justru memulihkan usaha konveksi yang dirintisnya pada awal 2020. Hal ini tak lain karena nakes sangat membutuhkan Alat Pelindung Diri (APD) berupa hazmat. Padahal tak banyak toko alat kesehatan yang menjual hazmat suit. Alhasil, mendorong pembeli melirik baju hazmat buatannya.
PRODUK HAZMAT SUIT ALA PIONEERS-Vandycho Hafizian (memegang hazmat putih) dan Wahyu Rio Purwoko (memegang hazmat pink) di tempat pemasaran Pioneers, Godean, Yogyakarta, foto: Brilio.net/Ferra Listianti
"Nah, pas awal Maret lalu ada berita Covid-19. Otomatis kan nggak ada acara, jadi nggak banyak yang pesen di kita. Akhirnya bingung kan, kalo konveksinya jelas mati. Makanya liat-liat di berita itu kok banyak dibutuhin hazmat. Awalnya iseng, coba bikin. Terus di-upload di Story Whatsapp, Instagram, ternyata pada mau dan banyak yang butuhin," terangnya saat dihubungi oleh brilio.net pada Rabu (9/12).
Soal pemasaran sendiri, Vandy dan kedua rekannya mengunggah lewat akun media sosial baik itu Instagram maupun Whatsapp. Mereka juga meminta bantuan kepada teman-temannya untuk mempublish hazmat suit produksi Pioneers. Tak hanya itu, pemasaran tersebut juga di bantu oleh Dr. Tirta yang mengunggah di akun Instagram-nya.
"Buat di story di Instagram dan Whatsapp, teman-teman tak suruh ngiklanin. Nah itu juga dibantu sama mas Tirta dulu itu, bantu nge-up beritanya," terang Vandy.
Kebanjiran pesanan sampai luar kota
Di situasi yang serba sulit ini membuat Vandycho dan kedua rekannya terus berfikir kreatif. Tak ingin usahanya gulung tikar begitu saja, Vandy dan kedua rekannya kemudian mencari peluang lain.
Dalam satu minggu, penjahitnya dapat memproduksi hazmat sebanyak 1.000 potong. Menggunakan bahan kain spunbond 80 gram, hazmat dari Pioneers aman digunakan dan tidak tembus air.
Mereka tidak memiliki karyawan tetap untuk menjahit baju hazmat yang dijualnya. Mereka menerapkan sistem borongan kepada penjahit yang berjumlah 29 orang. Sistem ini dilakukan karena mereka belum sanggup jika harus menggaji karyawan tetap di tengah situasi yang belum kondusif seperti saat ini.
Ditambahkan, jika memiliki karyawan tetap, mereka harus melayani permintaan barang kurang lebih 1.000 atau 2.000 potong sebulan secara stagnan. Sedangkan, mewabahnya virus corona saat ini membuat usaha mereka belum stabil. Hal tersebut yang membuat mereka akhirnya mencari alternatif lain agar tetap bisa berjalan.
SISTEM PRODUKSI- Pioneers menggunakan jasa penjahit borongan Pioneers yang memproduksi hazmat di Klaten, Jawa Tengah, foto: Brilio.net/Ferra Listianti
"Jadi kita sistemnya kontrak tempat dan borongan di Klaten (rumah produksinya) di daerah pelosok. Di situ ada sekitar 29 penjahit," terang Rio.
Namun, hal tersebut bukan menjadi halangan mereka. Terbukti, permintaan baju hazmat yang diproduksi oleh Pioneers sudah sampai ke berbagai kota di Indonesia. Seperti Bengkulu, Ngawi, Lampung, Semarang, Jakarta, hingga Papua sudah memesan produknya. Lebih jauh, konsumennya pun datang dari berbagai kalangan, nggak hanya dari rumah sakit saja.
"Banyak, nggak rumah sakit aja. Ada perusahaan besar yang pengen nyumbang baju hazmat ke puskesmas atau rumah sakit gitu beli ke kita terus disumbangkan," ucapnya.
Alhasil, usahanya mampu meraup untung Rp 100-200 juta per bulannya. Meski demikian bukan tanpa hambatan, di sisi lain mereka harus terus melayani permintaan, sedangkan bahan produksi hazmat susah didapatkan. Diungkapkan Rio, ia hanya bisa membeli 2 roll kain per harinya. Itu juga ditambah dengan antrian panjang yang mengular di toko kain.
HAZMAT SUIT PIONEERS SIAP DIDISTRIBUSIKAN-Vandycho dan Wahyu Rio dengan baju hazmat yang dibungkus plastik, siap didistribusikan, foto: Brilio.net/Ferra Listianti
"Satu roll kain itu panjangnya 100 meter, kurang lebih bisa untuk membuat baju hazmat sebanyak 40 potong," imbuhnya.
Menilik rumah pemasarannya di daerah Godean, Pioneers memajang baju hazmat dengan beragam warna seperti putih, pink hingga hijau. Menurut Rio, warna tersebut untuk variasi saja, tergantung selera pembeli dan agar tidak menimbulkan kesan horor pada APD yang identik dengan warna putih.
"Kalau warna putih, ini biasanya orang suka takut karena seolah kesannya seram. Setelah konsul ke beberapa dokter, warna nggak banyak berpengaruh. Jadi kita bikin warna pink, hijau. Kalau untuk warna kuning, kemarin udah dicoba tapi nggak laku juga warna hitam," ucapnya.
