Brilio.net - Di era digital yang semakin maju, peran teknologi tampak mendominasi hampir setiap aspek kehidupan manusia. Informasi dapat diakses dengan cepat melalui perangkat pintar, seolah-olah buku dan perpustakaan mulai kehilangan tempatnya.
Namun, seorang tokoh visioner justru meramalkan bahwa masa depan manusia akan kembali bergantung pada buku dan perpustakaan sebagai pusat pengetahuan dan kebijaksanaan. Pandangan ini mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang, tetapi di balik laju teknologi yang semakin pesat, ada alasan kuat yang mendasari keyakinannya.
Lewat sebuah esai yang berjudul "Why our future depends on libraries reading and daydreaming", Neil Gaiman, seorang pengarang fiksi kenamaan asal Inggris melihat perpustakaan lebih dari sekadar tempat menyimpan buku. Neil percaya bahwa perpustakaan adalah benteng terakhir dari pengetahuan yang terverifikasi dan dapat dipercaya.
foto: Instagram/@neilhimself
Di tengah derasnya arus informasi yang seringkali tidak bisa dipertanggungjawabkan di dunia maya, Neil meyakini bahwa manusia akan membutuhkan ruang fisik yang menawarkan keaslian dan ketepatan informasi. Buku, sebagai media yang tahan uji waktu, akan kembali menjadi sumber utama untuk memahami dunia yang semakin kompleks.
Esai ini telah diterjemahkan dan diterbitkan ulang dalam Bahasa Indonesia. Bersama dua esai karya Julian Baggini, Maggie Gram, seorang penerjemah, pustakawan, dan pegiat literasi asal Boyolali, Jawa Tengah, Ageng Indra menyusunnya ke dalam buku dengan judul "Kenapa Masa Depan Kita Bergantung pada Perpustakaan, Membaca, dan Melamun?" yang diterbitkan penerbit Pocer, Yogyakarta.
Brilio.net berhasil menghubungi dan berbincang dengan Ageng. Ternyata, ia juga punya pandangan yang dekat dengan penulis Neil Gaiman.
Ketika menerjemahkan sekaligus menguliti pemikiran Neil Gaiman, Ageng menemukan asumsi Neil lewat karya yang ia tulis pada 2010 silam ini yang meramalkan masyarakat di masa depan akan bergantung pada Buku, dan perpustakaan sebagai tempat melamun dan berkhayal.
"Dia (Neil Gaiman) meramalkan, entah apa yang terjadi di masa depan bahwa buku akan selalu relevan. Buku fisik (kertas) akan selalu relevan, akan selalu ada orang-orang yang lebih cocok membaca buku yang bentuknya fisik," kata Ageng pada brilio.net, Senin (14/10).
foto: goodreads.com
Meskipun kehidupan semakin didominasi oleh internet, menurut Ageng buku akan tetap jadi rujukan terbaik ketika seseorang ingin mencari informasi yang ia butuhkan. Sementara perpustakaan akan jadi tempat buku-buku tersebut akan diakses oleh setiap orang yang membutuhkannya.
"Internet menyediakan banyak sekali informasi, tapi jatuhnya nanti karena informasinya terlalu banyak, maka informasi yang betul-betul diperlukan yang relevan itu akan seperti mencari jarum di tengah jerami. Sementara buku akan selalu jadi cara (mencari informasi) yang lebih baik, dan perpustakaan dia bisa ngasih tunjuk informasi atau pengetahuan yang kamu butuhkan. Tapi itu yang dibayangkan perpustakaan yang ada di Amerika (Serikat) ya, karena pustakawan disana kan pustakawan yang nggak sekadar menata buku tapi mereka paham buku," tutur Ageng.
Selain itu, Ageng berpendapat internet yang begitu banjir informasi tak mampu selalu memberikan informasi yang bijak untuk setiap orang. Orang-orang di internet hanya mendapatkan informasi mentah yang belum menjadi pengetahuan bahkan kebijaksanaan. Menurut Ageng, disinilah posisi buku sangat penting keberadaanya di masa depan kelak.
"Buku itu bukan sekadar berisi informasi, tapi juga wisdom ada disitu. Jadi kan internet ada banyak informasi tapi ketika kita ngomongin pengetahuan itu kan data yang sudah di framing atau sudah diolah. Nah, kita tuh mengenal istilah buku itu mahkota media, karena pengetahuan nggak sekadar disajikan tapi dia dirancang sampai akhirnya jadi wisdom. Kamu nggak cuma dapat pengetahuan tapi juga kebijaksaan. Nah itu yang nggak bisa kita dapatkan dari internet," lanjut Ageng.
Meskipun membayangkan masa depan akan sedemikian rupa, Ageng berpendapat kalau keadaan perpustakaan saat ini justru dipertanyakan relevansinya bagi kehidupan masyarakat terutama di Indonesia. Ia membandingkan keadaan orang-orang di Amerika Serikat yang bisa mendapatkan pekerjaan salah satunya berkat pengetahuan dari buku, sementara di Indonesia terjadi sebaliknya.
"Kalau di Amerika, pekerjaan-pekerjaan itu berkembang pesat sekali karena orang-orang untuk memenuhi spesifikasi-spesifikasi pekerjaan itu harus mendapatkan pengetahuannya dari membaca buku. Kalau di Indonesia, aku melihat sejauh ini banyak orang menempati profesi-profesi tertentu tanpa perlu bersentuhan dengan buku," ujar Ageng.
foto: Instagram/@agengindra
Namun begitu, sebagai pegiat literasi Ageng tetap percaya kalau di masa depan, buku dan perpustakaan di Indonesia tetap dibutuhkan. Dengan membaca buku, dan melamun di perpustakaan, kata Ageng, generasi baru di masa depan akan mampu berpikir dan menemukan cara baru untuk hidup.
"Kita kan selalu mewarisi masalah dari generasi sebelumnya. Dan membaca (buku) yang telah dituliskan generasi sebelumnya, akan membuat generasi kita yang selanjutnya nanti bisa tahu, oh jadi ada pelajaran dan wisdom yang bisa di dapat. Jadi masa depan akan bergantung pada buku dan perpustakaan karena itu jadi salah satu tools untuk generasi baru untuk melangkah lebih maju lebih baik dari generasi selanjutnya," tandas Ageng pada brilio.net, Senin (14/10).
Recommended By Editor
- Dilemanya calon guru, sudah sarjana pendidikan tapi ‘dipaksa’ kuliah lagi demi syarat administrasi
- Jangan dulu salahkan guru, begini peran orang tua dalam mencegah bullying di pesantren
- Ulasan buku Building a Second Brain oleh Tiago Forte, sebuah konsep otak kedua
- Viral siswa SMA tak bisa sebut negara Eropa, content creator bantah jelekkan nama sekolah
- Pahami pentingnya personal branding di dunia kerja, bantu hadapi persaingan yang semakin ketat
- Kenapa membaca buku cetak lebih berkesan dibanding e-book? Ternyata begini alasannya