Brilio.net - Bakpia dikenal sebagai salah satu ikon kota Jogja. Makanan yang terbuat dari kombinasi tepung dan kacang hijau ini ramai diburu wisatawan sebagai oleh-oleh khas kota ini. Tak heran, jika toko-toko bakpia menjamur dan diramaikan wisatawan setiap harinya. Namun sayangnya, pemandangan ini lama tak terlihat semenjak adanya pandemi virus corona.

Hampir satu tahun mewabah di Tanah Air, virus ini membuat para pelancong mengurungkan niat untuk melakukan aktivitas di luar kota. Kondisi ini pun berimbas pada sepinya pembeli, terutama di sentral Bakpia Pathuk.

Dilansir brilio.net pada Rabu (11/11) dari laman resmi Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, terpantau jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Daerah Istimewa Yogyakarta melalui pintu masuk Adi Sutjipto pada Februari 2019 yaitu sebanyak 9.631 kunjungan. Data ini jika dibandingkan dengan Februari 2018, jumlah kunjungan wisman Februari 2019 mengalami penurunan sebesar 23,58 persen.

Hal ini tentu memberikan dampak bagi industri bakpia yang mengalami penurunan jumlah pembeli. Bahkan keluhan ini sempat disampaikan langsung oleh salah satu penjual bakpia dan wingko bernama Tumbaryani. Dilansir brilio.net dari Liputan6.com pada Rabu (11/11), Tumbaryani menyampaikan uneg-unegnya kepada Jokowi terkait anjloknya omzet penjualan selama masa pandemi.

"Kalau (kondisi) normal (omzet) bisa Rp 400 ribu sampai Rp 500 ribu. Sekarang cuma Rp 50 ribu," kata Tumbaryani kepada Jokowi, disiarkan di Youtube Sekretariat Presiden, Jumat (28/8) lalu.

Dengan situasi seperti itu, Tumbaryani sempat memilih untuk menutup lapaknya. Mendengar keluhan dari pedagang, Presiden Joko Widodo merasa kaget lantaran penurunan pendapatan yang begitu drastis.

"Masak buanyak, nggeh bu? Kenapa anjloknya bisa sampai dari 500 ribu ke (50 ribu)," tanya Jokowi.

Tumbaryani menjelaskan, hal itu karena pariwisata yang anjlok selama pandemi. Akan tetapi, Jokowi meyakini kondisi ini akan segera pulih lantaran pariwisata pelan-pelan sudah dibuka pemerintah.

Meski begitu, kondisi ini belum seutuhnya pulih. Diakui pihak Bakpia 25 Yogyakarta yang diwakili oleh staf bagian penjualan, Tusi, mengatakan bahwa pandemi memberikan dampak penurunan pada produksi bakpia. Dari segi omzet, disebut merosot drastis semenjak wisatawan terbatas memasuki kota Yogyakarta. Situasi ini sudah mulai dirasakan sejak bulan Maret 2020 lalu.

"Maret itu sudah sepi banget. Pembelinya saja paling hanya lokal, 1 dan 2. Kami yang disini saja hanya ada beberapa orang, untuk petugas bersih-bersih terus perawatan alat gitu, sekitar 10 orang," ungkap Tusi.

<img style=

foto: brilio.net/Rizka Mifta

Dampak pandemi juga membuat karyawan Bakpia 25 harus diliburkan selama 4 bulan. Selain itu sistem penjadwalan karyawan dilakukan secara berputar setiap minggunya. Sehingga tidak semua karyawan dapat masuk untuk bekerja. Meja penjualan yang biasanya diisi oleh 6 orang karyawan, kini hanya ada 4 orang saja yang bertugas. Bukti lain yang menjadi dampak pandemi juga terlihat dari banyaknya meja display oleh-oleh yang terlihat kosong.

Dijelaskan Tusi, Bakpia 25 selama wabah ini hanya menjual bakpia saja. Sehingga produk oleh-oleh lain yang berasal dari luar Jogja belum dijual kembali. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir penyebaran virus dari daerah lain.

Tantangan yang dihadapi Bakpia 25 untuk bertahan di kondisi ini juga terjadi di bulan Mei. Meski jumlah pengunjung menurun, namun Tusi menjelaskan pihaknya masih mencoba untuk mempersiapkan produk untuk menyambut Hari Raya Lebaran. Namun sayangnya angin segar belum terasa dalam grafik penjualan bakpia. Sehingga stok yang sudah dipersiapkan berakhir dibagikan kepada karyawan, warga setempat, dan panti asuhan.

"Persiapan lebaran itu sebenarnya sudah pada siap, ya sudah makanan yang dijual itu dibagikan ke pegawai, ke sekitar, terus ke panti asuhan yang sering kami kunjungi," jelas Tusi.

<img style=

foto: brilio.net/Rizka Mifta



Pilihan tersebut diambil dengan tujuan untuk mempertahankan kualitas. Mengingat, bahan-bahan utama pembuatan bakpia harus terus dalam keadaan segar. Salah satunya kacang hijau yang tidak bisa dibiarkan terlalu lama.

Selain itu, merosotnya jumlah pembeli, dijelaskan Tusi, membuat pihaknya harus memutar otak. Bahkan di akhir pekan, untuk industi kelas Bakpia 25 hanya memproduksi 50 hingga 100 kotak per harinya. Keadaan ini juga disebut sangat tipis untuk membayar upah karyawan.