Namun, Vandycho mengaku tak hanya menjual grosiran, ia juga menjual perhelai hazmat tersebut. Untuk satu helai baju hazmat dibanderol sebesar Rp 75 ribu. Harga tersebut bisa berubah, seiring harga kain yang mengalami kenaikan maupun penurunan.
Kualitas bahan dasar baju hazmat produksinya pun tak perlu diragukan lagi. Sehingga menurut Rio, ini menjadi salah satu alasan yang membuat pembeli tak pernah komplain soal kualitas baju hazmat yang dijualnya. Justru, mereka mempercayakan produksi hazmat melalui konveksi miliknya.
Hal ini pun juga dibenarkan oleh Susiani, pembeli baju hazmat. Pada awalnya, klinik tempatnya bekerja mendapatkan donasi baju hazmat dari Pioneers lantaran di daerahnya Ngawi, Jawa Timur masih kesusahan untuk mencari jasa yang memproduksi hazmat. Lalu setelah digunakan, mereka merasa nyaman dan kemudian membeli di Pioneers.
KONSUMEN HAZMAT SUIT PIONEERS-Susiani, konsumen baju hazmat dari Klinik Merah Putih, Ngawi, Jawa Timur, foto: Brilio.net/Ferra Listianti
"Kualitas cukup bagus dari ukuran, bahan, dan harga sebanding. Soalnya jahitan juga rapi dan enak cutting modelnya, pas kalau dipakai. Jadi worth it lah," ucap petugas medis di Klinik Merah Putih, Ngawi.
Membantu sesama yang membutuhkan
Di sisi lain, Vandycho menuturkan bahwa dalam pembuatan hazmat juga dilatarbelakangi pula karena anggota keluarganya yang menjadi nakes di rumah sakit. Permintaan hazmat yang meningkat, namun kondisi di lapangan belum bisa memenuhinya. Dari situ, ia dan kedua rekannya memutuskan untuk turut membantu membagikan baju hazmat secara gratis.
BAGI-BAGI HAZMAT SUIT KE PUSKESMAS-Vandycho dan Wahyu Rio Purwoko membagikan hazmat ke Puskesmas setempat, foto: Brilio.net/Ferra Listianti
"Nah sebenarnya hazmat itu juga aku sisain, buat rumah sakit dan puskesmas yang membutuhkan. Itu pakai subsidi silang, kalau yang mampu ya beli, kalau yang nggak ya kita kasih. Kita niatnya bantu karena banyak tenaga kesehatan yang kekurangan, terus kakak saya juga tenaga kesehatan, jadi kasihan kalau nggak ada APD," imbuhnya.
Mengenai subsidi silang, Rio rekan kerja Vandy mengungkapkan, anggaran tersebut didapatkan dari keuntungan dari ongkos produksi dan penjualan hazmat. Selisih yang didapatkan tersebut lah yang nantinya digunakan untuk membagikan baju hazmat ke pelosok-pelosok Indonesia, yang belum mendapatkan distribusi hazmat dari pemerintah.
Lebih jauh, Pioneers tak hanya memproduksi hazmat semata. Kain sisa dari pembuatan pakaian hazmat rupanya tak dibuang begitu saja. Tiga pemuda yang merintis usaha sembari kuliah ini menuturkan kain tersebut masih bisa dimanfaatkan untuk membuat masker kain.
Masker tersebut kemudian dibagikan secara gratis untuk masyarakat sekitar yang masih membutuhkan dan harus bekerja di tengah pandemi. Seperti tukang becak, polisi, juga kepada instansi maupun kelembagaan yang membutuhkan.
AKSI SOSIAL-Vandycho dan Wahyu Rio Purwoko membagikan hazmat dan masker ke pihak kepolisian, foto: Brilio.net/Ferra Listianti
"Pak polisi, pak satpam, mereka masih bekerja, tukang becak. Kalau nggak keluar rumah nggak bakal makan. Kita juga bagikan ke UMY, ACT Solo, Bengkulu, Lampung, maupun ke Puskesmas," terang Rio.
Mereka tak merasa kekurangan ketika membagikan kepada sesama. Lebih jauh, mereka justru merasakan hal luar biasa yang didapatkan. Pesanan hazmat pun datang lebih banyak, tanpa mereka duga sebelumnya.
"Alhamdulillah nggak rugi. Kalau percaya invisible, ya itu kita kasih satu yang dateng malah seribu," ungkap Vandy.
Menurut Rio, untuk tetap bisa bertahan di tengah pandemi, pengusaha diharapkan harus terus berinovasi. Menambahkan, para pengusaha juga harus tetap bersemangat dan tidak lupa menyisihkan sebagian penghasilan untuk berbagai kepada sesama.
Recommended By Editor
- Wanita ini traveling ke Korea karena rajin nabung, kisahnya inspiratif
- Kisah suami istri raih kesuksesan dengan kerja keras ini bikin salut
- Berkah di balik wabah, penjual masker ini bisa raup omzet Rp 100 juta
- Ikan cupang jadi primadona di masa pandemi, pedagang raup untung besar
- Kisah kakak beradik TNI tak sengaja ketemu saat penugasan, mengharukan