Brilio.net - Mahasiswa dan deadline bisa dikatakan pasangan yang susah untuk dipisahkan. Ketika tugas bertumpuk, maka ada dua tipe mahasiswa yang muncul. Mereka yang memilih mengandalkan sistem kebut semalam (SKS) dan mereka yang lebih tenang dengan strategi "cicilan" dari awal pertemuan. Seolah hidup di dua dunia yang berbeda, keduanya punya cerita, tekanan, dan hasil yang sering kali tak terduga. Dua tipe ini bisa dibilang mewakili mayoritas mahasiswa di setiap kampus. Lalu, bagaimana mereka bertahan di tengah badai tugas?

Budaya instan di kalangan mahasiswa © 2024 brilio.net

foto: Brilio.net/Farika Maula

Tipe pertama: Sistem Kebut Semalam (SKS)

Mahasiswa yang satu ini bisa digambarkan seperti pelari sprint. Mereka diam saat start dimulai, tenang saat tugas diumumkan, tapi begitu hari H mendekat, barulah seluruh energinya meledak. Waktu yang tersisa tinggal sehari, atau bahkan beberapa jam, membuat mereka harus berjuang menyelesaikan tugas dalam semalam. Makanan favorit mereka? Kopi, tentu saja. Teman setia? Playlist lagu lo-fi dan energi yang terkuras.

Salah satu mahasiwa yang ditemui brilio.net saat mengurus sidang di kampusnya Farchan (24), mahasiswa jurusan Teknik Industri, mengakui bahwa SKS adalah andalannya sejak tahun pertama kuliah. "Saya bisa berpikir, saat deadline-nya tiba," katanya sambil tertawa kecil kepada brilio.net. "Entah kenapa, begitu deadline otak saya tiba-tiba langsung bisa berikir daripada hari sebelumnya. Tapi, itu memang karena saya banyak aktivitas di luar kampus juga sih."

Ketika ditanya bagaimana perasaannya setelah satu malam penuh belajar, Farchan hanya bisa menghela napas. "Capek sih, tapi puas. Kayak habis lari marathon. Badan lemas, mata panda, tapi tugas kelar. Hanya saja, kesehatan memang kadang jadi taruhan. Kepala pusing, badan meriang, tapi ya... tugas selesai."

SKS sering kali diandalkan karena kebiasaan menunda yang terus berulang. Namun, di balik semangat sprint dadakan ini, ada tekanan yang luar biasa besar. Bukan cuma soal otak yang dipaksa bekerja ekstra, tetapi juga soal kesehatan fisik yang terganggu akibat begadang.

Tipe kedua: Mahasiswa dengan sistem "cicilan"

Di sisi lain, ada tipe mahasiswa yang berusaha disiplin dengan konsep "sedikit-sedikit, lama-lama jadi bukit." Mereka ini bak pelari marathon yang tahu bagaimana mengatur stamina. Tugas sudah mulai dikerjakan meski deadline masih jauh di depan. Pelan tapi pasti, mereka cicil setiap harinya, dengan harapan tidak perlu begadang atau panik di malam sebelum pengumpulan.

Budaya instan di kalangan mahasiswa © 2024 brilio.net

foto: Brilio.net/Farika Maula

Mirda (21), mahasiswa jurusan Pendidikan Sosiologi, mengaku bahwa sejak awal kuliah dia lebih suka mencicil tugas. "Aku nggak bisa yang namanya kebut semalam. Nggak ada proses literasi dan diskusi," katanya sambil tersenyum kepada brilio.net. "Jadi, aku lebih suka ngerjain sedikit-sedikit tiap hari. Nggak terlalu stres, dan yang penting, kesehatan aman."

Mirdha bahkan punya trik khusus untuk tetap termotivasi dalam menyicil tugas. "Aku bikin to-do list harian. Atau cari tempat nugas yang nyaman."

Walaupun terdengar seperti metode yang lebih sehat, tak semua mahasiswa bisa konsisten seperti Mirdha. Ia sendiri mengakui bahwa butuh disiplin tinggi untuk tetap berpegang pada jadwal yang sudah dibuat. "Kadang ada rasa malas juga, tapi kalau diingat-ingat stresnya begadang, aku jadi semangat lagi buat belajar," ujarnya.

