Brilio.net - Masa pandemi nggak hanya menghadirkan cerita pilu. Bagi mereka yang bisa memanfaatkan situasi, pandemi Covid-19 ini juga bisa membawa berkah tersendiri. Memanfaatkan peluang yang ada, beberapa orang justru meraih untung di masa sulit ini.
Tak mau hanya pasrah pada situasi, beberapa orang memanfaatkan kondisi saat ini untuk mencari rezeki. Membuka usaha sampingan jadi salah satu jalan ninja yang ditempuh untuk mencari tambahan penghasilan.
Ketika gaya hidup sehat kini menjadi kebiasaan baru bagi masyarakat, usaha makanan sehat, minuman sehat dan obat herbal jadi peluang yang banyak dilirik untuk dijadikan bisnis. Meningkatnya kebutuhan orang terhadap gaya hidup sehat itu lah yang kemudian membawa Retno Hermawati melirik usaha jamu.
Lewat brand Sejiwa, Retno yang juga berprofesi sebagai seorang jurnalis ini menawarkan berbagai macam jamu yang dibuat dari bahan alami. Berawal dari makanan tradisional pada 2016, ia kemudian mengembangkan usahanya dengan membuat jamu pada 2018.
Retno tak memungkiri jika masa pandemi membuat usaha sampingannya tersebut mengalami kenaikan dalam segi penjualan. Kebutuhan orang untuk mengonsumsi minuman berbahan alami sebagai upaya menjaga imun, mendorong para pembeli melirik jamu buatannya.
"Kenaikan pasti ada karena ada demand (permintaan) yang tinggi, orang banyak cari, kemudian menyesuaikan kantong kan. Sejiwa harganya middle," kata Retno saat dihubungi brilio.net, Minggu (22/11).
foto: Instagram/@sejiwacuisine
Salah satu produk jamu unggulannya yang banyak dicari orang adalah kunyit asam dan mpon-mpon atau yang dikenal jamu presiden. Khusus untuk mpon-mpon tersebut, Retno memang mengadaptasi resep yang pernah dibagikan Presiden Jokowi melalui media sosialnya.
Tak disangka, mpon-mpon buatannya bisa dibilang menjadi primadona selama pandemi. Tak hanya menyasar konsumen yang sudah lanjut usia atau usia matang, Retno juga membidik anak-anak lewat produk jukajo (jus kacang hijau) yang ia buat layaknya menu di katering pesawat kepresidenan.
Dikemas dengan kekinian menggunakan botol berukuran 500 ml, harga terjangkau dari Rp 20.000 - 25.000, dan aroma yang tidak terlalu berbau rempah, membuat jamunya banyak dilirik kaum milenial. Lewat usahanya tersebut, Retno dapat mengubah mindset bahwa jamu nggak hanya dikonsumsi orang tua.
Belum memiliki toko resmi, sementara ini Retno masih menitipkan jamu buatannya melalui reseller.
"Kini yang beli di Sejiwa, 90% milenial. Tastenya memang nggak terlalu berbau jamu dan teksturnya nggak sangat kental, tapi juga nggak encer. Medium. Itu yang bikin mudah diterima anak-anak muda," tambah Retno.
Dalam memproduksi jamunya, Retno memanfaatkan bahan-bahan alami yang ia dapat dari petani lokal dan pasar tradisional. Dalam satu hari, Retno bisa menjual 30 hingga 70 botol per hari. Ia juga pernah mendapat pesanan hingga 105 botol sehari dari Andy F Noya.
foto: Instagram/@sejiwacuisine
Lantaran menggunakan bahan alami dan tanpa pengawet, konsumen Retno masih berada di kawasan Jabodetabek. Ia juga memanfaatkan media sosial untuk memasarkan produknya. Beberapa selebgram dan selebriti, seperti Ronal Surapradja dan Uli Herdiansyah juga turut membantu memperkenalkan jamunya.
Jamu yang kini menjadi kebutuhan baru masyarakat menjadi salah satu faktor yang membuat usahanya kian berkembang. Dari awalnya hanya mengisi waktu luang, usaha sampingannya ini justru menghasilkan income yang lebih besar dari penghasilan utamanya.
