Tetap bertahan di tengah ancaman erupsi.
Upaya budidaya yang dilakukan di sekitar Gunung Merapi ini tentu tidak lepas dari ancaman. Berjarak sekitar 5 kilometer dari kawah Gunung Merapi membuat rumah dan puluhan anggrek yang dibudidaya itu kerap jadi sasaran abu vulkanik sewaktu-waktu. Tepatnya pada erupsi besar tahun 2010 lalu, populasi anggrek lokal Merapi kembali menurun. Di antara lebih dari 90 spesies anggrek lokal Merapi, tersisa 53 spesies yang masih bisa ditemukan di hutan.
Hasil pendataan spesies tersebut dilakukan Musimin bersama Sulistyono, seorang peneliti anggrek yang berasal dari Pusat Studi Lingkungan (PSL) Universitas Sanata Dharma. Nah, dari Sulistyono juga, Musimin mulai belajar lebih dalam tentang nama ilmiah banyak spesies anggrek sekaligus cara membudidayakannya dengan lebih baik. Berbekal data tersebut, Musimin kembali mencari spesies anggrek lain yang tersisa. Pria paruh baya ini mulai menggali informasi keberadaan anggrek Vanda tricolor atau yang dikenal anggrek pandan melalui kerabat maupun warga yang tinggal di sisi barat dan timur Gunung Merapi.
Pendataan dan pencarian spesies anggrek yang dilakukan tentu membuahkan hasil. Pada tahun 2022 lalu, Musimin mencatat dan mengumpulkan 120 spesies anggrek lokal Merapi. Anggrek-anggrek ini kemudian ditangkar atau dikonservasi untuk kemudian dikembalikan ke habitatnya di hutan. Proses pengembalian anggrek seringkali dilakukan secara mandiri atau dengan sejumlah pihak, seperti BKSDA, komunitas lingkungan, atau bahkan akademisi.
foto: brilio.net/annatiqo
Namun di tengah proses pengumpulan anggrek tersebut, Musimin terus dihadapkan dengan dengan erupsi yang tak hanya mengancam populasi anggrek, namun juga keselamatan diri dan keluarganya. Pasca 2010, Merapi kembali erupsi pada tahun 2018. Walau dampaknya tidak sebesar erupsi pada tahun 2010, namun erupsi tersebut terus berlangsung secara masif hingga saat ini. Siapa sangka, Musimin punya cara tersendiri untuk tetap teguh menjalankan niat baiknya untuk terus membudidaya dan mengembalikan anggrek lokal Merapi.
"Kita kalau sudah berupaya dengan niat, ya, Insyaallah lah kita khalifatullah fil ardh (pemimpin di bumi), ya, kita jangan khawatir toh. Misalnya kita sudah berupaya seperti itu tapi yang mengatur alam, yang menciptakan, alam berkehendak lain, ya, terserah. Itu adalah kekuasaan Allah. Prinsipnya seperti itu, apalagi cuma kita menanam. Dengan nyawa manusia saja, kalau ada kehendak-Nya, mungkin berapa ribu habis, kan sudah nggak ada yang bisa protes," papar Musimin sembari sesekali menyeruput teh hangat di depannya.
Tekad Musimin untuk terus membudidaya anggrek ini semakin kuat dengan adanya dukungan dari keluarga, khususnya sang istri. Namun sedikit berbeda dengan sang suami, wanita paruh baya bernama Sarinah ini mengaku tetap memiliki kekhawatiran menghadapi kondisi Gunung Merapi yang masih sangat aktif. Sarinah memberikan jawabannya dengan santai sembari tersenyum saat ditanya tentang hal tersebut.
"Khawatir juga ada, tapi nek (kalau) saya ya sudah tak serahke (saya serahkan) Yang Maha Kuasa. Nggak di gunung saja, kan, mungkin yang di laut juga kadang musibah ada. Ya, jauh dari gunung saja ada musibah. Kalau itu tak pasrahke (saya serahkan) Yang Kuasa saja. Yang penting kita usahanya saja. Yang penting nggak usah pantang menyerah, dijalani apa adanya. Yang kita punya, kita rawat saja. Misal nanem (menanam) ya nanem saja, kita rawat, pelihara," ucap Sarinah dengan lembut.
