Brilio.net - Sebuah kisah menarik muncul dari Gunungkidul, kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang didominasi perbukitan kapur. Gunungkidul terdiri dari 18 kecamatan dan 144 desa dan di antara 144 desa tersebut, terdapat sebuah daerah yang dijuluki sebagai ‘kampung janda’.
Dalam 2 tahun terakhir, kampung ini mulai menarik perhatian banyak orang karena julukannya yang cukup unik. Usut punya usut, sebagian besar warga kampung ini dihuni oleh perempuan yang sudah menjanda. Hal tersebut tentu menimbulkan pertanyaan tersendiri di benak siapapun yang mendengarnya. Ataukah memang kebetulan, adakah mitos, atau mungkin sudah direncanakan?
Setelah ditelisik lebih lanjut, kampung ‘janda’ sebenarnya merupakan julukan untuk Pedukuhan Kalangbangi Wetan, Kelurahan Ngeposari, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul. Seperti halnya dusun di wilayah Gunung Kidul, Padukuhan Kalangbangi Wetan ini berada di wilayah perbukitan kapur dan diapit oleh persawahan. Namun sejak tahun 2021, dusun yang dihuni oleh 4 RT ini mendapat julukan kampung ‘janda’.
Brilio.net berkesempatan berkunjung ke kampung tersebut yang ternyata terletak tak jauh dari Jalan Raya Nasional III yang menghubungkan Kabupaten Gunungkidul dengan Wonogiri, Jawa Tengah. Aksesnya cukup mudah dijangkau. Jika dihitung jarak tempuh dari Yogyakarta, butuh waktu sekitar 1,5 jam menggunakan kendaraan bermotor untuk bisa sampai ke kampung ini.
Di kampung tersebut, Brilio.net bertemu dengan salah satu warga bernama Damayanti. Perempuan berusia 40 tahun ini merupakan salah satu janda di Padukuhan Kalangbangi Wetan. Dia mengaku sudah berstatus janda dari usia 27 tahun. Usut punya usut, Damayanti menikah muda di usia 19 tahun, dan cerai di tahun ke-7 pernikahannya. Lantas setahun setelahnya atau pada tahun 2011, ibu dua anak ini menikah lagi. Sayangnya, pernikahan keduanya kandas pada tahun 2020 lalu.
Foto: brilio.net/annatiqo
Lebih lanjut, Damayanti bercerita bahwa perjalanan hidupnya yang seperti itu terjadi begitu saja dan dia pun menerima proses tersebut. Sama seperti warga lain yang berstatus janda. Tidak ada mitos ataupun cerita mistis apapun yang berhubungan antara kampung ‘janda’ dan warga yang tinggal di dalamnya.
"Ya, sebenarnya kebetulan aja, gitu, tuh," ujar Damayanti.
Asal-usul nama kampung ‘janda’
Setelah ditelisik lebih lanjut, nama kampung ‘janda’ sendiri disematkan oleh orang luar (bukan warga kampung). Damayanti sendiri mengaku bahwa nama tersebut disematkan oleh seorang wartawan yang dia undang untuk meliput sebuah makam tua. Mulanya, Damayanti hendak mengenalkan sebuah makam yang berada di kampung tersebut untuk dijadikan wisata religi. Makam tua milik tokoh masyarakat bernama Syekh Datuk Kalambang ini diduga masih berasal dari keluarga keraton, Yogyakarta. Oleh sebab itu, Damayanti pun mengundang wartawan untuk datang ke Padukuhan Kalangbangi Wetan dengan harapan, ada penelusuran lebih lanjut juga tentang sosok Syekh Datuk Kalambang tersebut.
Foto: brilio.net/annatiqo
Namun saat bercerita, Darmayanti turut menyematkan kisah tentang kondisi kampung yang didominasi dengan perempuan karena menjanda. Bahkan di sekitar makam Syekh Datuk Kalambang, terdapat keluarga yang tinggal dan secara kebetulan, tiga turunannya hidup menjanda. Nah, karena ketertarikannya pada kisah janda itu, wartawan tersebut lantas memberikan label ‘kampung janda’ untuk Padukuhan Kalangbangi Wetan.
Lebih lanjut, cerita tersebut juga dibenarkan oleh salah satu ketua RT setempat, Heri Sudarti. Sebenarnya penyebab para perempuan menjanda ini pun sangat beragam, ada yang karena suaminya meninggal, dicerai, atau bahkan ditinggal begitu saja dan ditalak setelah beberapa tahun ditinggal pergi. Saat ditemui di rumahnya, Heri mengaku terkejut saat pertama kali tahu bahwa kampungnya sangat terkenal dan diberitakan banyak media. Sejak saat itu juga, dia mengaku sering didatangi oleh banyak orang dari luar daerah Gunung Kidul.
"Saya juga kaget, sampai ada yang ke sini. Ada orang Jakarta, Kutoarjo ke sini, nanya-nanya. Tapi inilah kampung saya. Ini baru kurang lebih 2 tahun (terkenalnya) masuk YouTube juga," ujar Heri selaku ketua RT 1.
Foto: brilio.net/annatiqo
Janda-janda yang dilamar
Tujuan orang-orang berkunjung ke Padukuhan Kalangbangi Wetan ini memang sangat beragam. Ada yang sekadar penasaran, namun justru ada yang berniat meminang janda di kampung tersebut. Yup! Tidak sedikit yang ternyata datang dengan niat melamar seorang warga setelah mengetahui kampung tersebut dihuni oleh banyak perempuan berstatus janda.
