Brilio.net - Semilir angin menghembus pelan pada Selasa malam, 13 Agustus 2024. Saat itu jarum jam sudah mendekati pukul 21.00 WIB. Saat waktu menunjukkan jam tidur, Rubianto (56) masih berkutat dengan rompi oranye dan tongkat yang menyinari cahaya merah untuk mengatur lalu lintas. Orang-orang sering menyebut pekerjaan yang dijalani Rubianto dengan istilah Pak Ogah.
Istilah Pak Ogah ini berasal dari peran film seri televisi boneka yang sempat eksis, yakni “Si Unyil”. Dalam film tersebut, Pak Ogah selalu berkata “bagi cepek dulu dong” ke setiap orang yang telah ditolongnya. Dari situlah sebutan Pak Ogah lengket dengan mereka yang menertibkan lalu lintas secara tidak resmi ini, karena dianggap mengharap uang receh dari pengguna jalan.
Gerakan tangannya begitu cepat, ia tampak telaten membuat jalan di ujung utara Gejayan menjadi tertib. Sesekali, ada pengendara mobil maupun motor menjulurkan tangan dengan maksud memberi uang. Tak banyak, sekitar Rp1.000 sampai Rp2.000 sudah membuat Rubianto bersyukur.
Ditemani dengan angin muson dari Australia, saya dan Rubianto berbincang terkait awal mula ia bisa terjun menjadi Pak Ogah. Awalnya, sekitar 10 tahun lalu ia hanya bermaksud mengatur lalu lintas sekitar rumah karena ada acara di gereja. Malam itu tepat dengan perayaan Natal yang membuat padat kendaraan jadi meningkat.
Rubianto sendiri memeluk agama Islam. Hanya saja, ia ingin membantu sebagai bentuk toleransi dan jadi sukarelawan. Ayah dari dua anak ini mengaku melakukannya tanpa mengharap balasan sama sekali.
“Awal mulanya itu, waktu itu kan ada acara gereja ini. Kan padat kendaraan sampai terjadi kemacetan. Atas inisiatif saya sendiri, karena jiwa sukarelawan. Itu akhirnya saya turun ke jalan. Alhamdulillah waktu itu bisa teratasi nggak terjadi kemacetan,” kata Subianto kepada brilio.net dalam wawancara pada Selasa (13/8).
Pandemi Covid-19 dan sebungkus es teh manis, membawanya jadi Pak Ogah
Selepas acara, pihak gereja ternyata menyadari ada sosok yang membantu kelancaran acara mereka. Karena itu, mereka berusaha mencari tahu siapa yang dengan rela mengatur lalu lintas di sekitar gereja. Beberapa orang ditanyai, semuanya sepakat menjawab dengan satu nama, Rubianto.
Karena kebaikannya itu, setiap kali gereja punya acara, Rubianto pasti selalu dimintai tolong. Meski tak mengharap imbalan, pihak gereja tetap memberikan amplop sebagai tanda ucapan terima kasih. Rubianto melakukan simbiosis mutualisme ini bertahun-tahun lamanya.
“Kalau yang diminta, asalkan saya itu ada kemampuan, ada waktu, saya bantu, kan gitu. Akhirnya mulai dari itu, setiap kali ada event, yang paling rame yang jelas, ya. Itu pihak gereja itu nemui saya di rumah,” katanya sambil menghisap rokok, lalu menawarkan kepada saya.
foto: brilio.net/Muhammad Rizki Yusrial
Sebenarnya, Rubianto sendiri bukanlah seorang pengangguran. Ia punya usaha pembuatan dan servis pagar. Dari usaha itulah ia bisa menghidupi keluarganya. Mengatur lalu lintas, hanya ketika gereja ada acara saja.
Namun sayang, ekonomi dunia begitu babak belur ketika dilanda pandemi Covid-19. Begitu juga Rubianto yang terkena imbasnya. Pesanan semakin sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Akibatnya, pada 2020 Rubianto harus pasrah dan dengan berat hati menutup usahanya.
Pria paruh baya ini ingat betul pada suatu malam, anaknya yang masih kelas 5 SD menangis sejadi-jadinya hanya karena meminta sebungkus es teh manis. Saat itu, kantong Rubianto tak punya sepeserpun uang. Karena ia harus menjadi ayah yang bertanggung jawab, Rubianto memilih keluar rumah mencari uang, entah bagaimanapun caranya.
Ia bertemu dengan seorang pria bernama Sator. Ketika itu, Sator tengah sibuk menjadi Pak Ogah sendirian. Dengan kerendahan hati, Rubianto meminta tolong kepada Sator untuk bekerja bersama menertibkan jalanan. Akhirnya dari uang itulah ia bisa menuruti permintaan sang anak.
“Anakku nangis pengen ngomong teh manis. Kenapa aku gak punya uang untuk beli? Karena kena dampak itu (pandemi Covid-19),” imbuhnya.