"Ya banget (menjanjikan)! Saya pikir, manusia masa kini nggak bisa mengandalkan single income, entah itu pekerjaan apapun," jelasnya.
Menghilangkan stres dengan menghasilkan sesuatu
Selain bertujuan mencari penghasilan tambahan, Retno juga menjadikan usahanya ini sebagai tempatnya untuk menghadirkan kesibukan. Di masa pandemi ini, kesibukannya di dapur juga secara nggak langsung jadi upaya agar terhindar dari rasa stres.
"Waktu kita untuk mobile, jadi terpangkas. Kita punya banyak waktu di rumah. Mengerjakan pekerjaan domestik dan menjalankan bisnis. Itu seru banget. Kadang saya malah tidak merasa punya waktu luang, karena waktunya habis, asyik di dapur, tiba-tiba sudah tengah malam," ungkapnya.
Retno juga tak merasa kesulitan dalam membagi waktu dan fokusnya saat menjalankan usaha sekaligus pekerjaan utamanya. Baginya, pekerjaannya sebagai jurnalis tetap jadi prioritas utama. Bolak-balik dari ruang kerja ke dapur sudah jadi rutinitas hariannya kini.
Tak bisa memasarkan langsung jamu buatannya juga tak jadi hambatan. Baginya, masa pandemi justru membuatnya dapat belajar tentang teknologi lebih cepat. Ia memanfaatkan berbagai platform media sosial untuk memasarkan dan melayani pembeli.
"#dirumahaja, tapi #bisadapatbanyakhal. Kita nggak perlu lagi melayani pelanggan tatap muka. Dulu, 1-2 kan ada yang perlu ditemui karena butuh diyakinkan. Kini enggaklah. Ada media sosial, ada WA, ada zoom, google meet, bikin kita lebih mudah aja," tuturnya.
Retno berpendapat pentingnya memiliki usaha sampingan bisa jadi persiapan jika situasi yang tidak diinginkan melanda. Baginya, memulai usaha tak melulu soal mempersiapkan modal besar. Semua hal bisa dimulai dari sesuatu yang dipunya dan mengenali potensi diri.
"Misalnya punya komputer ya ngapain kek, nulis, jualan desain, dll. Punya dapur kayak saya, ya mulai masak, bikin jamu. Orang kadang memulai usaha udah mikiran sewa tempat, bayar pegawai, beli perabotan. Mumet sendiri. Mulailah dari risiko yang terkecil aja," jelasnya.
foto: Instagram/@sejiwacuisine
Meski hobi masak, namun Retno sendiri awalnya tak mengetahui cara pasti membuat jamu. Semua ia pelajari secara otodidak dengan mempelajari literatur pendukung. Ia pun tak mempersoalkan soal persaingan bisnis. Baginya, bisnis bukan soal kompetisi.
"Tapi bagaimana kita mengajak orang lain hidup sehat. Yang nggak beli jamu di Sejiwa bisa beli di tempat lain. Bahkan penjual jamu keliling. Kebutuhan orang sangat berbeda-beda, sesuai kantong dan seleranya," ucap perempuan asal Wonosobo ini.
Meski kini sudah memiliki usaha sampingan yang menjanjikan, namun Retno tak berniat meninggalkan pekerjaan utamanya. Menurutnya, bisnis dan pekerjaannya sebagai jurnalis merupakan dua hal berbeda yang nggak bisa dibandingkan.
"Tapi itu nggak bisa dibandingkan karena ada hal yang berbeda, menjadi jurnalis itu kan idealisme. Bisnis juga hal yang berbeda. Keduanya memberikan saya banyak pelajaran hidup," tutupnya.
Obat herbal jadi peluang menambah pemasukan rumah tangga
Memanfaatkan peluang di tengah pandemi juga memberi ide baru bagi Ameilia Arista. Perempuan asal Sragen yang juga ibu rumah tangga ini merabah bisnis obat herbal sebagai usaha tambahan. Sebelumnya, Arista sudah memiliki usaha kedai jus dan menjual frozen food.