"Benar-benar minus. Untuk gaji karyawan aja mungkin nggak cukup. Karena benar-benar sepi banget. Semuanya juga merasa itu," imbuh Tusi.

<img style=

foto: brilio.net/Rizka Mifta

Untuk terus bertahan selama pandemi, Bakpia 25 terus mencari solusi terutama dalam mengolah kualitas bahan baku. Pengaturan jadwal kerja karyawan juga masih diberlakukan hingga saat ini. Tak hanya terkait mempertahankan hak karyawan namun juga untuk mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Diungkapkan, pihak Bakpia 25 menerapkan sejumlah aturan ketat selama masa pandemi, termasuk aturan wajib menggunakan masker bagi siapa saja yang memasuki area Bakpia 25

Tak hanya dilakukan industri besar, usaha mempertahankan ekonomi di masa pandemi juga dirasakan UMKM bakpia rumahan di area sentral bakpia Pathuk Jogja. Pemilik Bakpia Fadila Jogja, Joni Purwantoro, menyampaikan bahwa masa pandemi membuat produksinya jatuh di angka 0 di tiga bulan pertama. Padahal usaha bakpia ini diandalkan dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sehingga ia pun terpaksa menggunakan uang tabungan untuk bertahan di masa pandemi Corona.

"Bakpia itu kan oleh-oleh. Jadi kalau tidak ada wisata, tidak bisa jalan. Jadi kalau ada tamu atau dia kesini ya dia baru bisa beli. Tapi kalau selama 3 bulan awal itu, 0 pendapatan," cerita Joni.

<img style=

foto: brilio.net/Rizka Mifta

Situasi ini, dikatakan Joni, menjadi imbas dari kebijakan pemerintah mengenai pembatasan jumlah wisatawan yang masuk ke Jogja. Tes rapid, swab dan prosedur yang diberlakukan tidak bisa dipungkiri membuat wisatawan ragu untuk mengunjungi Jogja. Tidak jauh berbeda dengan Bakpia 25, hasil produksi yang sudah dibuat oleh Joni pun terpaksa harus dibuang karena tidak bisa dipertahankan dalam jangka lama. Bahkan pada brilio.net Joni menjelaskan, sebelum pandemi ia bisa menjual hingga 1000 dus per bulan. Namun selama pandemi, ia hanya mengandalkan pemesanan yang datang dari pelanggan via WhatsApp dengan jumlah yang tak tentu.

Tidak hanya Joni, usaha milik warga di kampung Bakpia ini juga mengalami hal yang serupa. Untuk menemukan solusinya, ia mengaku sudah pernah mendapatkan pendataan dari pemerintah setempat. Namun hingga saat ini belum dirasakan tindak lanjut dari tindakan tersebut. Di waktu yang lain, juga ada pelatihan dalam pemasaran usaha secara online. Namun baginya belum terlalu efektif dalam praktik pelaksanaannya.

Meski pemasaran secara daring atau online sudah dilakukan banyak orang, namun Joni menilai cara ini belum terlalu memberikan dampak pada penjualan bakpia. Pasalnya ia mengatakan untuk usaha ini diperlukan testimoni atau penilaian langsung dari pembeli sehingga memahami kualitas yang disuguhkan. Maka dari itu, ia pun mengandalkan langganan yang sudah pernah berkunjung sebagai salah satu cara untuk bertahan di masa pandemi.

"Ya meskipun disini penjual bakpia semua, bahan utamanya sama juga tapi pastikan masing-masing tempat punya ciri khasnya sendiri ya mbak. Bisa jadi pengaruh dari proses pengolahan, merek yang di pakai juga bisa jadi beda. Nah kalau sudah coba kan pasti pelanggan bisa nilai mana yang dia suka. Jadi kalau cuma dipromo lewat online aja masih kurang mbak," jelas Joni.

<img style=

foto: brilio.net/Rizka Mifta

Meski begitu, Joni tidak meninggalkan bantuan teknologi sepenuhnya. Usaha lain yang ia lakukan juga dengan cara mengunggah promosi dalam status WhatsApp ataupun media sosial. Hal ini pun memberikan celah baik, lantaran beberapa pelanggannya mulai melakukan pemesanan setelah ia mengetahui produksinya berjalan kembali.

Joni yang juga menjabat sebagai ketua paguyuban penjual bakpia "Laris Manis" menjelaskan jika ia memproduksi bakpia tanpa karyawan. Dengan mengandalkan istri dan anak-anaknya ia memaksimalkan tenaga dalam menerima pemesanan. Namun jika pemesanan melebihi kemampuan dalam memproduksi, maka biasanya dilakukan pembagian produksi dengan tetangga sekitar. Di samping itu, ia pun juga berharap tidak ada sistem yang mempersulit UMKM dalam memasarkan usaha bakpianya. Sehingga perekonomian pun dapat kembali pulih seperti sediakala.

Hingga saat ini pengusaha bakpia Jogja masih merangkak untuk memulihkan kembali pemasukan. Mulai dari pengaturan jadwal karyawan, mengatur jumlah produksi, sampai melakukan promosi di media sosial. Mereka berharap, pandemi dapat segera berakhir. Selain itu juga tidak ada lagi sistem yang membuat pedagang kesulitan dalam menjalankan usahanya.