Di hari-hari setelahnya, Rubianto rutin menjadi Pak Ogah. Tempatnya mangkal saat itu sudah diisi oleh 7 orang secara bergantian. Mereka mengatur shift dalam sehari agar tidak benturan. Rubianto sendiri dapat jadwal jaga pada malam hari. Baik rompi, tongkat, pluit dan peralatan lainnya, Rubianto membelinya dengan modal sendiri.
Tak pernah lama, pria itu mengaku hanya menjadi Pak Ogah sejam dalam sehari, sekitar jam 20.00-21.00 WIB. Ketika lalu lintas sudah sepi, ia memilih untuk pulang ke rumah yang tak jauh dari lokasinya mengatur jalanan.
Namun, ia tetap membawa prinsip sukarelawan. Ia sama sekali tak memaksa pengendara untuk memberinya uang. Dalam sehari, Rubianto mengaku paling mendapat Rp10.000-30.000. Meski tidak banyak, uang tersebut cukup untuk menutupi kebutuhannya. Terlebih, Rubianto saat siang juga bekerja sebagai buruh harian lepas.
“Sebagai buruh harian lepas, mas. Buruh harian lepas. Dalam arti seandainya ada yang nyuruh, ya kerja. Kalau gak ada yang nyuruh, ya gak ada pemasukan. Nah, itu aja kalau saya,” imbuhnya.
Mulyadi, jadi Pak Ogah sejak 1990 bisa antarkan anak hingga sarjana
foto: brilio.net/Muhammad Rizki Yusrial
Setali tiga uang dengan Rubianto, Mulyadi (51) juga mengais rezeki menjadi Pak Ogah. Setamat sekolah SMP di Boyolali, Ia langsung memilih merantau ke Jakarta. Bahkan saat itu, istilah Pak Ogah belum dikenal, Mulyadi sudah aktif menertibkan lalu lintas.
Mulyadi mengaku, saat itu tak punya spesifikasi pendidikan yang memadai. Karena itu, sulit baginya untuk mencari pekerjaan formal. Terlebih, Mulyadi sendiri tak punya kemampuan khusus. Hal tersebut membawanya mengadu nasib di jalanan.
“Sudah nasib di jalanan mas. Saya cuma tamatan SMP, nggak punya kemampuan juga. Jadi ya terpaksa begini,” katanya.
Sejak saat itu, Pak Ogah menjadi pekerjaan utamanya. Hampir dua dekade menetap di ibu kota, ia harus pindah ke Yogyakarta karena mengikuti keinginan istri. Meski pindah, ia juga tetap bekerja untuk menertibkan lalu lintas. Saat itu saya menemuinya tidak jauh dari Ambarukmo Plaza di jalur putar balik.
“Saya jadi Pak Ogah dari Ambarukmo Plaza buka. Sudah berapa tahun ya, lama mas pokoknya,” ujarnya.
Dalam sehari, ia hanya bekerja selama tiga jam, paling sering ketika jam 16.00-19.00 WIB. Di waktu itu, lalu lintas sedang padat-padatnya, terlebih merupakan waktu pekerja pulang dari kantor. Saya menghitung selama manual, dalam semenit, paling tidak ada sekitar 40 kendaraan yang ingin memutar balik. Dari kendaraan tersebut, sekitar 10 di antaranya memberi uang kepada Mulyadi.
Namun, perkara penghasilan, sepertinya Mulyadi punya nasib yang sedikit lebih baik. Dalam waktu 3 jam itu, ia mengaku bisa mendapat uang sebanyak Rp100-120 ribu. Uang tersebutlah yang digunakan untuk menghidupi anak dan istrinya.
“Ini kan banyak orang ya, nanti gantian sekitar dua jam sekali. Ada yang tiga jam. Saya tiga jam,” imbuh Mulyadi.
“Penghasilan tergantung hari mas. Hari Senin sampai Jumat itu ya Rp100-120 itu dapat. Bisa buat untuk kebutuhan rumah,” ungkapnya.
foto: brilio.net/Muhammad Rizki Yusrial
Pekerjaan yang berbekal alat bendera itu tak cuma mampu menghidupi keluarga. Bahkan Mulyadi mampu menyekolahkan anaknya hingga sarjana. Saat ini, ia punya 3 orang anak dan dua orang cucu, belum ada tanda-tandanya pensiun dalam melakoni profesi sebagai Pak Ogah.
Sama seperti Rubianto, Mulyadi juga mengungkapkan banyaknya Pak Ogah saat ini karena sulitnya mencari uang. Ia mengatakan teman-temannya saat ini datang ada yang diajak atau juga datang sendiri sambil mengatakan ingin mengais rezeki.
“Ada yang datang sendiri, ada yang ngomong, ada yang nimbrung gitu lho, apa itu namanya? Minta buat cari rezeki, buat makan. Oh, iya. Gak apa-apa,” kata Mulyadi.