Berawal dari kebiasaannya dan keluarga yang sudah mengonsumsi obat herbal sebelum pandemi, Arista kemudian membagikan tips tersebut sebagai cara menjaga kekebalan tubuh kepada orang-orang terdekat. Dari situlah ia kemudian menemukan peluang bisnis.
"Pas pandemi, ada beberapa teman suami yang nanya. Dikasih lah info soal obat herbal yang kita konsumsi. Nggak langsung kita jual sih. Kita kasih coba dulu, eh ternyata cocok," katanya dihubungi di waktu berbeda pada Sabtu (21/11).
Bermula dari situlah, ia dan suami kemudian memutuskan untuk menjadikan bisnis ini sebagai lumbung mencari penghasilan tambahan. Apalagi para konsumennya turut membantu memasarkan obat herbalnya lewat mulut ke mulut.
Obat herbal yang jual Arista sendiri bukan produksi sendiri. Ia baru menyediakan obat-obat herbal tersebut sesuai keluhan konsumennya. Arista dan suami sendiri bekerja sama dengan salah satu klinik untuk menyediakan obat herbal bernama Bio Syafa. Kebanyakan produk yang ia sediakan dalam bentuk cair.
foto: dok.pribadi
Memiliki usaha lain dan pekerjaan utama, membuat Arista belum secara serius menjalani usaha tersebut. Sejauh ini, ia masih memasarkan obat herbalnya kepada orang-orang terdekat.
Meski begitu, ia mengaku hasil penjualan obat herbal yang sudah ia jalani sejak April 2020 lalu, cukup mendongkrak pemasukannya.
"Perbulan tuh pernah (keuntungannya) bisa sejuta dua juta lah gitu. Karena kan kita memang jualannya nggak di-up lewat media sosial. Emang benar-benar dari kalangan kita sendiri dulu," ungkapnya.
Dibanderol seharga Rp 40.000 hingga Rp 100.000, para konsumen yang memburu obat herbal jualannya tak kapok untuk repeat order. Beberapa bahkan tak sungkan membeli dalam jumlah banyak untuk dijadikan stok. Meski dipermudah dengan situasi pandemi yang membuat orang peduli terhadap kesehatan, bukan berarti Arista tak menemukan kendala.
Obat herbal yang masih dianggap sebelah mata, membuat Arista sempat menemukan kesulitan untuk menyakinkan calon konsumennya. Apalagi harga obat herbal yang cenderung lebih mahal kerap membuat calon konsumennya berpikir dua kali. Meski begitu, ia tak patah semangat untuk memperkenalkan produknya.
"Memang sedikit mahal tp insyallah manfaatnya lebih lama. Dan tidak ada efek samping seperti kimia. kalaupun ada efek samping itu efek samping alami seperti sering buang air kecil gitu," ujarnya.
Agar bisa merambah ke konsumen yang lebih luas, Arista juga menyediakan obat herbal dalam bentuk minuman yang ia produksi sendiri bersama sang ayah. Dikemas dalam botol plastik, obat herbal produksinya tersebut dibuat dari bahan alami yang berasal dari air rebusan seledri, pare dan fermentasi kelapa.
foto: dok.pribadi
Kehadiran obat herbal produksinya sendiri tersebut bisa menjadi pilihan bagi calon konsumennya. Pasalnya, ia dan keluarga sepakat tak mematuk harga. Konsumen boleh membayar seikhlasnya untuk obat herbal tersebut. Tak memikirkan soal untuk dan rugi, baginya membantu sesama di tengah kondisi yang sulit ini jadi niatnya.
"Bukan maksud apa apa, memang niat kami kasih free agar bisa bantu lebih sehat," pungkasnya.
Recommended By Editor
- Bertahan di tengah pandemi, ini trik yang dilakukan penggiat batik
- Kiat bertahan pedagang Bakpia Jogja saat pandemi, rugi nyaris 100%
- Tren gaya hidup sehat saat pandemi, kini jadi keranjingan olahraga
- Dari mulanya takut corona, gaya hidup sehat kini bikin nagih
- 7 Jenis tanaman obat tradisional cocok ditanam di rumah & manfaatnya