Brilio.net - Lahir dan tumbuh sebagai putra pertama dari pemilik sebuah panti yayasan sosial,
Muhammad Wildan Firdausy melihat bagaimana perjuangan orang tuanya dalam membangun dan mengayomi para anak berlatar belakang khusus.
Ayahnya, Suyanta atau dikenal sebagai ustad Kirun adalah seorang veteran dosen yang kini mengabdikan diri sebagai kepala yayasan sosial yang menaungi sekitar 300 kepala dengan latar belakang khusus.
Lalu Ibunya, Husnur Rosyidah, seorang wanita hebat yang kini berperan sebagai seorang aktivis sosial yang terjun langsung mendampingi sang suami. Selain seorang aktivis, Husnur Rosyidah pun dikenal sebagai seorang penyuluh agama aktif yang bekerja di bawah kementrian agama.
Muhammad Wildan Firdausy, pria berusia 22 tahun ini dikenal sekitar dengan kepribadian yang menyenangkan. Dia juga memiliki pemikiran terbuka dan berkembang.
Dia belajar dari sekitarnya dan membangun rasa tanggung jawab besar pada dirinya sendiri.
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga ini memiliki tekad besar dalam hidupnya, dia berusaha mewujudkan apapun yang diinginkannya. Sebagai orang yang memiliki jiwa sosial dan senang berbagi, ustadz menjadi pilihannya. Dari profesi ini dia mengenal banyak hal. Selain mengajarkan ilmu agama, Wildan juga belajar mengambil tanggung jawab untuk memberikan yang terbaik pada anak-anak di yayasan tempat dia mengajar.
Langkah awal dengan tanggung jawab yang tidak ringan itu, membawa Wildan terus berpikir untuk melakukan banyak hal bermanfaat lainnya. Hingga akhirnya program pengembangan ekonomi pesantren melalui Hebitren (Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren) yang difasilitasi Bank Indonesia (BI) datang untuk memberikan bantuan untuk pembangunan green house.
Kesempatan itu tidak diabaikan Wildan, dengan semangat tinggi dia memupuk sedikit demi sedikit untuk mencapai tujuannya.
"Nah disitu saya mikir, wah kalau dinusnya diberikan ke orang lain bisa gak dirawat atau disalahgunakan. Kan eman-eman banget to," tuturnya Wildan saat dijumpai tim brilio.net di pondok pesantren Yatim dan Dhuafa Madania yang terletak di daerah Gedong Kuning.
Pada 2022 bulan Februari kesibukan Wildan pun bertambah. Dibantu dua orang alumni, Hazmin Khatim dan Husril Ramlan, Wildan dan tim green house Madania mengerahkan banyak usaha dan tenaga untuk mengembangkan melon jenis langka di Indonesia, melon inthanon.
Perjalanan Wildan untuk sampai ke titik sekarang tentunya tidak mudah. Ketika ditanya mengenai persentase kegagalan, Wildan mengatakan bahwa di awal kegagalan yang dialaminya cukup besar.
"Alhamdulillah dari 4 kali panen itu hampir 90 persen gagal," ujar pria itu.
"Panen pertama itu gagal yang jadi hanya setengah dari green house 50 persen," tambahnya.
Sebelum mengembangkan sendiri, Wildan dan tim lebih dulu difasilitasi Bank Indonesia untuk mempelajari proses budidaya tanaman tersebut di Bandung. Namun menurut Wildan, itu tidak cukup. Banyak hal yang belum diketahui Wildan. Memiliki rasa penasaran tinggi, dia pun mendatangi langsung para petani yang telah berpengalaman dibidangnya.
"Kemudian saya berinisiatif mencari ilmu dengan cara bermain bersama petani-petani di luar, seperti di Sleman dan Bantul. Ada tujuh sampai delapan kenalan dari green house-greenhouse besar. Dari sana saya dapat ilmu lagi," tungkasnya menceritakan perjalanannya dalam mencari ilmu tanam.
Kerja kerasnya tidak sia-sia. Kabar budidaya melon dengan metode cerdas dan modern green house inipun mulai merebak. Hingga menarik beberapa pelancong dari berbagai latar. Salah satunya adalah mahasiswa Universitas Gajah Mada yang hadir untuk belajar.
"Itu kemarin ada 400 anak UGM yang bantu buat polinasi," ujar Wildan.
Selain mahasiswa, ada pula Agus Budi Setiawan seorang breeder melon lulusan Universitas Chiba, Jepang yang juga berprofesi sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada menjadikan green House Madania sebagai lahan riset.
"Kalau kita menanam di green house kita tidak akan terpaku kendala di luar karena dengan green house faktor lingkungan dapat dikendalikan. Dan inilah yang dapat dikatakan dengan pertanian cerdas," ujar Agus Budi Setiawan
Kini di usianya yang terbilang muda. Wildan telah memiliki banyak sekali tanggung jawab. Image pekerja keras pun kerap kali disandingkan padanya oleh para santri Pondok Pesantren Yatim dan Dhuafa Madania.
Ketika ditanya bagaimana dia kini menjalani kesibukannya, Wildan hanya tersenyum dan menuturkan bahwa saat ini dia tidak lagi keberatan dan masih mampu menjalani semua secara bersamaan.
"Kuliah ya bisa jalan, green house jalan dan anak-anak juga bisa disambi," pungkasnya.
Magang: Aulia Shifa
Recommended By Editor
- Belajar mengaji Alquran dengan bahasa isyarat bersama Komunitas Muslim Tuli Yogyakarta
- Kisah pria gangster bertubuh kekar pilih insaf dan mualaf, kini jadi anak mami
- Fanza Fauzan, difabel tuna netra inspiratif: Dulu otodidak tilawatil Alquran, kini sering juara lomba
- Kisah Hastu Wijayasri, aktivis yang perjuangkan hak Tuli lewat media sosial
- Kisah Ilham Prihatin & Fajar Kurniawan, pencetus gerakan Nasi Gratis Jogja sebagai bentuk sedekah umum
- Demi wujudkan desa bersih, Suparmaji rela jadi tukang sampah meski tidak digaji