Pak Ogah kadang dianggap mengganggu
Baik Mulyadi maupun Rubianto sama-sama mengakui bahwa pekerjaan mereka tidaklah resmi. Namun Mulyadi mengaku polisi tidak pernah mempermasalahkan caranya mencari uang. Padahal Polsek Depok, Sleman terletak hanya beberapa meter dari tempatnya mangkal.
“Kata pak polisi nggak papa gitu, pesan polisi hati-hati. Jangan sampai ada apa-apa, gitu,” ungkapnya.
foto: brilio.net/Muhammad Rizki Yusrial
Begitu juga dengan Rubianto, ia mengatakan polisi membolehkan perilaku Pak Ogah. Hanya saja, polisi berpesan kepadanya agar tidak terjadi kemacetan di jalur utama. Karena jika hal itu terjadi, maka polisi juga yang nantinya akan repot.
“Alhamdulillah, Pak, saya ada kepercayaan dari pihak kepolisian, dia cuma pesan, yang penting, jalur utama itu harus lancar. Jangan sampai terjadi kemacetan,” ujar Rubanto.
Pada dasarnya, banyak yang merasa terbantu dengan keberadaan Pak Ogah. Namun ada juga yang ternyata merasa terganggu. Tindakan mengatur lalu lintas tersebut pada dasarnya melanggar pasal 28 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa setiap orang tidak diperbolehkan melakukan tindakan yang bisa menyebabkan kerusakan atau gangguan pada fungsi jalan. Selain itu, setiap orang juga dilarang melakukan tindakan yang dapat mengganggu fungsi perlengkapan jalan, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang yang sama.
Di Jakarta sendiri, secara gamblang Pemerintah Daerah melarang keras tindakan tersebut melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Karena itu, Satpol PP Jakarta Barat baru-baru ini gencar merazia dan menangkap orang-orang yang bekerja sebagai Pak Ogah.
"Penjangkauan kepada saudara-saudara kita yang melakukan pelanggaran Perda 8 Tahun 2007," kata Kasatpol PP Jakarta Barat (Jakbar) Agus Irwanto dilansir dari Antara.
Sementara di Surakarta, Pak Ogah punya sebutan sendiri. Warga kampung Presiden Jokowi itu tidak asing dengan Supeltas, yang merupakan akronim dari Sukarelawan Pengatur Lalu Lintas. Berbeda dengan Pak Ogah yang tidak resmi, organisasi ini dibentuk secara sah dan bekerja sama dengan kepolisian, terutama Satuan Lalu Lintas (SATLANTAS).
foto: brilio/Muhammad Rizki Yusrial
Karena tidak resmi, tentu Pak Ogah dimanapun rentan untuk ditertibkan. Menanggapi hal tersebut, Mulyadi mengatakan hal tersebut tidak sebaiknya dilakukan. Sebab, ia merasa menolong pengguna jalan bukan justru merusak lalu lintas. Selain itu, ia juga tak pernah bikin onar.
“Biasanya ada yang tak mau diatur itu ya saya ngalah aja mas. Kita tidak mau cari ribut,” ujar Mulyadi.
Selain itu, ia tentu mengaku akan begitu sedih jika memang pemerintah melakukan penertiban Pak Ogah di Yogyakarta. Sampai saat ini, pekerjaan itu masih menjadi satu-satunya pekerjaan baginya. Ia merasa bingung nanti untuk memberi makan istri jika kehilangan pekerjaan.
“Sedih banget mas, mau gimana lagi, anak istri makannya dari sini,” Katanya.
Kali ini tidak sama persis, Rubianto justru punya pendapat yang berbeda. Ia mengaku tidak mempersoalkan jika pemerintah tidak membolehkannya menjadi Pak Ogah. Namun, ia memberi syarat agar tanpa kehadirannya lalu lintas bisa menjadi tertib.
“Kalau saya tidak masalah mas, saya tidak sedih. Tapi harus konsekuen. Seandainya saya tidak boleh lagi mereka harus menertibkan jalan. Yang menyebrang harus ditertibkan juga dalam arti harus ngatur,” ujarnya.
“Karena prinsip utama saya ini bukan mencari uang, tapi mengutamakan keselamatan pengguna jalan dan kelancaran mas,” pungkas Rubianto.
Recommended By Editor
- Bermodal Rp37 ribu dan kreativitas, anak SD ini sukses dirikan UMKM aksesori beromset jutaan rupiah
- Belajar mengenal luka diri dari Mawar Firdausi, ibu dengan anak ADHD yang kisahnya menginspirasi
- Kisah Ahmad Junaedi, pria difabel sukarela atur lalu lintas
- Ini alasan mengapa pengatur jalan tak resmi disebut 'Pak Ogah'
- Kisah Rinto, penggerak kopi di Kaliangkrik yang bantu para petani menjual hingga mancanegara