Brilio.net - Blangkon merupakan tutup kepala untuk pria yang khas digunakan suku Jawa, khususnya daerah Yogyakarta, Surakarta, Kedu dan Banyumasan. Penutup kepala ini pada umumnya bermotif batik khas Jawa. Bentuknya bulat dengan tonjolan di bagian belakang.
Blangkon di setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri. Untuk daerah Yogyakarta, ciri khas blangkonnya yakni memiliki tonjolan bulat di bagian belakang yang disebut sebagai mondolan. Sedangkan daerah Surakarta tonjolan di bagian belakang berbentuk pipih.
Blangkon-blangkon tersebut dibuat handmade oleh para pengrajin blangkon. Untuk mengetahui seluk beluk pembuatan blangkon, brilio.net mengunjungi Omah Blangkon dan Batik yang berlokasi di Bugisan Patangpuluhan, Wirobrajan, Kota Yogyakarta.
Rumah blangkon yang berdiri hampir setengah abad ini terletak di dalam sebuah gang kecil. Penggagas awal Omah Blangkon dan Batik ialah Wagimin Darmo Wiyono. Kini usaha tersebut diteruskan ke anak-anak Wagimin. Salah satu putra Wagimin yang aktif memproduksi blangkon ialah Wibut Winarto (42).
Usaha ini dimulai pada November 1976. Awalnya, nama usaha ini adalah Liberastar. Atas usul dari anak-anak Wagimin, pada tahun 2010 nama usaha ini diganti Omah Blangkon dan Batik.
"Total karyawan yang bikin blangkon ada 9. Untuk perlengkapan jahit dan pola dalam ada sendiri. Spesialis wiru ada sendiri. Jadi total yang blangkon ada 11. Yang batik prodo di belakang ada 3," terang Winarto.
Pengrajin di Rumah Blangkon ini rata-rata berasal dari kerabat dekat. "Ini rata-rata masih saudara, yang bukan saudara juga kami anggap saudara", ujar Wianrto. Winarto menjelaskan bahwa pamannya sendiri yang membuat blangkon di Omah Blangkon dan Batik.
Rata-rata pengrajin di Omah Blangkon dan Batik sudah lanjut usia. Beberapa dari mereka mulai bekerja membuat blangkon sejak Omah Blangkon dan Batik berdiri. Ada yang kurang lebih 40 tahun setia bekerja bersama Winarto.
Membuat blangkon menurut Winarto perlu ketekunan dan kesabaran. Terlebih blangkon sendiri dibuat sarat dengan makna. Tiap sisi blangkon yang dibuat Omah Blangkon dan Batik ternyata punya makna dalam.
"Wiru itu yang standar, wiru kanan kiri ada 17 lipet. kemudian sisi belakang ini ada lima (lipatan) rukun islam. Kalau 17 itu maksudnya 17 rakaat dalam sehari semalam. Kemudian memenuhi kewajiban lima rukun Islam. Semuanya diikat agar selalu ingat dengan kewajiban kepada Tuhan Yang Maha Esa," jelas Winarto mengenai makna blangkon yang ia buat.
Hadirnya blangkon sejatinya tidak lepas dari pengaruh budaya Islam. Winarto pun menjelaskan bahwa tokoh-tokoh penyebar islam punya andil besar dalam munculnya blangkon di Tanah Jawa.
"Blangkon itu sebetulnya kalau saya penah mendengar ya cerita, ini versi penasihat keraton juga, itu dia memberi penjelasan blangkon itu dulu tokoh-tokoh Mataram itu, Mataram Islam ketika itu membikin udeng. Dulu itu lembaran segitiga atau segiempat, nah itu surban awalnya", jelas Winarto. Saat itu tokoh penyebar agama islam memakai ikat kepala yang biasa disebut surban di Timur Tengah. Cara pemakaian tersebut ditiru oleh rakyat Jawa.
Rakyat di Tanah Jawa dulu banyak yang memeluk agama Hindu. Saat itu mereka sudah memakai ikat kepala yang disebut sebagai udeng. Motifnya yang dipakai saat itu ialah batik.
Blangkon menjadi populer karena saat itu sebagai solusi simpel memakai udeng. "Rakyat yang ingin mengenakan aksesori kepala (udeng) itu dulu melihat tokoh-tokoh Mataram itu mengenakan udeng bisa bagus. Kemudian pingin belajar pingin memakai tapi ternyata juga kesulitan, terus lambat laun kemudian ada yang bisa mematenkan udeng iket ini, dipatenkan menjadi blangkon. Sudah ditata rapi kemudian dijahit jadilah blangkon. Blangkon itu asal klata blangko tinggal pakai praktis ya," jelas Winarto.