Erupsi bukan satu-satunya ancaman.
Selain niat dan tekad, proses budidaya anggrek butuh tenaga ekstra, apalagi jumlahnya juga tidak sedikit. Sejak usahanya dilakukan pada tahun 1996 hingga green house tersebut dibangun pada 2018 lalu, Musimin mengaku hanya mengerjakan semua upaya budidaya dan konservasi anggrek dengan sang istri. Tentu perlu tekad dan ketelitian untuk merawat sejumlah anggrek dari beragam spesies. Terlebih banyak anggrek yang butuh perlakuan khusus. Misalnya, ada nggrek yang butuh banyak air atau anggrek yang tidak bisa terkena cahaya matahari dengan intensitas tinggi.
Dengan tenaga yang terbatas tersebut, proses konservasi anggrek pengembalian ke habitatnya jadi butuh waktu cukup lama. Namun Musimin mengaku tetap mengupayakan relokasi anggrek lokal Merapi ke habitatnya di hutan meskipun banyak sekali hambatan. Tak main-main, di usianya yang tak lagi muda, Musimin masih terus menyusuri hutan di sekitar Desa Turgo yang terjal, berbatu, dan licin saat musim hujan. Sembari itu, pria ini juga biasa membawa tangga setinggi 2,5-3 meter yang dipakai untuk menempelkan anggrek ke batang pohon besar berdiameter 20-30 cm.
Sayangnya, usia dan tenaga bukan satu-satunya hambatan. Kondisi cuaca juga menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi Musimin. Kepada brilio.net, dia mengaku saat musim penghujan, akses terhadap air bersih untuk menyiram anggrek justru semakin sulit. Alhasil, Musimin dibantu dengan istrinya, Sarinah, biasanya akan mengambil air dari sungai atau bahkan menampung air hujan di bak atau ember.
"Kalau pas penghujan seperti ini di tempat kami air agak sulit air dan (sinar) matahari. Kalau kemarau justru stabil," ujar Musimin yang kemudian disambung oleh Sarinah, "nek (kalau) pas mati air itu bapak itu sudah bawa-bawa tangki air segitu banyak. (Buat) Nyiram-nyiram anggrek, gitu."
Selain faktor alam dan fisik, ada juga ancaman lain yang kerap dihadapi Musimin selama membudidaya anggrek lokal Merapi. Kali ini, ancamannya berasal dari manusia. Yup! Pencurian anggrek juga pernah dialami oleh Musimin. Biasanya pencurian ini terjadi ketika anggrek sudah direlokasi di hutan.
Pada dasarnya, anggrek-anggrek yang sudah dikembalikan ke hutan memang masih diawasi selama kurang lebih 2 tahun. Namun proses pengawasan atau patroli tentu tidak bisa dilakukan setiap hari, mengingat tenaga yang terbatas dan kesibukan merawat anggrek yang ada di rumahnya. Alhasil, dengan keterbatasan tersebut, Musimin mengaku kerap kecolongan. Saat kembali dicek, tiba-tiba anggrek sudah tidak berada di pohon atau tempat asalnya ketika direlokasi.
Secercah harapan untuk terus melestarikan.
Upaya konservasi dan budidaya anggrek yang dilakukan selama dua dekade lebih tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun hingga kini, Musimin dan Sarinah tetap bertahan di atas kedua kaki mereka sendiri. Saat ditanya lebih lanjut, Musimin mengaku memang sudah kerap ditawari bantuan oleh banyak pihak dengan nominal yang besar, misalnya untuk biaya perawatan atau pembangunan green house (rumah kaca). Namun dia selalu menolak karena upaya konservasi yang dilakukan tidak ingin ditunggangi atau kemudian tertutupi oleh kepentingan pihak lain, sehingga aktivitasnya pun tetap murni untuk kelestarian anggrek.
