Brilio.net - Kampung Karangkajen dahulu dikenal sebagai salah satu produsen batik tulis ternama di Yogyakarta. Seiring perkembangan zaman, kegiatan membatik perlahan hilang karena kalah pasar dengan produk China. Masyarakat Kampung Karangkajen pun memilih profesi lain untuk menyambung hidupnya.
Kini, Karangkajen memiliki julukan baru, yakni Kampung Sains. Terletak di Jalan Karangkajen, Brontokusuman, Mergangsan, Kampung Karangkajen menjelma jadi kampung wisata berbasis edukasi. Beragam kegiatan mulai dari pembelajaran fun sains hingga pelatihan batik ecoprint terselenggara di kampung yang dekat Masjid Jogokariyan.
Tak banyak yang mencolok dari Kampung Karangkajen kecuali adanya makam pendiri organisasi Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. Namun demikian, sejak diresmikan sebagai kampung sains, Karangkajen jadi jujugan wisata edukasi. Salah satu yang menjadi incaran wisatawan adalah workshop ecoprint.
Salah seorang peserta workshop yang juga ibu rumah tangga di Kampung Karangkajen/foto: brilio.net/@vindiasari
Saat brilio.net mengunjungi kampung itu, Kamis (1/3), Uut Rubi Utami, salah satu koordinator program ecoprint di Kampung Karangkajen, dengan ramah menyambut dan menunjukkan lokasi workshop ecoprint tak jauh dari kediamannya. Di sana telah berkumpul empat warga yang sibuk membuat kain batik ecoprint.
Sudah menjadi rutinitas Uut dan empat rekannya yang tergabung dalam anggota inti kelompok Eco Jogja (Eco J) untuk menggelar workshop pembuatan ecoprint. Mereka berkumpul di rumah salah satu anggotanya setiap Kamis pukul 10.00-16.00 WIB.
Uut selaku koordinator pojok ecoprint yang juga bunda sainsa di Kampung Karangkajen/foto: brilio.net/@vindiasari
Di sela proses pembuatan, Uut menceritakan, kegiatan membuat ecoprint ini dimulai September 2017. Saat itu, bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta dan Fakultas Matematika dan IPA Universitas Ahmad Dahlan diselenggarakan pelatihan tentang herbarium. "Dalam pelatihan itu kita dikenalkan tentang tanaman dan jenis-jenis daun. Dari situ muncul pengenalan ecoprint," kata Uut yang juga dikenal Bunda Sains.
Usai pelatihan itu, Uut mengundang pengrajin yang paham mengenai ecoprint, Nuci, untuk menularkan ilmunya ke komunitas Eco-J. Berawal dari situ, para anggota mengembangkan ilmu yang didapatnya hingga kini.
Batik ecoprint sendiri merupakan jenis batik yang dibuat melalui proses alami. Semua bahan yang digunakan merupakan bahan alami seperti daun, kayu, hingga tumbuh-tumbuhan. "ebenarnya ecoprint ini tidak bisa dikatakan batik karena filosofinya batik itu kan gambar, nitik (titik) dan pakai malam. Sementara ecoprint ini kan enggak," kata Indra Suryanto selaku koordinator kampung sains yang juga terlibat di kegiatan Eco-J.
Daun-daun yang telah direndam dengan cuka diletakan di atas kain sutera/foto: brilio.net/@vindiasari
Proses pembuatan batik ecoprint ini dimulai dari pengumpulan daun yang akan menjadi motif pada kain. Terdapat beberapa daun yang dipilih seperti daun kersen, daun jati, daun belimbing, hingga daun lanang yang terbilang mulai langka dan akan di Indonesia. Daun-daun yang telah dikumpulkan selanjutnya direndam di air cuka.
Perendaman memakai air cuka ini untuk daun yang akan diterapkan pada media kain berjenis sutera. Tujuannya agar warna dan coraknya terlihat saat sudah jadi. Setelah direndam beberapa saat, daun itu ditata membentuk motif di atas lembaran kain yang direntangkan di lantai.
Memukul daun pada kain/foto: brilio.net/@vindiasari
Terdapat beberapa cara atau teknik yang digunakan kelompok Eco-J dalam membuat batik ecoprint. "Ada banyak teknik yang kita gunakan. Untuk mendapatkan teknik yang pas, kita telah bereksperimen dan terus mencoba. Dari eksperimen tersebut kita belajar dan menemukan cara yang pas," kata Uut sembari menggulung kain ecoprint.
Digulung agar mudah saat proses pengukusan/foto: brilio.net/@vindiasari
Beberapa teknik yang digunakan meliputi krungkup atau menutup dengan kain yang telah dicelupkan pewarna hasil produksi mandiri komunitas ini. Terdapat pula teknik menutup daun kemudian dipukul dengan palu. Teknik tersebut merupakan teknik lanjutan. Setelah ditutup kain dan dipukul dengan palu, kain yang telah ditempeli daun dilapisi dengan plastik.
Teknik krungkup yang ditutup dengan kain rendaman pewarna/foto: brilio.net/@vindiasari
Proses selanjutnya kain yang telah dilapisi plastik tersebut digulung dan diikat dengan rafia dan dikukus. "Proses pengukusan memakan waktu sekitar 2 jam," kata Uut.
Selesai dikukus, kain ecoprint dibuka dari ikatan kemudian dikeringkan. Kain yang telah jadi itu selanjutnya direndam dengan air cuka atau tawas untuk mempertahankan warna dari kain.
Proses pengukusan memakan waktu sekitar dua jam/foto: brilio.net/@vindiasari
Setiap minggu, komunitas Eco J bisa memproduksi belasan hingga puluhan kain ecoprint. Selembar kain dijual dengan harga sekitar Rp 350 ribu untuk sutera, sedangkan katun sekitar Rp 450 ribu. Produk ecoprint dari Karangkajen ini telah menembus ekspor. "Produk kita sampai ke Australia dan disukai karena ramah lingkungan dan unik," kata Uut.
Produk ecoprint telah jadi. Setiap kain memiliki keunikan masing-masing. Motifnya nggak bisa sama/foto: brilio.net/@vindiasari
Hasil kain dari teknik krungkup lebih berwarna. Foto: brilio.net/@vindiasari
Menurutnya, orang luar negeri menghargai karya ini karena bisa dijadikan sebagai prasasti. Lewat kain ini mereka bisa mengenalkan tentang daun-daun yang ada di kain. "Membeli kain ecoprint sama saja menularkan kebaikan," sebut Uut. Packaging atau pengemasan kain Eco-J sendiri dibuat ramah lingkungan dengan kemasan dari anyaman bambu.
Produk ecoprint yang dipajang di TBM Asa telah dibuat dalam bentuk busana/foto: brilio.net/@vindiasari
Menggerakkan perekonomian
Kehadiran komunitas Eco-J ini dirasakan positif para anggotanya. Ibu-ibu yang biasanya berkutat dengan kegiatan di rumah, kini bisa berkumpul dan membuat produk bernilai jual. Dari segi ekonomi, para ibu rumah tangga mendapatkan tambahan pemasukan seperti yang diungkapkan oleh Bu Cin, sapaannya.
"Alhamdulillah, dalam sebulan tiap anggota bisa mendapatkan pemasukan bersih sekitar Rp 450 ribu," jelas Uut.
Komunitas Eco J ini tengah mempersiapkan pameran skala nasional bertajuk Inacraft di Jakarta. Selain pameran, workshop yang ditawarkan komunitas juga terus kedatangan peserta.
Ditanya mengenai rencana ke depan, Uut mengungkapkan tak memiliki target khusus terkait omzet atau penghasilan. "Kita tak ada target karena basisnya memang kegiatan senang-senang. Ke depan inginnya terus bereksperimen untuk menghasilkan karya yang lebih baik. Kalau kita berhenti mencoba, ilmunya ya sebatas itu saja," pungkas Uut.
Recommended By Editor
- Cuma dari bulu burung, seniman ini ciptakan 10 karya seni memukau mata
- 10 Karya sulaman unik yang bikin lapar dan haus, detailnya mengagumkan
- Ragam tas keren ini ternyata dibuat dari sampah, nggak nyangka banget
- Cuma bermodal Rp 700 ribu, bisnis ibu ini moncer setelah jualan online
- 10 Patung unik ini hanya dibuat dari kumpulan jam tangan bekas, wow!