Brilio.net - Sebagian orang, terutama para pelancong, pasti akan memilih pantai Gunungkidul menjadi destinasi wisata yang wajib dikunjungi ketika berlibur ke Jogja. Namun, jika menilik ke dalam ternyata ada hidden gem yang menawarkan sensasi alam tak kalah dari pantai. Tempat itu adalah river camp Potrobayan yang berlokasi di Srihardono, Pundong, Bantul.

Lokasinya terbilang cukup jauh dari pusat kota Yogyakarta. Butuh waktu 1 jam dengan menggunakan kendaraan roda dua, dari pusat kota menuju tempat itu. Lokasi jalanan yang berlubang dan masih belum beraspal, mirip dengan jalanan ala offroad.

Begitu sampai di lokasi, pengunjung bakal terhenyak dengan panoramanya. Bisa dibilang, lelahnya perjalanan akan terbayarkan dengan menikmati pemandangan ini. Berkunjung ke tempat ini hanya dikenakan biaya Rp3.000 sebagai retribusi parkir. Pengunjung yang hanya menikmati pemandangan tak dikenakan biaya. Kecuali, mereka yang berniat untuk ngecamp di area ini.

Wisata tanpa tiket masuk

Diungkapkan Rahmat, pengelola Potrobayan, jika biaya ngecamp pun terbilang cukup murah, dimana satu orang hanya dikenakan biaya Rp 10 ribu. Pria gondrong yang akrab disapa Komet ini menyebut sebelum adanya penarikan tarif biaya ngecamp, dulunya orang-orang membayar secara sukarela.

"Disini tuh awalnya cuma seikhlasnya. Kayak ada rombongan 20 orang ngasihnya Rp 2 ribu. Ada banyak itu udah hal biasa," paparnya sambil menghisap sebatang rokok, beberapa waktu lalu.

Lambat laun, banyak pihak yang memberikan masukan untuk memasang tarif. Hingga akhirnya, ia bersama sang adik Ferdi yang juga pengelola wisata tersebut memutuskan untuk memasang tarif bagi pengunjung yang akan ngecamp/menginap menggunakan tenda di area sekitar Potrobayan.

potrobayan lokasi syuting gala bunga matahari  brilio.net

foto: brilio.net/Ferra Listianti

"Terus kita diprotes sama teman-teman media yang lain, akhirnya ya sudah sekarang Rp 10 ribu untuk satu orang yang mau camping," paparnya.

Tapi demikian, tarif tersebut hanya untuk mereka yang ngecamp. Selebihnya, ia tidak memasang tarif bagi pengunjung lain yang hanya menikmati pemandangan sungai dengan latar pegunungan tersebut. Tak lain karena ia ingin pengunjung yang berdatangan nggak terbebani dengan tarif yang dipatok pengelola tempat wisata.

"Ada juga masukan ditarik biaya. Tapi nanti kalau misalnya disini apa-apa bayar nanti pengunjungnya juga kurang. Kita lebih pilih sedikit tapi stabil, daripada sekalinya banyak terus tutup," ungkapnya.

Walau tak berbayar, ada salah satu aturan yang harus dipatuhi selama berada di tempat ini yaitu tidak boleh meninggalkan sampah. Para pengunjung yang datang wajib membawa pulang sampahnya masing-masing. Mereka juga harus memastikan tidak ada sampah tertinggal di sekitar area tempat wisata ini.Hal ini menjadi perhatian khusus bagi Rahmat yang juga pegiat lingkungan tersebut, agar kebersihan dan keindahan sungai tetap terjaga.

"Yang jelas saya pribadi pengennya mereka itu datang kesini mengikuti peraturan dan imbauan yang ada. Yang penting mereka tertib bisa menjaga tempat disini. Itu saja cukup," katanya.

Dulunya tambang pasir

Berada di area pegunungan, kamu akan merasakan sensasi semilirnya angin yang berembus dan suara aliran air sungai yang mendamaikan. Cocok buat kamu yang membutuhkan tempat tenang untuk sekedar melepas penat. Salah satu hal yang tak banyak orang tahu, sebelum Potrobayan menjadi objek wisata sungai yang cocok buat kaum mager, dulunya tempat ini adalah area tambang pasir.

