Brilio.net - Dalam dunia pendidikan, istilah bullying kian mencuat, terutama di lingkungan pesantren. Setiap kasus sering kali memicu reaksi cepat untuk menyalahkan guru dan pengasuh. Namun, penting untuk menggali lebih dalam dan memahami bahwa peran orang tua tak kalah penting dalam membentuk karakter santri. Layaknya pohon yang tumbuh, akar yang kuat dari sebuah keluarga dapat mencegah kerusakan yang diakibatkan oleh angin kencang.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada tujuh kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan pondok pesantren (ponpes) selama periode Januari-September 2024. KPAI mendorong agar setiap ponpes memiliki tim pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak.

Penanganan kasus ini mengacu pada UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menjunjung tinggi asas perlindungan, keadilan, nondiskriminasi, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan dan pembimbingan anak, dan penghindaran pembalasan. Bagi keluarga korban, harus dipastikan terpenuhinya pendampingan psikologis, pendampingan hukum, dan lainnya.

Kekerasan dalam bentuk apapun, perundungan atau bullying bukanlah fenomena yang muncul tanpa sebab. Pesantren dengan segala dinamikanya menjadi tempat anak-anak berinteraksi. Seperti pertemuan dua aliran sungai, terkadang arus yang berbeda dapat menimbulkan konflik.

Setiap santri membawa latar belakang yang unik. Ketika berhadapan dengan pergaulan yang baru, ada kemungkinan perbedaan menjadi sumber konflik. Jika orang tua tak berperan aktif dalam membentuk sikap empati, maka lingkungan pesantren bisa menjadi ladang subur bagi perilaku bullying.

Kepada brilio.net Ubaidilillah Fatawi, Kepala Sekolah SMA dan Pesantren Bumi Cendekia berbagi pandangan mengenai pentingnya peran orang tua dalam mencegah bullying di pesantren. Dalam pembicaraan yang hangat dan mendalam, ia menjelaskan bahwa hubungan antara orang tua dan anak sangat krusial.

"Untuk memilih pesantren yang aman, orang tua perlu memastikan bahwa pesantren tersebut tidak memutuskan hubungan antara mereka dan anak-anak. Kepengasuhan bersama antara orang tua dan pendidik sangat diperlukan," ujarnya kepada brilio.net.

Ia menggambarkan bagaimana ketidakhadiran komunikasi yang baik dapat membuat anak rentan terhadap bullying. Ketika hubungan ini terputus, anak tidak memiliki saluran untuk melapor jika mereka mengalami masalah. Menurutnya, penting bagi orang tua untuk bertanya tentang mekanisme penanganan dan pengawasan kasus bullying di pesantren.

"Jika pesantren sudah memiliki sistem yang jelas, setidaknya orang tua dapat merasa tenang, karena ada rencana yang sudah disusun untuk melindungi anak-anak," ujarnya kepada brilio.net.

Orang tua memiliki tanggung jawab besar dalam mencegah perilaku negatif ini. Beberapa langkah konkret yang bisa diambil antara lain:

1. Membangun Jembatan Komunikasi

Orang tua seharusnya menjadi pendengar yang baik. Menggali cerita santri tentang pengalamannya di pesantren seperti merawat tanaman; perlu perhatian agar tumbuh dengan baik. Dengan membangun komunikasi terbuka, anak akan merasa nyaman untuk berbagi, mengurangi kemungkinan terjadinya bullying.

2. Menanamkan Nilai-Nilai Empati

Sejak dini, anak perlu diajarkan nilai empati. Layaknya menanam benih, jika dikelola dengan baik, akan tumbuh menjadi pohon yang kokoh. Mengajarkan anak untuk memahami perasaan orang lain dapat menciptakan suasana yang lebih harmonis.

Alissa Wahid, Koordinator Jaringan GUSDURIAN, menegaskan, orang tua menjadi garda terdapan dalam pengasuhan anak.

"Independensi pesantren seharusnya tidak menghalangi peran orang tua dalam membimbing anak mereka," ujarnya kepada brilio.net di Simposium Pesantren 2024 (8/9).

