Hal inilah yang mendasari Abu Kahfi untuk mengajar bahasa isyarat. Bukan tanpa alasan, dia merasa pengetahuan agama anak tunarungu yang dia temui saat itu masih sangat mendasar. Sementara, menurutnya mereka memiliki kewajiban agama yang sama dengan lainnya.

"Semakin saya kenal dengan mereka semakin tahu kalau mereka jauh dari agama, nggak kenal Allah. Dari situ saya punya niat ingin mengajar bahasa isyarat," terangnya.

Pada tahap awal, ia mengajak tiga difabel untuk turut belajar beladiri silat di pondoknya, karena saat itu ia sama sekali belum bisa bahasa isyarat. Keterbatasannya dalam berbahasa isyarat menjadi tantangan pertama bagi Abu Kahfi dalam mengajarkan ilmu agama. Ia pun mulai mempelajari bahasa isyarat setelah mulai mengajarkan pencak silat pada tiga tunarungu yang dikenalnya.

Darul Ashom pesantren tunarungu  brilio.net

foto: Brilio.net/Syeny Wulandari

"Sebulan, saya bisa komunikasi dengan mereka, sebulan bisa buka taklim di rumah, mengundang mereka (belajar membaca Alquran)," kata Abu.

Singkatnya, Abu yang kebetulan sedang menghadiri banyak kegiatan di Yogyakarta dan Semarang mencetuskan ide untuk membuat pondok pesantren bagi anak-anak khusus tunarungu. Dengan mencari rumah kontrakan yang gunakan sebagai tempat ponpes tersebut, hingga akhirnya ada seorang teman yang meminjamkan rukonya di kawasan Bantul.

"Pertama di Bantul, saya dipinjami ruko tiga lantai, lantai pertama tempat teman saya usaha, dua lantai ini kita pakai pondok," tuturnya.

Setelah berjalan satu tahun, jumlah santrinya meningkat menjadi 35 orang lebih, akibatnya, ruko yang dikontraknya tersebut tidak mampu menampung mereka. Ia lalu kembali mencari lokasi untuk memindahkan pondok pesantrennya tersebut, dan mendapatkan tempat di lokasi saat ini.

Darul Ashom pesantren tunarungu  brilio.net

foto: Brilio.net/Syeny Wulandari

Saat ini setidaknya tercatat ada 154 santri putra dan putri yang ada di Ponpes Darul Ashom. Santri dan santriwati yang belajar di Ponpes Tunarungu Darul Ashom ini berasal dari seluruh Indonesia. Semua anak tunarungu dapat belajar bersama meski tidak punya yang sama sekali karena sistem pembayaran di pesantren ini adalah infaq dan sodakoh serta tidak membeda-bedakan antar santri.

"Jadi ijab kabulnya bukan SPP, melainkan infaq bulanan. Kenapa infak? karena nominalnya tidak dibatasi silahkan bebas, ketika ada yang nggak bayar atau bayarnya lebih, saya berikan rata," tuturnya.

Darul Ashom pesantren tunarungu  brilio.net

foto: Brilio.net/Syeny Wulandari

Abu Kahfi merasa Allah memberikan kemudahan untuknya dalam banyak hal, mulai dari belajar bahasa isyarat yang hanya dalam waktu sebulan, mengajar mengaji untuk para tunarungu, hingga mendirikan pondok pesantren. Terlebih, dalam mendirikan pondok pesantren tersebut, dirinya sama sekali tidak berorientasi pada profit, tetapi murni untuk mengajar mereka mengaji.

"Kami menghindari meminta dan mengajukan proposal, Kenapa? Karena yang di samping saya, di depan saya, yang kita rangkul itu difabel. Tangan di atas lebih baik tangan di bawah," terangnya.

Sementara dalam metode pengajaran, bahasa isyarat yang dipakai adalah metode gerakan jari tangan kanan yang melambangkan huruf-huruf hijaiyah (Alif, Ba, Ta, Sya, dst). Misalnya jempol melambangkan Alif, Telunjuk melambangkan Ba, dua jari melambangkan Ta, tiga jari Sya, dan seterusnya dengan bentuk jari yang berbeda-beda. Bahasa isyarat di pondok pesantren ini mengambil sanad dari Arab Saudi.

Darul Ashom pesantren tunarungu  brilio.net

foto: Brilio.net/Syeny Wulandari

Dari metode itu, saat ini sudah ada santri yang hafal 16 juz. Padahal pondok ini baru berjalan 4 tahun. Ini membuktikan, bahwa Alquran bisa dipelajari oleh orang tuli sekalipun.

Selain diajari menghafal, para santri tuli juga diajari artinya. Sehingga mengerti isi dan kandungan ayat Alquran yang dibacanya. Dari situ, akhirnya anak-anak tuli yang biasanya tidak mengerti agama, akhirnya jadi mengerti untuk kemudian mengamalkannya.

Abu Kahfi berharap ke depan, sudah ada santri dari pondok pesantrennya yang hafal Alquran hingga 30 juz. Karena para santri tidak dapat mendengar dan tidak bisa memperdengarkan ayat-ayat Allah, mereka hanya bisa mengamalkan Alquran dengan cara memperlihatkan dengan bahasa isyarat.

Selain itu, pihaknya berharap, para santri dan santriwati setelah lulus setidaknya bisa mengajarkan dan mendirikan ponpes bagi orang lain yang membutuhkan di kampung halaman mereka.