Lebih lanjut, Damayanti mengaku bahwa pernah ada tiga orang lelaki asal Bekasi yang datang ke kampung tersebut. Mereka membawa uang senilai Rp20 juta yang hendak dipakai untuk meminang salah satu janda di kampung. Selain itu, ada juga sekumpulan lelaki dari paguyuban duda di Manding, Bantul yang datang untuk menjalin hubungan dengan janda-janda di sana, dengan harapan bisa berakhir ke pernikahan.
"Banyak hal-hal lucu di sini, ada purnawirawan TNI ke sini. Minta dicariin janda juga. Tapi nggak pernah ada yang dapat, dari pihak sini banyak yang nggak mau," jelas Damayanti sambil sesekali tampak sibuk membalas pesan di ponsel.
Foto: brilio.net/annatiqo
Usut punya usut, banyak warga yang menolak lamaran karena berbagai alasan. Damayanti mengaku bahwa para perempuan di kampung, yang sekalipun berstatus janda, sudah nyaman dengan kondisi seperti sekarang. Mereka pun telah mandiri dengan apapun pekerjaan yang dilakukan untuk menghidupi keluarga dan anak.
"(Kalau) punya suami lagi, ngeladenin (melayani) lagi, ini-itu. Udah enak sendiri. Kan mereka bisa sendiri, mandiri. Apapun pekerjaan mereka. Nyatanya mereka bisa menghidupi anak-anak, menyekolahkan, gitu. Mereka bisa," sambung Damayanti.
Para perempuan mandiri yang membangun perekonomian dan infrastruktur kampung
Di Padukuhan Kalangbangi Wetan ini terdapat total 4 RT dengan total 70 KK. Menurut Damayanti, keluarga yang perempuannya berstatus janda mencapai 40% atau kurang lebih 30 KK. Lantas dengan jumlah perempuan yang dominan, segala urusan juga banyak dilakukan oleh perempuan.
Ketika ditinggal oleh suami, para perempuan ini mulai mandiri dalam bekerja. Profesi mereka juga sangat beragam, ada yang menjadi petani, pengrajin eceng gondok, hingga pebisnis batu alam seperti Damayanti. Sejak tahun 2008, dia menjadi supplier (pengepul) batu alam yang kemudian dikirim ke kota besar, seperti Bali dan Jakarta.
Dari bisnisnya tersebut, Damayanti sudah dapat menghidupi keluarganya sendiri. Bahkan perempuan kelahiran 1983 ini bisa mempekerjakan 21 karyawan, yang sebagian besar adalah kerabat dekat dan warga Padukuhan Kalangbangi Wetan. Hingga kini, aset yang dimiliki pun terbilang tidak sedikit, yakni 3 truk ekspedisi dan 4 mobil.
"Kalau saya kan yang penting itu bisa bermanfaat buat orang lain," sambung Damayanti.
Foto: brilio.net/annatiqo
Cerita dari Damayanti turut membuktikan bahwa menjadi ‘janda’ tidak membuat para perempuan tertinggal. Selain bisa sukses dalam menjalankan roda perekonomian, warga dusun juga turut mendukung program pembangunan di Padukuhan Kalangbangi Wetan. Bahkan para perempuan ini ikut berperan aktif dalam berbagai agenda kampung, termasuk membangun fasilitas umum.
"Wong wedok iki kerja bakti podo karo wong lanang (perempuan di sini kerja bakti sama dengan laki-laki). Buat (membangun) jalan ini yang ngecor juga bareng-bareng, Nggak pandang laki-laki atau Perempuan," kata Heri menjelaskan.
Foto: brilio.net/annatiqo
Tidak pernah menggelar salat Jumat
Uniknya, memiliki warga yang didominasi oleh perempuan membuat Padukuhan Kalangbangi Wetan ini tidak pernah menggelar salat Jumat. Menurut kesaksian Damayanti, hal ini sudah terjadi Ketika dia masih kecil. Jadi warga laki-laki yang hendak salat Jumat harus pergi ke kampung sebelah. Lebih tepatnya di Padukuhan Ngepos yang berada di seberang Jalan Raya Nasional III (berseberangan dengan Padukuhan Kalangbangi Wetan). Walaupun begitu, warga dusun masih menggunakan masjid setempat untuk saat salat wajib dan salat Ied.
Foto: brilio.net/annatiqo
Pada dasarnya, tidak digelarnya salat Jumat di kampung ini sebenarnya bukan hanya karena banyak penduduknya yang perempuan dan janda. Heri menambahkan bahwa salat Jumat tidak pernah dilaksanakan karena banyak laki-laki yang bekerja di luar kampung dan baru pulang pada sore atau malam hari. Bahkan ada juga yang merantau dan bekerja di luar kota, seperti Bandung dan Jakarta. Selain itu, berkurangnya jumlah laki-laki juga karena ada yang pindah penduduk karena menikah.
"Kalau (ada orang) dapat suami dari sini, biasanya pindah. Ada yang di Karangmojo. Pindah jadi penduduk sana. (Total) ada dua. Kelong maneh, toh, mbak (berkurang lagi toh, mbak). Terus yang gandingan (bersebelahan) sama adik saya, itu rumahnya samping Damayanti. Di Grogol, pindah sana," pungkas Heri.
Recommended By Editor
- Viral kampung berdampingan dengan kompleks makam, ini 9 potretnya
- Dorong minat baca, gerakan di Pustaka Desa ini inspiratif banget
- Kampung unik di Jogja, ada satgas pengamanan gadget untuk anak
- Warga kampung di Jogja ini tak berani memasang regol bagi rumahnya
- Nggak cuma Jogja & Malang, Kampung Warna Warni juga ada di Banyuwangi