Brilio.net - Mahasiswa jurusan kesenian identik dengan kerja-kerja kreatif. Pasalnya, latar belakang keilmuan mereka mengharuskan karya sebagai produk utama dari tugas akhir di perkuliahan. Hal ini berlaku juga bagi mahasiswa jurusan seni rupa.

Namun begitu, mahasiswa seni rupa sering menghadapi tantangan dalam mengekspresikan kreativitas mereka sambil berusaha untuk bertahan hidup di lingkungan akademis, yang kompetitif dan seringkali terbatas secara finansial.

Salah satu cara mereka bertahan hidup dan berkembang adalah dengan membentuk geng kesenian atau kelompok kolektif seni. Hal inilah yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa seni rupa dari Institut Kesenian Yogyakarta (ISI) yang menamakan diri mereka sebagai Sekawan Project.

cerita mahasiswa seni rupa Sekawan Project Berbagai sumber

foto: Brilio.net/Ikhlas Alfaridzi

Brilio.net berkesempatan mengunjungi mereka. Di sebuah rumah kontrakan sederhana, bernama Ruang Tiga Enam Enam, mereka bercerita tentang bagaimana mereka bertahan hidup dengan cara membuat kolektif, dan kelompok kerja untuk project yang bahkan bisa menghasilkan uang.

Diva Puwan dan Denny Saiful, saling bergantian menceritakan mulai dari awal mulanya Sekawan Project ini bisa terbentuk. Kolektif ini bermula dari empat sekawan yang tinggal dalam satu rumah kontrakan pada tahun 2019.

Bermula keinginan untuk membuat ruang untuk para mahasiswa seni rupa mengembangkan karyanya, keempatnya kemudian menginisiasi kolektif ini.

"Awalnya ada Nizar, Denny, Rafi, sama Aji. Nah kemudian 2019 mereka bikin Sekawan Project, diambil dari kata bahasa Jawa 'sekawan' artinya empat merujuk ke empat orang itu. Terus, melihat urgensi-urgensi anak-anak ini butuh saling membantu dalam kekaryaan, akhirnya terbentuklah kolektif ini," kata Diva sebagai Direktur Sekawan Project kepada brilio.net, Rabu (18/9).

Denny menambahkan, alasan lain dibuatnya Sekawan Project adalah karena ingin memamerkan kembali karya-karya yang dibuat untuk tugas kuliah. Karya-karya tersebut terlihat tidak berserakan dan tidak juga tertata dengan rapi. Akhirnya, Sekawan Project jadi ruang untuk memamerkan ulang karya-karya tersebut.

"Sebenarnya itu berawal dari di tahun 2019 kita tuh sibuk nugas pas UAS semester satu. Nah di kontrakan tuh banyak karya yang berserakan. Semua tuh kayak tersebar dimana-mana. Nah daripada berantakan mending ditata aja nih. Di display aja. Terus sekalian aja gimmick nya dibuat pameran, ada tulisannya: Pameran Sementara. Nah, ternyata ada yang mengapresiasi," ujar Denny, Rabu (18/9).

cerita mahasiswa seni rupa Sekawan Project Berbagai sumber

foto: Brilio.net/Ikhlas Alfaridzi

Aksi 'merapikan kontrakan' ini ternyata mendapat respon yang baik terutama dari adik tingkat mereka. Banyak mahasiswa yang tertarik bergabung. Akhirnya, Sekawan Project berusaha mencari ruang yang lebih besar, hingga akhirnya mereka pindah di rumah yang kini jadi basecamp tetap mereka di kawasan Jomegatan, Kasihan, Bantul.

"Waktu itu sekitar 2020 akhir kita pindah ke sini (ke Ruang Tiga Enam Enam)," lanjut Denny.

Geng kesenian ini awalnya hanya berisi seniman atau orang-orang yang fokus membuat karya. Sekawan Project pun akhirnya mencoba berelasi dengan geng kesenian yang punya bidang yang fokus di wilayah manajemen seni.

"Dulu ada kolektifnya anak-anak Tata Kelola Seni yang fokus di manajemen, nah itu kita ajak kolaborasi, sharing, gitu," kata Denny.

Seiring waktu berjalan, Sekawan Project kini beranggotakan 12 orang yang terdiri dari tim manajemen, produksi, dan seniman. Sampai sekarang kolektif ini mengadakan berbagai kegiatan dari mulai presentasi karya, diskusi kekaryaan, hingga kolaborasi untuk membuat pameran dan instalasi karya seni.

Ketika ditanya modal finansial untuk menjalankan kolektif ini. Denny mengaku pendanaan Sekawan Project awalnya berasal dari iuran masing-masing anggota. Setiap anggota membayar iuran setiap ada kegiatan yang akan diadakan.

Selain itu, Sekawan Project mengaku kerap memanfaatkan pengajuan proposal agar mendapat dana dari donatur.

"Dana itu, sebenarnya ya kita ngisi iuran aja setiap mau ada project. Kalau lebih masuk tabungan, kalau habis ya iuran lagi. Tapi sebelumnya juga pernah dapat dana dari sponsor. Jadi kita bikin project terus ada yang mau nge-danain dan kita sekalian dapat fee. Nah dana itu biasanya diolah untuk project-project selanjutnya," kata Denny menerangkan.

cerita mahasiswa seni rupa Sekawan Project Berbagai sumber

foto: Sekawan Project

Kegiatan yang dinamakan Museum of Nostalgia ini juga dimanfaatkan Sekawan Project untuk berwirausaha. Dari pameran yang mereka buat, disediakan lapak oleh-oleh berupa mainan anak tradisional.

"Nah pas itu tuh laku keras. Kayak balon tiup itu semuanya terjual," ujar Denny.

Karya-karya yang dipamerkan di Museum of Nostalgia ternyata mendapat permintaan untuk dipamerkan kembali di event yang lain. Di antaranya pada kegiatan launching Sebuah stasiun TV online, dan event hari raya Natal yang diadakan Polda DIY.

"Itu semua biaya produksinya disediakan, dan kami dapat fee," jelas Denny.

Denny mengaku, geng kesenian ini ingin mengajukan dana hibah yang nilainya lebih besar. Namun, untuk merealisasikannya butuh persiapan yang matang terutama membuat Sekawan Project menjadi lembaga yang berbadan hukum.

"Sebenarnya ini tuh (mengajukan dana hibah) yang paling utama menyiapkan teman-teman dulu. Kalau mengajukan pendanaan terutama ke pemerintah itu Sekawan Project dari kolektif harus jadi lembaga yang legal berbadan hukum. Nah kita itu lagi menyiapkan itu semua sama menyiapkan portofolio," kata Denny, Rabu (18/9).

cerita mahasiswa seni rupa Sekawan Project Berbagai sumber

foto: Sekawan Project

Selain itu, Denny juga tak menampik geng kesenian yang berawal dari rumah kontrakan ini akan disiapkan menjadi kelompok kerja kesenian yang lebih profesional. Namun, dirinya tak mau terburu-buru dan memilih fokus menyiapkan sumber daya manusia yang lebih matang terlebih dahulu.

"Jadi strategi yang paling awal itu kita ngebentuk SDM dulu yang benar-benar matang. Paham lingkup kerja, sadar masing-masing plot kerjanya dimana," lanjut Denny.

Untuk sementara waktu, Sekawan Project tetap ingin jadi kolektif yang terbuka untuk semua orang, tak terkecuali orang-orang dari luar skena seni rupa. Kata Denny, Sekawan Project berusaha inklusif dan bisa dikunjungi oleh siapapun.

"Sekawan sebenarnya, kita tuh terbuka untuk siapapun. Karena mungkin orang-orang ngelihat kita kayak eksklusif sekali. Padahal kita menerima semua bentuk kolaborasi juga. Karena tagline kita 'Space for us and multidisciplinary collective' jadi main aja kesini," tandas Denny.

Ruang Tiga Enam Enam dari Sekawan Project sendiri bisa dikunjungi pada hari Selasa sampai Minggu dan buka mulai pukul 10.00-21.00 WIB.