"Ini tuh dulunya awalnya lahan tambang pasir. Dulu full masyarakat di sini tuh pencarian utamanya pasir. Dulu yang di parkiran itu juga sungai," jelas pria kelahiran 90-an yang sudah 3 tahun mengelola area tersebut.

Tempat wisata ini baru dibuka di akhir 2021. Setelah sempat mangkrak saat tak lagi dijadikan area tambang pasir. Bahkan, diungkapkan Rahmat, dulunya sungai yang jadi pertemuan aliran sungai Opak dan Oyo ini dipenuhi dengan bebatuan dan tanaman ilalang. Hal ini membuat orang sekitar menjadikan area ini sebagai lintasan jeep offroad dan trail.

potrobayan lokasi syuting gala bunga matahari  brilio.net

foto: brilio.net/Ferra Listianti

"Dulu nggak kayak gini. Dulu batu, ilalang. Kalau buat camping dan kegiatan outdoor baru akhir 2021," tandasnya.

Berawal dari iseng

Dirintis oleh Rahmat dan adiknya, Ferdi, awalnya ia tak berniat menjadikan Potrobayan sebagai tempat wisata. Saat itu, kala tengah gencar aturan PPKM di tengah pandemi Covid-19, Rahmat dan Ferdi mencari kesibukan untuk menghilangkan rasa bosan dan jenuh seharian di rumah.

Sebagai pegiat lingkungan, ia pun mengajak adiknya untuk membersihkan area sungai Potrobayan. Saat sudah bersih dan terbebas dari sampah, ia mengajak teman-teman yang lain untuk mendirikan tenda di dekat aliran sungai. Momentum matahari terbit dan tenggelam, membuatnya memutuskan untuk membuat area ini jadi wisata umum yang bisa dikunjungi banyak orang.

"Awalnya iseng, karena saya dan adik saya (Ferdi) nggak ada kegiatan pas PPKM pandemi Covid-19 nggak bisa kemana-mana. Awal-awal ngajakin teman-teman lain kesini. Berkelanjutan lah sampai sekarang," jelasnya.

Tentu pada awalnya, area camping tidak seluas sekarang. Saat itu, hanya cukup untuk 1-2 tenda saja di bagian tengah. Seiring berjalannya waktu, ia pun bergotong royong dengan teman-temannya yang merupakan warga setempat untuk memperluas area dengan membersihkan dari rerumputan liar.

potrobayan lokasi syuting gala bunga matahari  brilio.net

foto: brilio.net/Ferra Listianti

"Waktu kita buka dulu lebih sempit dari ini. Dulu area sini (menunjuk area bagian timur) cuma muat sekitar 6-7 tenda. Di sini (area tengah) cuma buat buat 1-2 tenda," kata pria yang sempat mengenyam pendidikan di Akakom jurusan Sistem Informasi tersebut.

Sistem buka tutup

Tapi demikian, tak seperti tempat wisata lainnya, Potrobayan menggunakan sistem buka tutup. Dalam setahun, hanya ada 6 bulan full yang bisa dikunjungi oleh pengunjung. Sisanya, digunakan untuk membersihkan area sekitar karena luapan air saat musim hujan.

"Kalau musim hujan meluap sampai parkiran. Kondisional buka tutupnya," sebutnya.

Sistem buka tutup ini pun diinformasikan melalui media sosial Instagram @potrobayan. Meski hal itu juga tentunya mengurangi pemasukan, tapi Rahmat justru mensyukurinya. Sebab, ada berkah dibalik datangnya musim hujan hingga membuat sungai banjir.

"Tapi di balik banjir itu sendiri kayak ngerubah tempat. Jadi setiap tahun tempatnya berubah. Jadi daya tarik tersendiri juga bagi para pengunjung yang mungkin udah kesini beberapa kali," terangnya.

Langganan jadi tempat syuting

Potrobayan River Camp ini bukan hanya sekedar tempat asyik untuk mencari ketenangan saja, namun juga jadi lokasi syuting video klip. Jika dilihat dalam video klip Gala Bunga Matahari, tampak Landung Simatupang yang mengalirkan bunga ke sungai. Rupanya scene di pinggiran sungai tersebut diambil di Potrobayan.

"Kalau video klip Gala Bunga Matahari itu memang mereka langsung datang kesini," kata Rahmat.

Video klip yang seketika trending di YouTube itu digarap sutradara Aco Tenri yang dibintangi Gempita Nora Marten dan aktor senior Landung Simatupang. Rahmat menceritakan, jika pihak Aco Tenri datang di pagi hari pukul 05.00 untuk mengambil scene di tempat tersebut. Tak lama, sebab, Rahmat pun menambahkan jika ia sengaja tak menutup akses untuk pengunjung lain yang akan datang ke Potrobayan.

Jika selama ini menyebut Potrobayan hits berkat Gala Bunga Matahari, Rahmat menyangkal kabar itu. Jauh sebelum dilakukan syuting lagi Sal Priadi, tempat ini sudah jadi jujukan beberapa musisi untuk syuting. Sebut saja, Denny Caknan dan Cakka Nuraga jebolan Idola Cilik.

"Kayak Bravesboy Bimaco itu kan dulu awalnya kesini ngecamp dan akhirnya sering kesini bikin video clip, bawa Denny Caknan, artis cilik Cakka Nuraga itu yang bawa juga masih orang itu juga," tandasnya.

Pernyataan ini pun seakan juga dibenarkan oleh salah satu pengunjung bernama Hasan (22). Mengetahui info Potrobayan dari Instagram, saat pertama kali mengunjungi Potrobayan, ia menyebut jika saat itu begitu ramai pengunjung. Bahkan, lebih ramai jika dibandingkan saat Brilio.net mengunjunginya sore hari.

"Waktu itu ramai banget sih mbak, karena baru viral. Kayaknya lebih ramai dulu sih. Dulu penuh di sini, tenda-tendanya juga," kenang Hasan.

Selain Hasan, ada Nabil dan Ayu tampak asyik menikmati pemandangan alam sembari ngegrill bareng ketika itu. Bahkan, peralatannya pun sudah cukup lengkap, mulai dari kompor, wajan, daging, hingga bahan-bahan makanan lain. Saat saya mendatangi mereka, bau wangi daging bercampur mentega membuat perut saya tergugah untuk ikut mencicipi.

potrobayan lokasi syuting gala bunga matahari  brilio.net

foto: brilio.net/Ferra Listianti

"Ini yang ke dua kalinya. Dari teman. Awalnya sama teman-teman nongkrong. Terus kayaknya enak buat nge-grill. Jadi ngajak (menunjuk sang kekasih) ngegrill," ujar Nabil yang tengah asyik ngegrill bersama sang kekasih, Ayu.

Senada dengan Nabil, Hasan yang saat itu tampil dengan outfit serba hitam, dari jaket, celana, sampai topi, mengaku juga sudah dua kali datang ke Potrobayan. Kali ini ia melakukan hal berbeda. Bersama keempat temannya yang lain, Hasan memutuskan untuk ngecamp. Mereka datang ketika matahari terbenam digantikan cahaya bulan.

"Semalam, paling besok jam 08.00 udah pulang. Disini mau mancing, prinsip teman saya ini dimana ada air disitu ada ikan. Sama ngegrill. Udah bawa persiapan," ungkap Hasan dengan tertawa.

Swadaya mandiri

Meskipun sudah dikenal oleh banyak orang hingga dijadikan tempat syuting video klip, tapi Rahmat berujar jika pengelolaan tempat wisata itu dilakukan secara mandiri tak ada perhatian dari pemerintah setempat. Begitupun, dengan penataan dan fasilitas yang ada dilakukan mandiri.

"Ini kita mandiri dari awal sampai jadi kayak bangunan, kayak warung, kamar mandi, listrik. Itu hasil dari dana perawatan, dana dari pengunjung. Murni dari dana pengunjung, nggak ada dari desa, dusun," tandasnya, sambil menatap aliran sungai di depannya.

Perhatian yang kurang dari pemerintah tersebut tak menyurutkan niat Rahmat untuk memajukan wisata di selatan Kota Yogyakarta tersebut. Disebutkannya, jika dana operasional untuk pembangunan fasilitas seperti kamar mandi, musala, bahkan Wifi untuk para pedagang itu dapatkan dari uang masuk yang diberikan oleh pengunjung. Sementara untuk pemasarannya, ia menggunakan media sosial yang dikelolanya sendiri.

potrobayan lokasi syuting gala bunga matahari  brilio.net

foto: brilio.net/Ferra Listianti

"Uang pemasukan itu kita kumpulin buat pembangunan, apa yang masih kurang, fasilitas apa yang masih harus kita penuhi. Karena kan adminnya saya sendiri dan pengelolaannya saya sendiri juga," katanya.

Keuntungan kembali ke warga

Dalam perbincangan tersebut, Rahmat menegaskan jika tidak menghabiskan uang pemasukan Potrobayan untuk kepentingannya sendiri, melainkan untuk kebutuhan warga sekitar juga. Misalnya untuk memberikan kas ke setiap RT, menggunakan untuk tambahan dana event kampung, hingga kebutuhan lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

"Setiap bulan sekali kadang tiga bulan sekali tergantung pendapatan, kita memberikan kas per RT Rp 500 ribu. Misalnya ada kegiatan kampung, kita juga full support. Seperti tahun lalu kita memberikan bantuan berupa konsumsi untuk acara 17 Agustus," tegasnya.

Rahmat pun mengungkapkan, jika ia tak pernah pelit untuk memberikan dana demi kepentingan warga. Sebab, ia ingin mengelola tempat wisata itu untuk memajukan perekonomian desa setempat. Kendati, semua itu tak bisa serta merta ia lakukan saat ini.

"Kita kalau untuk kampung nggak mikir-mikir. Kayak misalnya pembuatan jembatan atau bikin jalan kita pasti tetap memberikan kas," tambahnya.

Jika dipikir kembali, pemberian dana untuk warga sebenarnya sudah menjadi salah satu wujud bakti Rahmat kepada masyarakat sekitar. Tetapi ada saja yang tak menyukai pembukaan tempat wisata Potrobayan. Mereka selalu mencurigai aliran dana yang dinilai cukup besar tetapi tak kembali kepada mereka. Padahal, Rahmat menerangkan jika ia tak ada sepeserpun serakah dalam mengambil keuntungan.

"Masih tetap dipandang sebelah mata, lebih ke ramai uangnya kemana pengunjungnya ramai. Padahal mereka nggak tahu bahwa kita pengeluaran itu buat apa. Dalam artian mereka nggak berani nanya tapi udah menghakimi," terangnya.

Bahkan, pengembala kambing yang sering melepaskan hewan peliharaannya di tempat tersebut kala sore hari pun ikut kecipratan jatah pemasukan Potrobayan. "Penggembala kambing disini, ya nggak berkala, tapi kita kasih sedikit untuk kebutuhan mereka," ujarnya.

Rahmat mengungkapkan, orang lain tidak menyadari jika tak sedikit dari pengelola melestarikan tempat wisata itu tanpa upah. Meski, kadangkala jika pemasukan bertambah, ia akan membayar kinerja tersebut dengan dana pemasukan yang ada.

Jika menghitung-hitung pengeluaran, Rahmat berujar jika setiap bulannya ia bisa mengeluarkan uang senilai Rp 600 ribu sampai Rp 700 ribu. Sisanya, ia simpan untuk dana operasional ketika Potrobayan tutup saat musim hujan.

"Per bulan itu kita pokok pengeluarannya Rp 600 - Rp 700 ribu," ucapnya.