3. Aktif Terlibat di Pesantren

Keterlibatan orang tua dalam kegiatan pesantren sangat penting. Dengan menghadiri pertemuan atau acara, orang tua tidak hanya mendapatkan informasi, tetapi juga menunjukkan kepada anak bahwa pendidikan mereka sangat diperhatikan. Keterlibatan ini dapat menjadi tameng dari potensi masalah yang muncul.

4. Memberikan Kontak Darurat

Orang tua perlu menyediakan saluran komunikasi yang mudah diakses oleh anak. Seperti sebuah jaring yang menahan jatuhnya burung, kontak darurat memberikan rasa aman ketika anak menghadapi masalah. Jika terjadi bullying, anak harus merasa memiliki dukungan untuk melapor tanpa rasa takut.

5. Menciptakan Lingkungan Positif di Rumah

Keluarga menjadi benteng pertama dalam pembentukan karakter. Dengan menjadikan rumah sebagai tempat aman, di mana saling menghargai dan mendukung adalah norma, anak akan lebih mampu mengekspresikan diri secara positif di luar rumah. Keluarga yang harmonis dapat menjadi teladan bagi anak untuk tidak melakukan bullying.

Jika bullying sudah terjadi, langkah orang tua sangat penting dalam menangani situasi tersebut. Ketika anak merasa terancam, dukungan dari orang tua bisa menjadi lentera di tengah kegelapan. Dengan mendengarkan tanpa menghakimi, orang tua dapat memberikan rasa aman yang diperlukan.

Komunikasi dengan pihak pesantren juga menjadi kunci. Zuhdi Muhdlor, Ketua Tanfidziyah PWNU DIY, menekankan pentingnya memperhatikan reputasi pesantren dan latar belakang keilmuan para kyai yang mengasuhnya. Ia menjelaskan bahwa bullying sering kali tidak terduga dan bisa terjadi bahkan di pesantren yang kurang dikenal.

"Yang pertama tentu kita lihat dulu reputasi pesantren itu kemudian nasab keilmuan dari para kyai yang mengasuh pesantren. Bullying itu tidak terduga sebelumnya karena itu bisa terjadi pada pesantren yang meskipun tidak ada reputasi tapi kan kadang terjadi karena faktor pergaulan anak-anak, pengawasan yang kurang dan sebagainya," ujarnya kepada brilio.net.

Sering kali, masyarakat cepat mengambil keputusan untuk menyalahkan guru. Namun, pandangan ini harus diperluas. Pendidikan bukan hanya tanggung jawab satu pihak. Mengalihkan sepenuhnya kesalahan kepada guru dapat menjadi jebakan. Tanpa dukungan dari orang tua, upaya guru untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman akan terasa berat, seperti beban batu di punggung.

Masyarakat harus menyadari bahwa dalam menghadapi masalah bullying, kolaborasi antara orang tua, guru, dan pesantren adalah kunci keberhasilan. Mengabaikan peran orang tua hanya akan menambah kompleksitas masalah.

"Maka yang penting itu ya yang pertama komunikasi antara orang tua dan pihak pesantren. Kemudian sambangan itu penting untuk dilakukan lalu kepada anak-anak kita sendiri agar tidak terpengaruh atau larut dalam lingkaran kekerasan. Tapi yang kemudian menjadi persoalan bagaimana ketika itu terjadi tiba-tiba dan orang tuanya yang sebelumnya tidak tahu dan sebagainya," ujarnya kepada brilio.net.

Dari berbagai pandangan yang ada, jelas bahwa peran orang tua dalam mencegah bullying di pesantren sangatlah signifikan. Menggandeng tangan dalam membangun komunikasi yang baik, menanamkan nilai-nilai empati, dan menciptakan keterlibatan yang positif merupakan langkah-langkah yang harus diambil. Menyalahkan guru tidak akan menyelesaikan masalah; sebaliknya, kolaborasi antara orang tua dan pengajar adalah fondasi bagi terciptanya lingkungan yang aman bagi santri.