Brilio.net - Masa remaja adalah periode kritis dalam perkembangan seseorang, termasuk dalam hal kesehatan seksual dan reproduksi. Sayangnya, masalah kesehatan seksual dan reproduksi pada remaja seringkali dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Akibatnya, banyak remaja menghadapi berbagai tantangan kesehatan reproduksi tanpa pengetahuan yang memadai.

Berdasarkan survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan indeks pengetahuan Kesehatan Reproduksi Remaja di Indonesia hanya 53,4%. Padahal pemahaman tentang kesehatan seksual dan reproduksi sangat penting untuk mencapai kesejahteraan hidup yang optimal.

Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi masalah kesehatan seksual dan reproduksi di kalangan remaja Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Diperkirakan 20-25% dari semua infeksi HIV di dunia terjadi pada remaja. Situasi ini diperparah oleh minimnya pendidikan seks yang komprehensif di sekolah hingga lingkungan keluarga.

Ketidaktahuan maupun mitos seputar kesehatan seksual dan reproduksi membuat remaja rentan terhadap perilaku berisiko. Banyak remaja merasa malu atau takut untuk mencari informasi maupun bantuan terkait masalah kesehatan reproduksi mereka. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan di mana masalah kesehatan seksual dan reproduksi terus menghantui remaja tanpa solusi yang memadai.

Lantas masalah kesehatan seksual dan reproduksi apa saja yang kerap menghantui remaja? Yuk simak ulasan lengkap di bawah ini! Dilansir brilio.net dari berbagai sumber, Jumat (23/8).

Masalah kesehatan seksual dan reproduksi yang kerap menghantui remaja.

Masalah kesehatan seksual dan reproduksi pada remaja  2024 freepik.com

foto: freepik.com

1. Kehamilan tidak diinginkan (KTD)

Kehamilan tidak diinginkan merupakan salah satu masalah kesehatan reproduksi yang paling signifikan di kalangan remaja. Menurut data dari World Health Organization (WHO), sekitar 21 juta remaja perempuan berusia 15-19 tahun di negara berkembang mengalami kehamilan setiap tahunnya, dan hampir setengahnya tidak direncanakan.

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap KTD pada remaja meliputi kurangnya pendidikan seks yang komprehensif, akses terbatas terhadap kontrasepsi, bahkan tekanan sosial. KTD dapat memiliki dampak serius pada kesehatan fisik maupun mental remaja, termasuk risiko komplikasi kehamilan dan persalinan, putus sekolah, sampai pada stigma sosial.

Sebuah studi longitudinal yang dilakukan oleh Guttmacher Institute pada tahun 2020 menunjukkan bahwa remaja yang mengalami KTD memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami depresi, kecemasan, bahkan masalah kesehatan mental lainnya dibandingkan dengan teman sebaya mereka yang tidak hamil.

2. Infeksi menular seksual (IMS)

IMS merupakan ancaman serius bagi kesehatan seksual remaja. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa remaja maupun dewasa muda (usia 15-24 tahun) menyumbang hampir setengah dari 20 juta kasus IMS baru yang terjadi setiap tahun di Amerika Serikat.

IMS yang umum di kalangan remaja termasuk klamidia, gonore, herpes genital, dan human papillomavirus (HPV). Banyak IMS tidak menunjukkan gejala, sehingga dapat tidak terdeteksi bahkan menyebar tanpa disadari. Jika tidak diobati, IMS dapat menyebabkan masalah kesehatan jangka panjang seperti infertilitas, kanker serviks, dan peningkatan risiko penularan HIV.

3. HIV/AIDS

Meskipun kemajuan dalam pencegahan maupun pengobatan HIV telah dicapai, remaja masih menjadi kelompok yang rentan terhadap infeksi HIV. UNAIDS melaporkan bahwa pada tahun 2020, sekitar 1,7 juta remaja berusia 10-19 tahun hidup dengan HIV di seluruh dunia.

Faktor-faktor yang meningkatkan kerentanan remaja terhadap HIV termasuk kurangnya pengetahuan tentang pencegahan HIV, akses terbatas ke layanan kesehatan, hingga perilaku berisiko seperti seks bebas dan penggunaan narkoba suntik. Stigma maupun diskriminasi terkadang dapat menghalangi remaja untuk mencari informasi, tes, dan perawatan HIV.

4. Gangguan menstruasi

Gangguan menstruasi seperti dismenore (nyeri haid), menstruasi tidak teratur, dan sindrom pramenstruasi (PMS) sering dialami oleh remaja perempuan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Indonesia pada tahun 2020 lalu diterbitkan dalam Journal of Pediatric and Adolescent Gynecology menemukan bahwa lebih dari 70% remaja perempuan melaporkan mengalami dismenore, dengan sekitar 15% mengalami gejala yang cukup parah untuk mengganggu aktivitas sehari-hari.

Gangguan menstruasi dapat mempengaruhi kualitas hidup remaja, menyebabkan ketidakhadiran di sekolah, dan kadang-kadang menandakan masalah kesehatan yang lebih serius seperti endometriosis atau sindrom ovarium polikistik (PCOS). Namun, banyak remaja merasa malu atau enggan untuk mencari bantuan medis untuk masalah menstruasi mereka.

5. Disfungsi seksual

Meskipun sering dianggap sebagai masalah orang dewasa, disfungsi seksual juga dapat mempengaruhi remaja. Hal ini dapat mencakup masalah seperti dispareunia (nyeri saat berhubungan seksual), vaginismus pada remaja perempuan, atau disfungsi ereksi bahkan ejakulasi dini pada remaja laki-laki.

Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Sexual Medicine pada tahun 2018 menemukan bahwa sekitar 15% remaja laki-laki dan 20% remaja perempuan melaporkan setidaknya satu gejala disfungsi seksual. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap disfungsi seksual pada remaja dapat meliputi kecemasan, depresi, pengalaman seksual traumatis, atau kondisi medis yang mendasarinya.

6. Varikokel

Varikokel adalah kondisi di mana pembuluh darah balik (vena) dalam kantung pelindung testis (skrotum) mengalami pelebaran. Varikokel biasanya dialami oleh sekitar 15 persen pria dewasa dan 20 persen remaja pria. Gejala yang umum terjadi meliputi rasa nyeri seperti terkena pukulan benda tumpul saat berdiri serta perbedaan ukuran testis. Kondisi ini berpotensi menyebabkan kemandulan atau menurunnya kualitas sperma pada pria.