Brilio.net - Ternyata bukan cuma Valentino Rossi yang bisa kebut-kebutan. Mahasiswa yang diburu deadline tugas pun bisa lebih kencang daripada VR46 di Sirkuit Sepang. Otak bisa mendadak canggih kala ambang waktu pengumpulan tugas sudah menagih. Bak Bandung Bondowoso, tugas yang tadinya belum dikerjakan bisa mendadak siap dikumpulkan. Nah, proyek Roro Jonggrang ala mahasiswa ini biasa disebut sebagai Sistem Kebut Semalam (SKS).

Dalam situasi yang penuh tekanan, Sistem Kebut Semalam sering jadi pilihan. Tuntutan akademik yang beragam, dari tugas harian, proyek kelompok, ujian tengah dan akhir semester membuat mahasiswa harus mengerahkan tenaga, waktu dan segenap kemampuan. Belum lagi urusan kehidupan sosial yang juga nggak bisa ditinggalkan. Nggak sedikit mahasiswa yang perlu bersosialisasi dengan ikut kegiatan organisasi, atau sekadar main sana-sini.

Demi menyeimbangkan perkuliahan dan berbagai kegiatan, mode panik pun terpaksa dinyalakan. Tapi benarkah Sistem Kebut Semalam ini menandakan kalau mahasiswa itu nggak bisa membagi waktu? Atau sebenarnya metode belajar dan mengerjakan tugas ini jadi strategi bertahan di tengah tingginya tuntutan perkuliahan? Untuk menjawab hal ini, brilio.net berbicara dengan segelintir mahasiswa di sela perkuliahannya.

Sistem Kebut Semalam: Kebiasaan atau strategi bertahan?

Mahasiswa Teknik Industri bernama Farchan (24) ini menjawab rasa penasaran akan metode kebut semalam. Rupanya mahasiswa rumpun sains ini adalah salah satu mahasiswa yang menerapkan metode SKS dalam mengerjakan tugas atau belajar buat perkuliahan. Eits, tapi bukan karena kepepet, metode belajar ini baginya lebih mudah dilakukan. Apalagi ia termasuk mahasiswa yang punya banyak kegiatan.

“Kalau aku SKS sih, soalnya pas ujian misalnya, materinya jadi masih fresh di ingatan,” ujarnya pada brilio.net.

Diakuinya, sulit untuk mengerjakan tugas sebelum dihadapkan pada deadline. Proses mencerna tugas di awal pemberian baginya lebih lama dibanding pengerjaannya. Saat diberikan tugas, salah satu mahasiswa perguruan tinggi negeri mengaku sering kebingungan dulu. Tapi kalau sudah masuk ambang waktu pengumpulan, baru deh otaknya bisa jalan.

“Kadang tuh kalau ada tugas, suka panik dulu, gimana ya ngerjainnya? Jadi nggak langsung dikerjakan. Kalau udah mepet deadline baru muncul ide-idenya,” ia menambahkan. Meski ia mengakui bahwa SKS tidak begitu baik, namun untuk kasus tertentu, menurut Farchan, SKS adalah metode alternatif yang cukup menantang. “Sebenernya nggak bagus sih, tapi ya gimana lagi, kadang ada tugas yang memang harus diselesaikan dengan SKS,” pungkasnya.

pengakuan mahasiswa soal sistem kebut semalam © brilio.net

foto: brilio.net/Farika Maula

 

Namun, apa yang dirasakan Farchan ini tak berlaku bagi mahasiswi keguruan bernama Ida (nama disamarkan demi kenyamanan narasumber). Bagi mahasiswi cantik ini, metode belajar dengan kebut semalam tak ubahnya sebuah respons panik. Ia juga berpendapat bahwa menyerap ilmu itu butuh waktu dan tidak bisa dilakukan melalui proses yang tergesa-gesa.

“Kalau aku nggak bisa sih SKS gitu. Soalnya, proses literasi kan butuh waktu ya, kalau dilakukan dalam semalam gitu menurutku jatuhnya respons panik aja sih,” tutur ia sembari menikmati sebotol air mineral dingin.

Ida juga menepis pemikiran populer bahwa ide baru bisa muncul saat mepet deadline. Baginya, itu bukan ide yang mengalir begitu saja, namun buah dari tuntutan dan keterpaksaan karena tugas sudah harus dikumpulkan.

“Kalau dibilang ide bisa muncul pas mepet deadline aja, nggak juga sih. Menurutku itu cuma respons panik aja, karena mau nggak mau harus dikerjakan, kan? Kalau begitu hasilnya malah jadi nggak maksimal,” paparnya.

Ia mengungkapkan selama ini metode belajar dan mengerjakan tugas konsisten dengan mencicil sedikit demi sedikit. Ia juga menerapkan jam tidur maksimal pukul 22.00 agar paginya bisa bangun dengan fresh. Ida mengakui dirinya bukan tipe mahasiswa yang bisa begadang hingga tengah malam apalagi sampai menjelang fajar.

“Aku jam sepuluh malam pasti udah tidur. Kalau ada tugas atau apa yang belum selesai, mending tidur dulu yang cukup, terus dilanjutkan pagi harinya,” tutupnya.

pengakuan mahasiswa soal sistem kebut semalam © freepik.com

foto: freepik.com

Dilema soal Sistem Kebut Semalam (SKS) ini dirasakan pula oleh Gita, mahasiswi Ilmu Komunikasi yang sudah menginjak semester lima. Sebagai seorang mahasiswa, ia sudah menjalani dua metode pengerjaan tugas, baik yang dicicil maupun kebut semalam. Dari dua metode ini, Gita mengakui bahwa tugas yang dikerjakan dengan SKS hasilnya lebih awut-awutan dibanding kalau minimal tiga hari sebelum deadline sudah dikerjakan.

“Kalau aku sih (SKS) tergantung mood. Kadang-kadang bisa SKS, kadang-kadang bisa tiga hari sebelum (deadline). Kalau pas SKS gitu ya, misalnya deadline-nya jam tujuh pagi, ya aku bisa nggak tidur,” bukanya.

Ketika ditanya apakah sistem kebut semalam memengaruhi hasil tugas, ia pun mengamini bahwa hasilnya tidak akan maksimal. “Menurut aku mahasiswa yang SKS gitu bikin tugasnya lebih sembarangan dibanding kalau misalnya tiga hari sebelum (deadline),” katanya.

Gita juga berbagi tips agar mahasiswa nggak melulu mengerjakan tugas dengan metode SKS. “Dipahami tugasnya apa, dicermati tugasnya, terus bikinnya jangan mepet-mepet biar kalau rasa-rasanya ada yang mau direvisi, bisa direvisi,” terangnya.

Terlepas dari dilema cara belajar yang dialami mahasiswa, memang nggak ada metode yang pasti efektif bagi setiap orangnya. Tapi, dengan mencicil sedikit demi sedikit, mahasiswa bakal punya waktu yang cukup untuk memastikan kualitas tugas yang sudah dikerjakannya. Pada dasarnya, mahasiswa juga bakal dinilai dari seberapa komprehensif tugas yang berhasil diselesaikannya.