Brilio.net - Semenjak Kemendikbud resmi hapus jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat SMA, banyak murid yang seolah berada di persimpangan jalan. Kemendikbud menyebut, kebijakan ini merupakan implementasi dari Kurikulum Merdeka yang diberlakukan di tahun ajaran baru 2024/2025. 

Menurut kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Anindito Aditomo, menjelaskan salah satu perubahan dalam Kurikulum Merdeka adalah tidak ada lagi jurusan IPS, IPA dan Bahasa di Sekolah Menengah Atas (SMA). Anindito menyebut jika peniadaan jurusan di SMA sudah diterapkan secara bertahap sejak tahun 2021.

Para pelajar SMA ini diselimuti kebingungan dengan regulasi pendidikan. Bayangkan kamu sedang berada di sebuah taman bermain raksasa dengan berbagai wahana, masing-masing menawarkan sensasi yang berbeda. Namun, yang jadi pertanyaan besar, wahana mana yang harus dipilih? Di sinilah letak permasalahannya. Kebebasan yang ditawarkan oleh Kurikulum Merdeka bukan hanya sekadar memberikan lebih banyak pilihan, tetapi juga membawa tantangan baru bagi siswa dalam menentukan arah masa depannya.

Banyak siswa merasa kebingungan dengan berbagai pilihan jurusan yang ditawarkan di Kurikulum Merdeka. Sebagai contoh, Andini, pelajar kelas 10 di salah satu SMA di Yogyakarta, menganalogikan kebebasan memilih jurusan ini seperti berada di restoran dengan menu yang sangat banyak. "Kadang bingung harus pilih yang mana katanya kan semua penting ya," ungkapnya kepada brilio.net di samping ruang guru sambil tertawa. Meski terdengar sepele, kebebasan memilih jurusan di Kurikulum Merdeka ternyata membawa dilema bagi sebagian pelajar. Mereka merasa harus memikirkan lebih matang tentang jurusan yang akan dipilih, karena dampaknya bisa sangat besar bagi masa depan mereka.

Curahan pelajar di tengah kebebasan memilih jurusan © 2024 brilio.net

foto: Brilio.net/Farika Maula 

Dalam Kurikulum Merdeka, para pelajar ini diberi kebebasan untuk memilih pelajaran sesuai minat mereka sejak kelas 10, mirip dengan memilih tiket perjalanan menuju masa depan. Fenomena ini memang memberi ruang lebih bagi siswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka, tetapi bagi beberapa siswa, kebebasan ini justru menjadi tekanan. Mereka khawatir salah pilih jurusan yang bisa membuat masa depan mereka 'tersesat'. Christi, siswa kelas 11, mengaku, "Saya juga masih bingung, tapi yaudah dijalani dulu. Sejauh ini belum ada kesulitan untuk mengerjakan tugas," ungapnya pada brilio.net di halaman sekolahnya.

Bagi beberapa pelajar, Kurikulum Merdeka kadang seperti mencari harta karun di tengah hutan. Para pelajar ini harus menebak-nebak arah yang harus diambil. Banyak yang pada awalnya memilih jurusan hanya berdasarkan insting atau tren tanpa benar-benar tahu apa yang mereka sukai. Namun, seiring waktu, beberapa di antara mereka mulai menemukan apa yang benar-benar mereka minati.

Arnanda, siswa kelas 11, bercerita bahwa awalnya ia memilih jurusan sains karena merasa lebih "aman" dan dianggap bergengsi oleh keluarganya. Namun, setelah beberapa bulan, dia menyadari bahwa minatnya sebenarnya lebih pada seni dan desain. "Awalnya, saya merasa tersesat di jurusan sains. Tapi setelah mencoba pelajaran tambahan di seni, saya menemukan passion saya. Meskipun sedikit terlambat, saya senang Kurikulum Merdeka memberikan kesempatan untuk mengubah arah," katanya penuh semangat.

Guru bukan hanya sebagai pengajar, tapi juga fasilitator

Jika pelajar adalah pengendara yang mencoba menavigasi jalan-jalan baru dalam Kurikulum Merdeka, maka guru adalah penunjuk arah yang diharapkan bisa memberikan panduan yang tepat. Namun, tidak semua guru merasa siap untuk mengemban peran ini. Bagi mereka, kebebasan yang diberikan oleh Kurikulum Merdeka kepada pelajar adalah tantangan tersendiri. Guru dituntut untuk lebih fleksibel, menjadi fasilitator yang mendampingi proses belajar siswa, bukan lagi sekadar pengajar yang menyampaikan materi dari buku teks.

"Sejatinya dalam kurikulum ini siswa diberi kebebasan. Tetapi kami sebagai guru merasa tanggung jawab semakin besar untuk memastikan mereka tidak salah arah," ungkap Pak Rudi kepada brilio.net, salah satu guru biologi SMA di Yogyakarta. Adanya kurikulum ini dinilai semakin rumit dengan adanya tuntutan administratif yang juga meningkat. Guru tidak hanya bertugas mengajar, tetapi juga harus mengisi berbagai laporan dan dokumen penilaian kompetensi siswa yang lebih kompleks.

Fleksibilitas yang membingungkan

Sementara kebebasan dalam Kurikulum Merdeka dianggap sebagai angin segar, tidak semua siswa merasakan hal yang sama. Bagi sebagian besar siswa, fleksibilitas ini malah membuat mereka bingung dan tidak fokus. Tiara, Pelajar SMA di Yogyakarta, mengaku bahwa ia dan teman-temannya sering merasa kewalahan dengan berbagai pilihan pelajaran yang bisa diambil. "Karena sekarang beabas nentuin sendiri. Kita malah bingung mana yang cocok buat kita," ujarnya kepada brilio.net sambil menunggu jemputan orang tua.

Curahan pelajar di tengah kebebasan memilih jurusan © 2024 brilio.net

foto: Brilio.net/Farika Maula 

Banyak siswa yang merasa kebebasan ini menuntut mereka untuk menjadi lebih dewasa dalam mengambil keputusan. Padahal, pada usia remaja, mereka masih sering berubah-ubah minat dan tujuan. Hal ini membuat beberapa siswa merasa terbebani untuk memikirkan pilihan yang terlalu cepat. "Saya masih belum yakin mau jadi apa, tapi sudah harus menentukan arah sejak sekarang," keluh Arya, siswa kelas 10 yang baru beberapa bulan masuk SMA.

Kebebasan yang menantang kreativitas

Di sisi lain, ada pula pelajar yang merasa sangat terbantu dengan adanya kebebasan dalam Kurikulum Merdeka. Mereka melihat kebebasan ini sebagai ladang untuk menumbuhkan kreativitas dan mengejar passion yang selama ini terpendam. Rizky, siswa kelas 11 yang mengambil jurusan ilmu sosial, merasa senang karena ia bisa mengombinasikan pelajaran seni rupa dengan sosiologi. "Saya jadi lebih bebas berekspresi, bahkan di luar kelas. Kurikulum ini seperti taman bermain yang seru kalau kita tahu cara menikmatinya," katanya sambil menunjukkan beberapa hasil karya lukisannya yang terinspirasi dari pelajaran sosiologi.

Kebebasan yang ditawarkan oleh Kurikulum Merdeka memang membuka ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi lebih dalam. Namun, kebebasan ini juga butuh pendampingan yang lebih dari guru dan orang tua agar siswa tidak merasa kehilangan arah di tengah kebebasan tersebut.

Kritik dan tantangan untuk masa depan

Curahan pelajar di tengah kebebasan memilih jurusan © 2024 brilio.net

foto: Brilio.net/Farika Maula 

Meskipun banyak siswa yang menyambut positif Kurikulum Merdeka, kritik tetap muncul, terutama dari mereka yang merasa kebebasan ini malah membingungkan. Banyak pelajar yang merasa bahwa kebebasan yang diberikan belum diimbangi dengan bimbingan yang memadai. Selain itu, tidak semua sekolah siap dengan perubahan ini, terutama dalam hal infrastruktur dan sumber daya pengajaran.

Bagi banyak siswa, Kurikulum Merdeka adalah seperti memegang kendali penuh atas kapal mereka sendiri di tengah lautan luas. Namun, kapal ini masih perlu arahan yang jelas agar tidak tersesat di tengah ombak kebingungan. Sebagai sebuah inovasi besar dalam pendidikan, Kurikulum Merdeka tentu masih dalam tahap adaptasi. Bagaimana kurikulum ini akan membentuk generasi masa depan masih menjadi teka-teki yang akan terjawab seiring waktu.

Pada akhirnya, para pelajar saat ini berada di persimpangan jalan yang penuh dengan pilihan. Kebebasan yang ditawarkan oleh Kurikulum Merdeka adalah peluang sekaligus tantangan. Bagaimana mereka menavigasi kebebasan ini, serta bagaimana guru dan sekolah mendampingi mereka, akan menentukan apakah mereka bisa mencapai tujuan dengan lancar atau malah tersesat di tengah jalan.