"Kalau memang berniat konservasi, kita jangan terlalu memikirkan pengeluaran dana. Kita ada kemauan dan Insyaallah berharap ada sesuatu nilai atau manfaat yang sangat berguna skala umum, baik itu dalam kehidupan makhluk hidup maupun di hilirnya," ujar pria berambut putih ini.
foto: brilio.net/annatiqo
Selain tawaran tersebut, Musimin juga mengaku sering didatangi oleh banyak orang yang hendak membeli anggrek langka walau dengan harga fantastis. Sekalipun tawaran itu datang dari dosen ataupun akademisi, namun jika anggrek yang hendak dibeli akan disilangkan demi kesenangan pribadi, Musimin tetap menolak. Karena bagi dia, anggrek yang asli atau original dari alam memiliki nilai yang jauh tak terhingga, khususnya untuk kelestarian dan keanekaragaman hayati.
"Banyak menyepelekan hal yang kecil, demikian juga tumbuhan yang kecil itu asli masih benar-benar original dari Allah kadang-kadang dia singkirkan, dia lebih suka yang telah diotak-atik manusia, dia sudah disilang-silang. Walaupun dia dosen, guru besar, atau profesor doktor, tapi ke sini mau menyilangkan anggrek dengan tangan manusia, maka 'Anda salah alamat', saya sering begitu," pungkas Musimin.
Pada dasarnya, menjaga anggrek spesies atau sebutan untuk anggrek asli agar tetap berada di hutan bisa menurunkan risiko kepunahannya. Apalagi kini, anggrek lokal Merapi juga kerap mendapat ancaman kepunahan lain berupa erupsi, pencurian, hingga alih fungsi hutan. Oleh sebab itu, meminimalisir adanya persilangan hanya untuk kesenangan pribadi menjadi hal yang penting bagi Musimin. Dengan begitu, generasi mendatang bisa terus melihat anggrek asli seperti Vanda tricolor di habitatnya.
Memenuhi kebutuhan harian dengan membuka kedai kopi dan menjual hasil bumi.
foto: brilio.net/annatiqo
Di luar ideologinya tentang pelestarian anggrek tersebut, Musimin dan Sarinah tetap harus memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Alih-alih menjual anggrek secara bebas, suami-istri ini memilih untuk membuka kedai kopi di depan rumahnya. Tepatnya bersebelahan dengan green house di halaman rumah, terdapat rumah kayu kedai sederhana dengan beberapa meja dan kursi. Ada juga dapur kecil di bagian depan yang dipakai untuk meracik minuman hangat.
Di kedai ini, Musimin dan Sarinah biasa menjual hasil bumi dari kebun mereka sendiri, seperti kopi, teh, jahe, atau keladi (talas). Semua proses produksi juga dilakukan sendiri. Mulai dari mengeringkan dan menggiling biji kopi, hingga memetik dan mengeringkan daun teh. Sedangkan keladi diambil umbinya dan diolah jadi keripik. Nah, produk-produk inilah yang kemudian dijual di kedai atau ke orang yang memesan secara pribadi ke Sarinah.
"Ya alhamdulillah, menurut saya cukup saja, dianggap cukup. Nggak ingin yang nyari-nyari lagi. Bersyukur, kadang kalau lihat-lihat orang di luar sana yang ada di bawah kita masih banyak. Ya, kita syukuri lah sudah diberi kesehatan. Jadi senang jalaninnya, mengalir saja, jalanin," ujar Sarinah.
Recommended By Editor
- Cerita WNI jadi guru ngaji di Jepang ini banjir sorotan, dapat banyak murid dari bocah hingga lansia
- Cerita Risa dan Gram dirikan pasar artisan campur budaya, ajak masyarakat kota hidup minim sampah
- Cerita bocah 11 tahun yang tulis 37 buku dalam bahasa Inggris, dapat royalti Rp 20 juta di usia belia
- Bercocok tanam, tren baru percantik rumah selama pandemi corona
- 9 Cara merawat bunga anggrek agar tumbuh subur dan cepat berbunga