SKS vs "cicilan", mana yang lebih efektif?

Pertanyaan yang sering muncul adalah, metode mana yang lebih efektif? Tentu saja, tergantung pada masing-masing individu. Ada mahasiswa yang merasa performanya justru meningkat saat di bawah tekanan, seperti Farchan. Baginya, adrenalin semalam suntuk lebih bisa memicu produktivitas.

Namun, jika dilihat dari segi kesehatan dan hasil jangka panjang, metode "cicilan" tentu lebih ideal. Mirdha, misalnya, tak perlu merasakan kantuk berat atau kepala pusing saat hari H tiba. Tugasnya selesai dengan lebih tenang dan waktu yang lebih banyak tersisa untuk memperbaiki atau meninjau ulang. Yang terpenting baginya ada proses literasi dan diskusi.

dr. Sylvia Rachman menjelaskan kepada brilio.net, kebiasaan begadang untuk menyelesaikan tugas bisa berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental. "Ini istilah medisnya encounter for general adult medical examination without abnormal findings. Kalau dilakukan terus-menerus, ini bisa memengaruhi performa akademik jangka panjang. Jadi, saya sarankan mahasiswa untuk mulai mencicil tugas sejak awal," ungkapnya.

Namun, ia juga menambahkan bahwa setiap mahasiswa punya cara kerja yang berbeda. "Yang penting, mahasiswa harus tahu batas kemampuan tubuh mereka. Jika terlalu sering begadang, risiko kelelahan dan stres meningkat, dan ini tentu merugikan."

Menurut dr. Sylvia Rachman, sering begadang dapat menyebabkan gangguan pada irama sikardian, irama tersebut yang mengatur secara biologis untuk tidur dan bangun. Saat begadang, irama sikardian akan terganggu maka akan menimbulkan gangguan tidur. Seperti susah tidur dan pola tidur menjadi kacau.

Dokter umum ini melanjutkan, ada dampak lain yang membuat orang yang sering begadang adalah penurunan kualitas tidur. Akibatnya seseorang akan susah fokus dan mudah lelah. Kondisi ini menyebabkan kadar gula dan tensi cenderung tinggi sehingga bisa memicu terjadinya penyakit hipertensi dan diabetes. "Jadi, sebaiknya di hindari belajar hingga larut malam atau begadang," tutupnya kepada brilio.net.

Kesehatan yang jadi taruhan

Meski tampaknya SKS bisa menjadi solusi jangka pendek, dampaknya pada kesehatan tak boleh diabaikan. Banyak mahasiswa, termasuk Farchan, mengaku sering merasa kelelahan dan sakit kepala setelah begadang menyelesaikan tugas. Bahkan, ada yang mengalami gangguan pencernaan akibat terlalu banyak mengonsumsi kopi dan makanan cepat saji.

Sementara itu, mahasiswa yang memilih metode cicilan seperti Mirda umumnya lebih jarang mengalami masalah kesehatan karena tubuh mereka punya waktu istirahat yang cukup. "Aku nggak merasa harus mengorbankan tidur atau kesehatan hanya demi tugas," kata Mirda. "Toh, dengan manajemen waktu yang baik, semuanya bisa selesai tepat waktu tanpa harus begadang."

Namun, bukan berarti metode "cicilan" ini tidak punya tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah menjaga motivasi tetap tinggi dan disiplin dalam menjalankan rencana. "Sering kali ada rasa ingin menunda atau mengerjakan hal lain, apalagi kalau tugasnya terasa membosankan," ungkap Mirda.

Pada akhirnya, baik metode SKS maupun "cicilan" memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. SKS mungkin memberikan dorongan adrenalin yang mendadak, namun risiko kesehatan dan tekanan mental yang tinggi bisa menjadi bom waktu. Di sisi lain, metode "cicilan" mungkin lebih terorganisir dan sehat, tetapi membutuhkan disiplin dan motivasi yang konsisten.

Bagi mahasiswa yang masih bingung memilih cara belajar yang cocok, mungkin yang terbaik adalah mencoba menyeimbangkan keduanya. Mulai menyicil tugas lebih awal, namun tetap siaga jika deadline mendekat dan ada tugas-tugas yang belum selesai. Yang penting, jangan biarkan kesehatan jadi taruhan hanya demi posisi aman.