Brilio.net - Usai dilantik menjadi Presiden RI ke-8 pada 20 Oktober 2024 lalu, Prabowo Subianto mengutus para menteri untuk segera bekerja. Yang terbaru, Prabowo meminta Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti memperbaiki metode pembelajaran Matematika. Prabowo ingin pembelajaran Matematika mulai dikenalkan sejak Taman Kanak-Kanak (TK).
"Kalau kita bicara sains teknologi kan salah satunya Matematika, dan tadi ada tawaran bagaimana pelajaran Matematika di tingkat SD, kelas 1-4 dan mungkin mengenalkan Matematika untuk anak-anak di tingkat TK," jelas Abdul Mu'ti kepada wartawan.
Menurut dia, Prabowo memiliki concern untuk meningkatkan kualitas sains teknologi, pelajaran Matematika menjadi salah satu bidangnya. Selain itu, Mu'ti menyebut Prabowo menyampaikan soal pelatihan guru Matematika.
"Tadi (Prabowo) menekankan pentingnya kualitas pembelajaran Matematika dan bagaimana metode pembelajarannya diperbaiki, termasuk didalamnya ya konsekuensi untuk itu pelatihan guru Matematika," kata dia.
Pernyataan ini mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat. Masyarakat yang pro menyatakan, dengan memperkenalkan Matematika sejak dini dapat membantu anak-anak memahami konsep dasar yang akan berguna dalam pendidikan lanjutan. Semakin awal dikenalkan, semakin baik pemahaman mereka di masa depan.
foto: Instagram/@abe_mukti
Bagi kelompok yang kontra, pengenalan Matematika yang terlalu dini malah dinilai akan mengurangi waktu bermain anak. Masa kecil yang seharusnya diisi dengan eksplorasi, malah ditekan untuk belajar ilmu pasti.
Brilio.net melakukan wawancara dengan guru TK terkait pernyataan tersebut serta implementasinya. Menurut Bu Imas, salah satu guru di TK Purbosari, Yogyakarta, anak-anak TK belajar melalui pengalaman praktis dan interaksi sosial. Melalui permainan, mereka mengeksplorasi lingkungan dan mengembangkan keterampilan.
"Anak-anak di sini (TK) bermain itu ya belajar, belajar ya sambil bermain," ungkap Imas kepada Brilio.net.
Bu Imas juga mengamini kegiatan yang menyenangkan tidak hanya membuat anak merasa bahagia, tetapi juga membantu mereka memahami konsep dasar, seperti angka dan bentuk secara alami. Dengan pendekatan tersebut pembelajaran menjadi lebih menarik dan tidak membebani.
"Anak TK itu tidak diajarkan pelajaran Matematika. Hanya pengenalan lambang bilangan. Itu pun menggunakan simbol saja, seperti buah," jelasnya pada Brilio.net.
foto: Brilio.net/Farika Maula
Pada tahap ini anak-anak tidak diajarkan pelajaran Matematika secara formal, tetapi lebih kepada pengenalan lambang bilangan. Misalnya, penggunaan simbol seperti buah untuk menggambarkan angka dapat membuat konsep tersebut lebih mudah dipahami.
Prasekolah adalah waktu untuk bermain, bukan belajar akademis
Brilio.net mengutip esai berjudul Preschool is for Play, not Academics karya John Rosemond menuliskan bahwa dalam permainan, anak tidak hanya bersenang-senang, tetapi juga belajar kognitif dan berbagai keterampilan. Interaksi dengan teman adalah salah satu unsur penting yang tidak bisa digantikan oleh pembelajaran formal.
Rosemond mengutip pernyataan David Elkind dalam bukunya berjudul The Hurried Child, pengalaman bermain yang terbatas dapat menghambat pertumbuhan anak dan membuat mereka merasa terbebani.
Ketika anak-anak di usia prasekolah dipaksa untuk belajar konsep-konsep matematika yang kompleks, ada risiko bahwa masa bermain yang berharga akan terenggut. Alih-alih mengeksplorasi dunia sekitar, anak-anak mungkin merasa tertekan untuk memenuhi ekspektasi akademis yang ditetapkan oleh orang tua atau sekolah. Hal ini dapat mengarah pada keengganan untuk belajar dan mengurangi rasa percaya diri mereka.
foto: Instagram/@gaston_christian
Dalam konteks ini penting bagi orang tua untuk memiliki sikap yang mendukung pengembangan karakter anak. Rosemond mencontohkan kisah Janet Carter, orang tua dari seorang anak perempuan berusia 4 tahun yang lebih peduli pada karakter anak daripada pencapaian akademisnya.
Suatu ketika Carter menerima laporan dari salah satu guru, jika sang anak kesulitan menggunakan gunting. Gurunya juga menceritakan, jika anaknya tertinggal dalam pengenalan huruf dan angka. Mendengar laporan tersebut Carter terkaget, baginya menekankan pembelajaran kasih sayang dan rasa hormat jauh lebih berharga daripada hitung-hitungan angka.
Pendekatan yang dituliskan Rosemond dalam esainya ini seharusnya menjadi panutan bagi orang tua, bahwa kesuksesan tidak selalu terukur dalam angka.
Tantangan dalam dunia pendidikan saat ini adalah menciptakan keseimbangan antara akademik dan waktu bermain. John Rosemond, mengamati tren ini dengan keprihatinan. Ia mencatat, ada pemahaman tak tertulis di masyarakat bahwa prestasi akademis seorang anak menjadi tolak ukur kesuksesan seorang ibu.
Anak-anak dituntut untuk berprestasi di usia yang sangat muda. Banyak waktu yang seharusnya dihabiskan untuk bermain dan belajar secara alami, malah dikorbankan demi memenuhi ekspektasi. Rosemond menekankan, ini berpotensi merugikan anak dalam jangka panjang.
Lebih lanjut, Rosemond menceritakan pengalaman masa kecilnya di tahun 1952, saat dirinya dan teman-teman sekelasnya masuk kelas satu sekolah dasar tanpa pengetahuan huruf alphabet. Meski tak ada tekanan akademis, mereka mampu belajar dengan baik dan mencapai tingkat kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak saat ini. Ini menunjukkan bahwa anak-anak dapat berkembang secara alami jika diberi kesempatan untuk bermain dan belajar dengan cara yang lebih santai.
Recommended By Editor
- Pandangan Wamen Stella Christie soal kenapa anak harus belajar, bisa jadi renungan bijak para ortu
- Benarkah dosen wajib punya gelar S3 untuk mengajar mahasiswa S1? Cek peraturannya di sini
- Bidang pendidikan punya banyak PR besar, ini 5 permasalahan yang harus dibereskan pemerintahan Prabowo
- BRIN evaluasi program-program Kementerian Pendidikan, bagaimana nasib Kurikulum Merdeka Belajar?
- Mendikdasmen singgung soal wajib belajar 13 tahun dan UN, masihkah relevan di era sekarang?
- Perlambat gejala demensia, ini 7 manfaat belajar banyak bahasa sejak usia dini
- Perbedan gelar doktor dan doktor honoris causa, pahami agar tidak keliru