Blangkon memiliki ciri khas yang membedakannya dengan penutup kepala lainnya. Di bagian belakang blangkon ada tonjolan bulat. "Mondolan kok bisa bulet seperti ini tokoh-tokoh itu Mataram zaman itu rambutnya panjang kemudian digelung dibuntel kemudian ditata rapi disingset, jadi mondolan. Dulu aslinya isin yaitu rambut. kemudian (bulatan rambut) dipatenkan di blangkon Mataram ada mondolan. Kalau yang pipih itu juga bukan nggak ada mondolanya, itu mondolan tapi gepeng pipih seperti model Solo-Kartasura," jelas Winarto.
Winarto membuat beragam jenis blangkon. Namun biasanya ia membuat Blangkon model Mataraman. Adapun blangkon yang ia produksi sudah pernah dipakai banyak kalangan.
foto: brilio.net/sam
Pihak Keraton Yogyakarta pernah memesan blangkon di Omah Blangkon dan Batik. "Sekarang abdi dalem banyak. Abdi dalem ada ribuan, itu mereka dapat kalau yang sudah tidak magang medapatkan paringan (dari keraton) blangkon. Termasuk blangkon dari keraton memesan sekian ratus dalam kurun waktu berapa tahun," jelas Winarto.
Tidak hanya pihak Keraton Yogyakarta, mantan presiden Soeharto dan keluarga Cendana pernah memesan Blangkon di Omah Blangkon & Batik. Sudah beberapa kali keluarga Cendana memesan blangkon produksi Winarto. Blangkon tersebut dipesan saat hajatan Siti Hardijanti Rukmana (Mbak Tutut), Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), sampai pada pernikahan Bambang Trihatmodjo dengan Mayangsari.
Winarto mengaku bisa membuat blangkon untuk keluarga Cendana karena kenalan seorang rekan. Ada perias pengantin yang punya channel dengan keluarga Cendana. Perias pengantin tersebut membawanya menjadi pembuat blangkon keluarga Cendana.
Saat membuat blangkon untuk mantan Presiden Soeharto, ada sedikit cerita menarik. Blangkon yang dibuat ukurannya salah. Ayah Winarto, Wagimin dipanggil langsung ke rumah keluarga cendana untuk memperbaiki blangkon.
foto: brilio.net/sam
"Dulu itu Pak Harto sendiri itu ukurannya 59 kalau nggak salah, kemudian pas beliau sakit itu minta diukur itu 57. Setelah order jadi semuanya jadi diambil dicoba kok ukurannya nggak sesuai yang khusus untuk beliau itu bapak (Wagimin) 'ditimbali' kesana untuk merubah biar pas nyaman dipakai buat alm Pak Harto itu," cerita Winarto.
Menurut cerita Winarto, Wagimin mengira akan memegang kepala mantan Presiden Soeharto. Ternyata bayangan Wagimin salah.
"Kan ketika itu cerita bapak itu mau ngukur kepalanya (Soeharto) itu ndak boleh sama ajudannya udah ini blangkon itu dipakai Pak Harto kemudian ini selisih 'loboknya' berapa jari, dua jari tiga jari, satu jari dengan ancer-ancer itu bapak langsung merubah juga di sana, bawa alat waktu itu. Setelah dirubah hanya ndak ada seperempat jam lah sudah selesai dipakai ternyata sudah pas ukurannya pas dipakai nyaman sudah, terus pulang. Yang dari rumah ada keinginan pengen ketemu Pak Harto iki ternyata nggak bisa," kenang Winarto.
Blangkon buatan Winarto tidak hanya jadi langganan mantan Presiden Soeharto, namun juga diminati masyarakat mancanegara. Ia sudah pernah mendapat pesanan dari Malaysia, Amerika Serikat, Australia, dan Eropa. Mereka memesan untuk dipakai sendiri.
Dulu usaha blangkon milik keluarga Winarto pernah mengalami masa sulit. Keluarga Winarto pernah memasarkan blangkon di pasar Beringharjo, Yogyakarta. Karena beberapa masalah, ia memutuskan tidak lagi menjual blangkon di pasar Beringharjo. Keputusan tersebut cukup berat diambil karena usahanya sudah lama bergantung dengan jual beli di pasar Beringharjo.
Ternyata ada jalan lain untuk meneruskan bisnis blangkon. Omah Blangkon dan Batik kini memiliki pelanggan sendiri. Saat ini beberapa toko dan salon pengantin memesan blangkon dari Omah Blangkon dan Batik. Salah satu pengusaha sukses Hamzah Sulaiman pemilik Hamzah Group juga memesan di Winarto.
Selengkapnya: